Rabu, 24 Desember 2008

REKONSILIASI: SEBUAH KENISCAYAAN?

Pernah mendengar istilah ‘rekonsiliasi’? Istilah ini tentu saja akan mengingatkan kita pada sosok pemimpin yang lahir di Transkei, Afrika Selatan. Siapa lagi kalau bukan Nelson Rolihlala Mandela (Nelson Mandela). Ia bersama seorang uskup bernama Desmond Tutu, melakukan ‘perlawanan’ terhadap sistem apartheid yang diterapkan pemerintah saat itu. Sistem yang memisahkan secara radikal antara ras kulit putih dengan ras kulit hitam dalam segala hal.
Tentu saja, perlawanan ini tak serta merta membuahkan hasil. Ada hal-hal yang harus diperjuangkan dan dipertimbangkan. Setidaknya dua gagasan yang muncul dari Mandela adalah: pertama, bagaimana Mandela bersama rekan-rekannya berjuang menghapuskan sistem apartheid di negaranya. Kedua, bagaimana ia memperlakukan ‘lawan-lawannya’. Istilah ‘rekonsiliasi’ juga cukup akrab di telinga kita akhir-akhir ini melalui kehadiran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tentu saja KKR ini juga sebuah adopsi dari KKR yang dibentuk oleh Mandela dan kepemimpinannya diserahkan pada uskup Desmond Tutu. Untuk apa KKR dibentuk? Bagi Mandela, KKR dibentuk bukan untuk belas dendam atau mencari-cari kesalahan, melainkan untuk mengungkap kejahatan agar publik tahu dan tak mudah melupakannya. Hal ini, menurut Mandela, tak berarti kejahatan itu tak bisa dimaafkan. Lho, mengapa harus dimaafkan ? Karena rekonsiliasi tak mungkin bisa dibangun tanpa didahului proses memaafkan pihak-pihak yang sebelumnya dianggap bersalah (melakukan kejahatan).
Mandela adalah ‘nabi’ pada zamannya. Ia bahkan menerapkan hukum kasih yang diajarkan Yesus Kristus dengan berkata : ”If you want to make peace with your enemy, you have to work with your enemy. Then he becomes your partner.” (Jika Anda ingin berdamai dengan musuh Anda, Anda harus bekerja dengan musuh Anda. Maka ia akan menjadi mitra Anda). Tentu saja bukan berarti kita harus bersama-sama melakukan kejahatan. Namun, bagaimana sikap kita terhadap perilaku ‘musuh-musuh’ kita. Itu yang penting.

Di akhir tahun 2008 ini, tentu saja menjadi moment yang tepat - buat kebanyakan orang, bahkan keluarga - untuk mengkaji ulang perjalanan dibelakang sana selama setahun. Tidak untuk mundur ke belakan tentu saja. Life must go on, begitu sering kita dengar istilah ini. Ada banyak pertanyaan yang menggelayut di benak kita. Kadang sulit bahkan belum terjawab hingga saat ini. Lalu, apa kaitannya dengan rekonsiliasi? Bukankah itu urusan KKR? Oh, tentu saja tak demikian. Rekonsiliasi adalah tanggung jawab setiap kita yang juga adalah bagian dari keluarga, masyarakan, gereja, bahkan bangsa. Secara langusng atau tidak, selalu memiliki insting keterlibatan terhadap kejahatan-kejahatan yang terjadi sepanjang sejarah bangsa ini. Kecenderungan kita adalah mengungkap dan mendaku ‘jasa-jasa’ kita terhadap perikehidupan berbangsa, namun begitu enggan untuk mengungkap dan mengakui kesalahan dan kejahatan kita. Dengan bangga ‘dosa-dosa’ itu kita ‘hadiahkan’ pada generasi-generasi selanjutnya. Kita ‘wariskan’ juga melalui keengganan kita untuk duduk bersama dan berdialog. Menutup pintu-pintu maaf dan pengampunan rapat-rapat, seolah kita sendiri adalah Tuhan.

