Sabtu, 19 Desember 2009

NArumI


Mencoba mencari-cari soft copy corat-coret 'ungkapan hati', di antara tumpukan copy CD,
yang ketemu baru satu ini...hard copynya mungkin kebuang dengan berkas-berkas lama.
Ini salah satu dari sekian coretan saya.
Saya ga tau ini puisi atau apa...yang jelas jadinya seperti itu.
Jadul banget... :)



NArumI

Pagi ke-1095,
Aku kembali menjengukmu,
Halimun di sekitar tempatmu
mulai menjauh dikoyak cahaya sang fajar,
Masih ada bulir-bulir embun bening
meluncur ragu dari dedaunan
terhempas meredup di atas tanah…

Jalan-jalan masih sunyi,
Tanah merah marun tempatku berpijak
masih lembab oleh guyuran hujan semalam,
Ah…engkau pasti kedinginan,
Biasanya engkau memintaku merapat,
mendekap tubuhmu yang menggigil…

Aku ingin melihat senyummu,
Berharap mendengarkan sapa lembutmu,
derai tawamu, kegundahanmu,
Sesekali engkau sandarkan kepalamu di bahuku
melepaskan lirih pedihmu…

Oh ya,
Aku membawa beberapa tangkai mawar merah kesukaanmu,
Tentu saja dari taman dekat jendela kamarku,
Juga satu kantung melati
dari halaman depan rumahku,
Biasanya engkau memburunya
saat singgah di pondok kecilku,
Ku harap, ini bisa membuatmu tentram…

Ah…aku masih ingat,
Ketika senja beringsut meremang malam,
Engkau bertanya:
“Kenapa kamu mencintaiku?
Kenapa bukan yang lain?”
Aku tak punya jawabannya,
yang keluar dari mulutku:
“Mungkin...kesederhanaan dalam kecantikanmu,
Dan…karena aku laki-laki, kamu perempuan”
Kamu tersenyum kecil, menahan luapan hati,
Mencoba menyembunyikan ketersipuan,
Tanda bahwa jawabanku tak kuasa engkau bantah…

NArumI,
Tanah merah marun ini telah tiga tahun membalutmu,
Membuat jarak yang tak terukur di antara kita,
Meski hanya enam kaki dari jasadmu
Yang telah lelap tertidur,
Dalam doa, tarikan dan hembusan nafasku,
Aku merindukanmu.


Bandung, Jan 1995
(Dommy Waas)

Jumat, 11 Desember 2009

Pacar Gue Ketuaan? Jika Cinta Itu Buta, Maka Nalar Harus Bicara


Ada sebuah pomeo yang menyatakan bahwa “cinta itu buta”. Pernyataan ini buat penulis memiliki makna bersayap yang perlu kita perjelas. Pertama, bisa jadi pomeo tersebut bermaksud kalau falling in love itu tidak memandang siapa, di mana, kapan dan kepada siapa. Terlepas pendapat psikologi perkembangan yang menyatakan adanya batasan usia pubertas bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Kedua, pomeo tersebut bisa diartikan bahwa seseorang yang mengalami jatuh cinta bisa mengalami ‘kebutaan’ akal sehat. Orang yang demikian cenderung memperturutkan perasaan hatinya tanpa diimbangi dengan penggunaan nalarnya. Ada yang bilang kalau jatuh cinta itu berjuta rasanya, susah digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya serba indah dan bikin hidup jadi lebih hidup. Apa seindah itu? Sebelum kita lanjutkan, dalam bahasan kali ini, penulis akan banyak menyoroti dari sisi feminim ketimbang sisi maskulin. Mengapa? Karena sudah terlalu lumrah ketika kita bicara dari sisi maskulin. Seakan apapun yang diperbuat dalam bingkai patriarkal, tak bisa digugat bahkan dipertanyakan oleh kaum hawa, yang sejatinya adalah partner dari laki-laki.