Masih ingat tragedi-tragedi berdarah yang menghiasi lembar sejarah negeri kita ? Peristiwa tragis dan bernuansa politis pada Mei 1998, masih kita hirup bau amis dan hangusnya. Masih ingat penghilangan (nyawa) para aktivis vokal semacam Widji Tukul, Marsinah, para mahasiswa Trisakti, Munir ? Tentu saja, sebagai bagian dari bangsa ini semestinya kita tak menjadi lupa. Tak juga berarti kita harus mengupayakan pembalasan dendam atau menghimpun kekuatan serta mengekspresikannya dalam ritme kekerasan. Tidak. Seperti kata Yesus Kristus bahwa musuh haruslah dikasihi. Bahwa kekerasan tak akan usai jika kita sambut dengan kekerasan. Apakah ini semudah yang dikatakan? Memang tidak mudah. Justru itulah mengapa pesan ini keluar dari mulut Kristus, yang begitu mengasihi kita. Ia tak ingin kehidupan manusia berantakan karena kekerasan dan dendam. Ia tahu bahwa manusia – dengan pertolonganNya - bisa melakukan upaya rekonsiliasi.

Gereja, tak luput dari alpa. Disaat kelaparan, PHK, kelangkaan BBM, maraknya kasus bunuh diri, kriminalitas, ketidakpedulian, kemiskinan, KKN merajalela, diskriminasi, penindasan, dsb., gereja masih sering bersembunyi di dalam gedung-gedung membuat ‘KKR’ yang lain. ‘KKR’ yang hanya bersifat devosi namun tak menyentuh kebutuhan sesamanya. Gereja lebih suka memainkan peran Pontius Pilatus, yaitu ‘cuci tangan’. Kita sebagai gereja juga masih jengah untuk melakukan rekonsiliasi terhadap diri sendiri. Kita belum bisa memaafkan (mengampuni) orang/pihak lain, bahkan diri sendiri. Kita begitu enjoy membawa beban kemunafikan dalam kehidupan kita, hingga kita lupa bahwa ada pertanggungjawaban yang akan diminta kepada kita suatu saat nanti. Entah hari ini, esok, atau nanti. Hannah Arendt, seorang filsuf wanita, dengan tepat menyatakannya demikian: “Tanpa dimaafkan dan dibebaskan dari konsekuensi perbuatan kita, maka kemampuan kita untuk bertindak seperti yang seharusnya pun akan dibatasi pada suatu perbuatan tunggal yang tak mampu membuat kita pulih; kita akan menjadi korban dari konsekuensi-konsekuensinya selamanya, tidak berbeda dengan tongkat sihir yang kekurangan mantera ampuh untuk mewujudkan keinginan”.

Tahun 2008 akan segera berakhir. Kita akan menyambut tahun 2009 ini dengan iman, pengharapan dan kasih. Mungkin kita akan menyambutnya dengan berbagai cara dan ekspresi. Tapi, pernahkan terpikir untuk menyambutnya dengan menerapkan sepenggal doa Bapa Kami, bahwa: “….kami telah mengampuni orang yang bersalah kepada kami”?
Rekonsiliasi seyogyanya tak hanya mampu dilakukan Mandela dan Desmond Tutu. Kita pun bisa mengikuti jejak mereka. Rekonsiliasi bukan istilah politis, juga bukan istilah dari surga, namun sebuah sikap niscaya yang bisa kita lakukan dan kita mulai dari diri sendiri. Apakah kita pernah diperlakukan seperti ini: disakiti, dilukai, dikhianati, didiskrimasi, dibuang, ditindas, diintimidasi, dsb.? Atau kita pernah memperlakukan orang-orang di sekitar kita demikian? Percayalah, dengan memberlakukan rekonsiliasi, maka kita akan ‘terbebaskan’ dari satu beban lagi. Selamat ber-rekonsiliasi. Selamat menyambut dan menjalani tahun 2009.

Salam,
DW

Selasa, 16 Desember 2008

MENABUR KEKERASAN, MENUAI DENDAM [Budaya Praktik Kekerasan di Indonesia]

“Tiap-tiap masyarakat memiliki mekanisme
yang mengabsahkan, mengaburkan, mengelakkan, dan,
oleh karena itu, mengabadikan kekerasan.”
(L. L. Heise, 1994)

17 September 2007 di GKI MY, di ruang tamu/ruang baca,
sebuah diskusi yang sifatnya mungkin bisa dibilang sekular berjalan dengan dihadiri oleh 10 orang. Di tengah hilir mudik dan hingar bingar mereka yang tengah mempersiapkan diri untuk HUT GKI MY ke-40 esoknya, diskusi ini berjalan cukup seru. Meski kadang ‘tersendat’ karena beberapa pertanyaan yang boleh dibilang tidak kena mengena dengan tema dan tujuan diskusi, dilontarkan seorang peserta yang kalau saya bilang agak nyentrik. Tapi di luar itu semua, ada dua hal dalam catatan saya, yang akan saya bagikan bagi para pembaca:

Pertama, bahwa kekerasan atau praktik kekerasan itu tidak muncul di ruang hampa. Artinya, kekerasan yang muncul dalam suatu tempat dan waktu, itu tidak sekonyong-konyong terjadi begitu saja secara tiba-tiba. Lebih sering, tindak kekerasan itu adalah sebuah akumulasi atau klimaks dari sebuah perseteruan sembunyi-sembunyi atau konflik/perang dingin, juga gencarnya tayangan kekerasan di media-media. Atau bisa juga karena sebuah rekayasa untuk mempertahankan sesuatu yang dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu, yang dalam hal ini memiliki power (baca: kekuasaan), dengan menggerakan, memanfaatkan, membayar, memprovokator massa tertentu untuk melakukan tindak kekerasan (perusakan, pembunuhan, pembakaran, dsb.).
Kedua, kekerasan yang terjadi sejak 1965 hingga saat ini, entah atas nama agama (kerusuhan Ambon, Poso, kasus Playboy, tindakan represif terhadap kelompok Ahmadiyah), politik (G30S, GAM, Timor Timur, Mei 1998), ekonomi (kenaikan harga sembako, kelangkaan minyak tanah, konversi minyak tanah ke LPG), etnis (Dayak-Madura), hukum (penggusuran, penambangan, kasus LAPINDO), pendidikan (kasus STPDN, kasus bunuh diri siswa), dsb., disinyalir bahkan bisa dipastikan adalah rentetan upaya-upaya yang dilakukan untuk melanggengkan dua hal berikut:
1. Kekuasaan. Mereka yang berkuasa dan menguasai hajat hidup orang banyak, dengan power-nya, berusaha membuat skenario-skenario yang membuat mereka tetap eksis, dengan menggerakan massa dalam episode-episode kekerasan.
2. Kapitalisme. Mengutip Greg Soetomo, SJ., seorang penulis dalam ‘Hermawan Kartajaya on Church’, bahwa kata ‘pembangunan’ di negeri ini memang berarti ‘menyengsarakan rakyat’. Negara-negara berkembang (baca: miskin) yang berhutang pada negara-negara kapitalis (AS & Eropa), cenderung dibuat/dikondisikan terus menggantungkan hidupnya, kalau bukan diperbudak, pada negara-negara kapitalis tersebut. Hal terbaru adalah rencana akan dibangunnya PLTN (Pusat Listrik Tenaga Nuklir) di Indonesia.
Siapa yang akan diuntungkan? Tentu saja, orang-orang Indonesia (kaum elit, politisi, spekulan) yang tak tahu malu yang selalu mengail keuntungan di tengah keruhnya air mata kaum jelata yang meregang nasib. Dan praktis negara-negara kapitalis yang senantiasa berfoya-foya di atas penderitaan (atau kebodohan?) negara-negara dunia ke tiga, seperti Indonesia. Hmm..bisa jadi apa yang diungkapkan oleh L. L. Heise di atas benar adanya, entah lokal maupun global. Perlu jadi action kita: apa dan bagaimana sikap serta peran kita sebagai the people of God called together dan sekaligus sebagai bagian dari bangsa ini?
Dalam diskusi tanggal 17 September 2007 kemarin, cukup mendorong saya dan beberapa rekan ingin mendiskusikan lebih lanjut tema ‘kekerasan’ ini dalam sebuah forum yang lebih besar. Ada usulan dari seorang aktivis LSM ‘Rumah Kiri’, Mas Sadikin, yang juga hadir di tengah-tengah kami. Bahwa lebih baik lagi jika diadakan sebuah forum diskusi yang menghadirkan nara sumber semacam George Aditjondro.