Kesetaraan: Sebuah Terobosan Paradigma?
Seiring dengan perkembangan pemikiran manusia, peradaban – yang juga diselingi dengan kebiadaban - pun mengalami perubahan. Apalagi dengan berkembang pesatnya dunia teknologi informasi yang memungkinkan perubahan paradigma di sebuah tempat merambah dan mempengaruhi pergulatan pemikiran di tempat lainnya. Dunia semakin kecil dan ‘didatarkan’, kata Thomas L. Friedman dalam The World is Flat. Sejarah telah membuktikan hal demikian dengan munculnya berbagai gerakan feminisme, yang akarnya adalah perempuan menuntut perlakuan yang setara dengan laki-laki, terutama terkait dengan hak-hak azasinya. Sampai munculnya gerakan feminisme di awal abad ke-18, dunia dengan segala sistem dan hukum yang ada, berjalan dengan wajah dan bingkai patriarkal. Bahkan kitab-kitab suci dan praktik ritual keagamaan pun tak luput dari maskulinitas.
Mary Wollstonecraft, seorang penulis dan pemikir Feminis Liberal Eropa, menyatakan bahwa masyarakat wajib memberikan pendidikan kepada perempuan, seperti juga kepada anak laki-laki, karena semua manusia berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya. Sehingga mereka dapat menjadi manusia utuh (Rosemarie Putnam Tong, 1998). Cara pandang demikian, mempengaruhi perilaku dan pola pikir perempuan di dunia Timur (Asia khususnya), yang terbiasa ‘tunduk’ pada tradisi patriarkal. Di Indonesia, kehadiran seorang R.A. Kartini (dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdas, merupakan cikal bakal pergerakan feminis Indonesia (emansipasi). Feminisme pun tak luput dari kritik dan membentuk cabang-cabang aliran dalam proses perkembangannya. Diakui atau tidak, perubahan paradigma yang baru – yang dicontohkan oleh feminisme – berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk alam demokrasi (politik). Namun, di sisi lain, kita bisa telusuri bahwa pada dasarnya budaya matriarkal lebih dulu ada sebelum ‘ditaklukan’ oleh budaya patriarkal. Hal ini diungkap oleh Erich Fromm dalam Cinta, Seksualitas dan Matriarki, mengenai Hak Ibu (Mother Right) yang diusung oleh Bachofen – seorang rekan Frued yang menganalisis mitos-mitos dan simbol-simbol bangsa Romawi, Yunani dan Mesir. Bachofen menyatakan bahwa struktur patriarkal dalam masyarakat yang kita kenal melalui sejarah peradaban dunia, adalah relatif baru sekarang ini, dan itu didahului sebelumnya oleh status kultural yang menempatkan sosok ibu dalam peran yang sangat penting. Menurut Anthony Giddens (Transformation of Intimacy), seorang pemikir sosial dari Inggris, kesetaraan yang digaungkan kaum perempuan juga telah mengubah realitas hubungan kaum perempuan dan laki-laki. Giddens bahkan seolah mengajak kita – kaum laki-laki dan perempuan – untuk menegosiasikan kembali bentuk ‘keintiman’ yang ingin dijalani oleh kedua pihak. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan , masih menjadi hal yang terus diperdebatkan sembari dikembangkan bentuknya dalam ruang-ruang diskusi bahkan praktik keseharian.
Dari paparan ini, penulis ingin memberi gambaran singkat, bahwa perubahan paradigma – amat mempengaruhi keputusan serta tindakan yang akan kita pilih dan lakukan. Demikian juga dengan sisi kehidupan sosial, seperti keputusan untuk memilih pacar. Dulu, secara umum, akan dianggap tabu jika seorang perempuan menyatakan lebih dulu perasaan cintanya kepada seorang laki-laki. Atau seorang perempuan mempunyai kekasih yang usianya terpaut jauh lebih muda dari dirinya. Orang lantas akan bergosip, bertanya-tanya, bahkan mungkin secara tak langsung memberi cap negatif pada si perempuan. Tapi sekarang? Ada berbagai cara, metode, bahkan argumen yang digunakan kaum hawa untuk bebas menyatakan rasa cintanya pada lawan jenisnya. Pertanyaannya, adakah konsekuensi bagi perempuan ketika memilih kekasih lebih muda? Atau sebaliknya, bagaimana dengan laki-laki yang usia kekasihnya terpaut jauh di atas dirinya? Bagaimana kelangsungan hubungan mereka?