Salam,
Dommy Waas

Kamis, 11 Desember 2008

NATAL: 'Candu' Kekristenan?

Ada banyak peristiwa yang tercatat di bumi merupakan moment-moment penting bagi umat manusia. Baik dalam pergerakan perkembangan peradaban manusia, maupun noda-noda kebrutalan dan kebiadaban yang sayangnya juga dilakukan oleh manusia. Peristiwa kelahiran, jelas adalah peristiwa yang biasanya disambut dengan gembira dan rasa syukur.
Kelahiran Yesus Kristus, adalah salah satu moment penting – bahkan mungkin terpenting – dalam sejarah umat manusia. Salah satunya adalah pembagian tahun berdasarkan kalender Masehi (M). Kalender dunia dibuat dua bagian: BC (Before Christ = Sebelum Kristus) dan AD ( Anno Domine = Sesudah Kristus). Yang lainnya? Ya, hukum ‘gigi ganti gigi dan mata ganti mata’ di zaman Nabi Musa, diubah menjadi ‘kasihilah musuh-musuhmu dan berkatilah mereka’. Jika saja hukum Musa di atas masih terus dipraktikkan, maka akan banyak manusia yang anggota tubuhnya tak lengkap. Paling tidak, banyak yang ompong dan tak bermata. Bahkan kekerasan akan terus berbalas dengan kekerasan. Tentu saja, kehadiran Yesus Kristus yang singkat di muka bumi ini meninggalkan begitu banyak perubahan yang berarti bagi umat manusia setelah kenaikanNya ke surga. Lalu, apa sesungguhnya makna Natal bagi kita? Mengapa kita memperingatinya? Apakah ada hal-hal signifikan yang mengubah kehidupan kita dengan moment ini? Ataukah Natal hanya sebuah seremoni yang rutin kita lakukan?

Perayaan Natal: Sejarah Singkat

Kapan tepatnya Yesus lahir, masih juga menjadi semacam perdebatan bagi kita. Lalu mengapa kita memperingati Natal pada 25 Desember? Seperti kita ketahui bersama, bahwa 25 Desember pada mulanya adalah juga moment penting bagi sebagian besar masyarakat Romawi di zaman pemerintahan Kaisar Konstantinus Agung di abad ke-4 Masehi. Tanggal 25 Desember adalah hari dewa matahari (Mithra). Kaisar Konstantinus sendiri pada mulanya adalah penganut pagan yang ‘telah maju’ dan percaya pada satu tuhan yang maha tinggi: Sol Invictus, Matahari yang tidak terkalahkan. Namun Ia juga tertarik pada Kekritenan dan mengangkat seorang penasihat – yang juga menjadi sahabatnya – Uskup Hosius dari Kordoba (Richard Rubenstein, 1999). Pada zaman ini, juga terjadi perdebatan teologis di kalangan Kristen mengenai hubungan antara Allah Bapa, Yesus dan Roh Kudus. Ada banyak bidah bermunculan, Diantaranya: Sabelianisme dan Arianisme. Konstantinus juga tengah menghadapi situasi sosial-politis. Maka, pada 336 Masehi, natal dirayakan untuk pertama kalinya. Jadi singkatnya, peristiwa Natal 25 Desember adalah sebuah moment yang diadopsi dari peristiwa perayaan dewa matahari di zaman Kaisar Konstantinus Agung. Kita, sebagai orang Kristen, tentu percaya bahwa ini adalah juga bagian dari campur tangan Tuhan terhadap kekaisaran Romawi. Setidaknya peristiwa ini mengaminkan apa yang dikritik seorang filsuf, Karl Marx, bahwa agama mudah dimanfaatkan secara ideologis. (Marx on Religion, 2002).


Natal: Moment Pembebasan atau ‘Candu’?

Pertanyaan di atas bukan sekedar sebuah keisengan semata. Tapi cobalah kita tanyakan dengan jujur pada diri kita: Mengapa kita merayakan Natal? Apakah karena kita Kristen? Apakah karena rutinitas semata? Atau ada alasan-alasan lain yang lebih baik yang menyatakan bahwa: ‘Natal adalah penting bagi saya’?
Kita menghias gereja atau rumah kita dengan pohon natal dan pernak-perniknya. Kita membeli kado-kado natal untuk dipajang dibawah pohon natal atau bertukar kado. Kita menyiapkan kue-kue dan makanan natal. Kita juga menyiapkan pakaian terbaik guna menyambut hari yang menyenangkan ini. Tidak ada yang salah dengan segala persiapan dan kesibukan diatas. Tapi, jangan-jangan kita tengah ‘kecanduan’ merayakan natal? Natal tengah menjadi ‘candu’. Natal tak lagi memiliki makna yang membuat hidup kita menjadi lebih baik dan berkualitas. Kita hanya merayakannya saja. Sekedar sebuah formalitas sebagai orang Kristen. Harus ada kebaktian malam natal dan hari natal di gereja, namun tak ada lagi kekhidmatan di dalamnya. Kita lupa bahwa peristiwa kelahiran Kristus di dunia, adalah peristiwa yang berdarah-darah. Ada begitu banyak anak-anak kecil terbantai. Kita enggan menggumuli kesederhanaan yang Ia dekap dalam hidupNya. Kita lupa bahwa ada sebuah misi yang diemban oleh Yesus dalam hidupNya, yaitu: Pembebasan. Ya, pembebasan manusia dari kemiskinan spiritualitas. Pembebasan manusia dari perhambaan terhadap hukum-hukum agama yang membebani hidup manusia. Pembebasan manusia dari belenggu ketamakan, kesombongan, keegoisan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembebasan dari sikap-sikap tak manusiawi. Pembebasan dari ketidakadilan, diskriminasi, dan penindasan. Bahkan atas nama agama.
Ada begitu banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan ‘pembebasan’. Ada setumpuk permasalahan di negeri ini yang membelenggu gerak laju cita-cita luhur para pendiri bangsa ini. Misi pembebasan telah dimandatkan Kristus kepada kita. Akankah kita masih tetap terlelap dalam hingar-bingar perayaan natal, berhenti meneruskan misi tersebut? Akankah kita membiarkan diri kita terus ‘kecanduan’ akan hiruk-pikuk aktivitas yang mungkin hanya merupakan bentuk lain dari nafsu konsumtif kemanusiaan kita? Memperingati natal adalah satu hal. Memaknai natal dengan sebuah tindakan membumi - menyentuh kebutuhan umat manusia - adalah hal lain yang selayaknya kita praktikkan sejak dini. Dari diri kita. Dari tengah-tengah keluarga. Dari lingkup gereja kita. Dari ruang-ruang di mana kita beraktivitas. Dan akhirnya : apakah natal kali ini pun kita masih tak bisa menyediakan tempat bagi ‘kelahiran’ Kristus dalam hati serta kehidupan kita? Selamat menyambut dan memaknai natal. Selamat menjadi agen-agen ‘pembebas’ bagi sesama umat manusia.

Selasa, 02 Desember 2008

JANGAN MENGHARAPKAN KEDAMAIAN, JIKA....