Jika Cinta Itu Buta, Maka Nalar Harus Bicara
Dari hasil jajak pendapat beberapa (25-30 orang) rekan perempuan di Facebook, penulis mendapatkan beberapa pernyataan yang nyaris senada, terkait dengan beberapa pertanyaan di atas. Umumnya perempuan saat ini tak begitu mempermasalahkan rentang usia laki-laki yang terpaut jauh dari usia mereka (7-10 tahun). Mereka justru cenderung melihat dari sisi positif, bahwa mereka akan memilih pacar yang lebih tua usianya ketimbang yang lebih muda. Mengapa? Beberapa alasan yang disampaikan adalah: lebih dewasa, bisa ngemong (membimbing), bisa bermanja-manja, bisa dijadikan teman, bisa berperan rangkap sebagai orang tua, lebih bisa nerima keadaannya (karakter), bisa mendidik, bisa berperan sebagai kakak, dan sebagainya. Alasan umum mengapa mereka tak memilih yang lebih muda, atau mungkin setara, adalah karena dianggap kurang atau tidak dewasa serta tak mampu mengambil peran-peran seperti yang lebih tua usianya. Namun demikian, mereka pun tak serta merta ‘menolak’ jika pacarnya berusia lebih muda, hal ini didasarkan oleh contoh-contoh dari pasangan yang berhasil membina hubungannya hingga ke jenjang pernikahan dan hidup bahagia. Jawaban atau pendapat yang disampaikan kepada penulis memang masih bersifat umum. Belum menyentuh hal-hal yang krusial seperti komunikasi, gap (perbedaan zaman – kultur, dsb.), permasalahan seksualitas, perbedaan latar belakang (pola didik, keluarga, lingkungan, jenjang pendidikan, suku-adat istiadat), bahkan kelanjutan masa depan mereka (uang, anak-anak, hukum yang berlaku). Sekali lagi, semuanya masih umum. Apakah karena memang cinta itu buta? Jika jawabnya “YA”, maka kita harus menggunakan nalar untuk dijadikan dasar pertimbangan memilih. Pertama, seperti yang juga diungkapkan oleh rekan-rekan penulis di Facebook, bahwa sepasang kekasih harus memiliki dasar iman (baca: agama) yang sama, sebagai fundasi hubungan mereka. Amat langka, meski saat ini tengah menjadi wacana urgent agama-agama, bahwa hubungan laki-laki dan perempuan yang beda agama bisa diterima oleh keluarga kedua belah pihak, bahkan masyarakat. Dalam praktiknya, hukum tertulis yang ada pun masih diperdebatkan, dan kalah kuat dengan hukum tak tertulis yang berlaku di tengah masyarakat. Dan dengan demikian, disarankan untuk cari jalan aman saja. Cari yang se-agama.
Hal kedua, masalah komunikasi. Konon, menurut beberapa konselor pernikahan, komunikasi adalah kunci dalam membangun dan mengembangkan sebuah hubungan. Biasanya saat dalam tahap penjajakan (pra pacaran), laki-laki maupun perempuan, keduanya akan merasakan nyambung – tidaknya dalam berkomunikasi. Celakanya, banyak yang keliru, menganggap bahwa nyambung-tidaknya komunikasi hanya ditentukan oleh kesamaan-kesamaan seperti: makanan, hobi, serta hal-hal yang tak prinsipil. Hal ini tidak bisa diabaikan, karena perbedaan usia, latar belakang, keluarga, kultur, lingkungan, status sosial, pendidikan serta paradigma bisa dijembatani dengan adanya komunikasi yang baik dan terus dibangun. Tak kenal maka tak sayang, begitulah kata pepatah. Kenal bukan hanya