Bagi kita yang sempat akrab atau nge-fans berat sama grup band Slank mungkin tidak asing dengan istilah satu ini: “PEACE” (baca: Piss). Artinya: DAMAI. Kalau kita juga pernah dengar salah satu lirik dalam album ke-3 grup band ini, maka kita akan temukan lirik yang membandingkan bangsa kita ini dengan kondisi Texas abad 19 dan Sicilia. Sepertinya masih relevan. Perhatikan saja, di negeri ini tumbuh subur perilaku semodel koboi-koboi mabuk, liar dan hukum di tonjok. Saling menendang, saling menerjang. Adu kuasa, adu senjata. Belum lagi menjelang pemilu 2009, terjadi persaingan. Susah dan semakin berat. Segala cara dihalalkan.

Semua orang pasti memimpikan atau setidaknya memiliki harapan agar kedamaian atau perdamaian itu mewarnai bumi. Pertanyaannya, apakah hal ini hanya sebatas angan-angan semata, atau semestinya bisa kita wujudkan ? Apakah kedamaian-kedamaian yang kita rasakan saat ini sesungguhnya hanya sekedar kedamaian yang semu semata ?
Saya memiliki beberapa catatan – yang juga wujudnya pertanyaan buat diri kita - terhadap harapan akan kedamaian itu sendiri.

Mengapa kita mengharapkan kedamaian :
• Jika saat melakukan ritual ibadat saja bibir kita membeku untuk sesungging senyum pada orang lain ?
• Jika dalam berkendara kita masih saja tak mengindahkan rambu-rambu lalu-lintas?
• Jika di mana-mana kita tak malu membuang sampah sembarangan?
• Jika para pekerja (buruh) masih dijadikan sapi perahan?
• Jika kita masih bersikap ‘narsis’ akan suku, agama, golongan, ras dan warna kulit?
• Jika kita masih mengkonsumsi apa-apa yang merusak diri kita sendiri?
• Jika kita abai terhadap lingkungan social-masyarakat kita?
• Jika dalam hati kita, masih saja menyemai benih kebencian, dendam dan sakit hati?
• Jika kita tak lagi bersikap hormat pada orang tua kita?
• Jika kita tak lagi mendengarkan anak-anak kita?
• Jika kita selalu mengkambinghitamkan pihak lain?
• Jika kita masih menggunduli hutan, meracuni sungai dan mencemari udara?
• Jika kita selalu membuat gaduh telinga orang lain ?
• Jika kita tak pernah berterima kasih dan bersyukur untuk apa yang telah kita terima dan miliki?
• Jika kita tak pernah berdoa dan bekerja keras untuk apa yang akan kita hasilkan?
• Jika kita begitu tamak dan serakah pada kucuran berkat Tuhan?
• Jika kita tetap menutup mata, telinga dan hati kita pada ketidakadilan dan penindasan terhadap hak-hak dasar kemanusiaan?
• Jika kita begitu kaya dengan keinginan untuk dicintai, tetapi jiwa kita begitu miskin dalam mencintai orang lain?
• Jika kita tak pernah berbuat apa-apa….
Untuk keluarga kita,
Untuk saudara kita,
Untuk tetangga kita,
Untuk orang yang tak kita kenal,
Untuk lingkungan tempat tinggal kita,
Untuk gereja,
Untuk orang yang tak segereja,
Untuk orang yang tak seagama,
Untuk kota kita,
Untuk bangsa ini?

Bangunlah! Bermimpi saja dan berharap saja tak cukup! Berani bermimpi pun haruslah diimbangi untuk berani terjaga dari mimpi. Dan juga butuh keberanian yang besar untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita.
Kedamaian bukan sekedar mimpi, harapan, cita-cita atau wacana. Kedamaian dimulai dari hati, pikiran dan tindakan yang senantiasa berpusat pada Kristus. Dalam tuntunan dan kuasa Roh Kudus bagi kemuliaan Allah Bapa kita. Jika tidak...kita hanya akan memetik kedamaian yang semu. Selamat terjaga dari mimpi-mimpi dan mewujudkannya.

Salam,
DW

Pengikut