nama, alamat, nomor telepon atau handphone saja, tapi mengenal karakter, keinginan, visi, pandangan tentang hidup, pandangan tentang pernikahan, dan sebagainya. Bahkan kelemahan atau kekurangan pasangannya pun sebaiknya dikomunikasikan sejak dini, guna terbentuknya saling pengertian satu dengan lainnya. Entah itu kebiasaan-kebiasaan buruk atau hal-hal yang cenderung berakibat negatif serta akan memicu pertikaian dalam hubungan keduanya di masa mendatang. Sakit penyakit yang diidap kita pun hendaknya dikomunikasikan sedemikian rupa, sebijaksana mungkin, kepada pasangan kita. Persoalan keuangan pun, jika tak dikomunikasikan, bisa menjadi pemicu rusaknya sebuah hubungan, baik dalam tahap pacaran maupun pernikahan. Maksudnya tidak untuk dijadikan objek pelampiasan kesalahan ketika terjadi konflik, melainkan masing-masing bisa saling melengkapi, saling menginspirasi, saling menjaga dan saling membangun, serta bersama-sama memperbaiki perilaku atau karakter yang tak sedap jika terus dibiarkan. Dalam hal komunikasi, umumnya laki-laki berusia lebih tua lebih bisa mengendalikan sekaligus memahami pasangannya yang lebih muda, disebabkan banyaknya perbendaharaan ‘pengalaman’ (bisa pengetahuan, komunikasi, pengenalan karakter, dan sebagainya) yang lebih dulu dikuasainya. Sebaliknya, ketika memiliki pacar yang lebih muda usianya, perempuan cenderung merasakan dan mengalami keterbalikan peran-peran yang semestinya diterima dari pasangannya. Meski tak semuanya demikian. Melalui komunikasi (dialog), yang tentu saja berkualitas, maka perbedaan latar belakang, karakter, budaya, pola didik, jenjang pendidikan, bahkan status sosial, akan bisa meminimalisasi jurang (gap) dalam memahami masing-masing pasangannya. Hal yang tak kalah penting adalah perlu adanya kepercayaan serta keterbukaan satu dengan lainnya.
Sejak dini, kita perlu mempertimbangkan hal-hal yang mungkin terjadi. Tentu saja, banyaknya pertimbangan bukan untuk menghambat langkah anda dan pasangan anda untuk terus membangun hubungan ke jenjang yang lebih serius, yakni pernikahan. Pomeo ‘cinta itu buta’ tak boleh kita serap begitu saja. Perlu kita revisi, kita kaji ulang, agar tak menjadi bumerang atau bom waktu yang membunuh dan menghancurkan hubungan antara anda dan pasangan anda. Landasan atau fundasi iman (agama) masih menjadi hal yang primer dalam membina dan membangun hubungan. Inilah yang memberi nilai lebih dalam membentuk karakter laki-laki maupun perempuan sepanjang hubungan itu terjalin, terbangun dan berkembang. Nah, jika cinta itu buta, maka gunakanlah nalar kita untuk bicara. Untuk mempertanyakan kembali apa yang sedang dan akan kita cari, harapkan dan akan berikan dalam membina sebuah hubungan dengan si dia. Semoga.


Daftar Pustaka Rujukan:
Thomas L. Friedman, The World is Flat : Sejarah Ringkas Abad Ke-21, Dian Rakyat, Oktober 2006, .
Rosemarie Putnam Thong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, Jalasutra, 2008, Yogyakarta.
Erich Fromm, Cinta, Seksualitas dan Matriarki: Kajian Komprehensif Tentang Gender, Jalasutra, April 2007, Yogyakarta & Bandung.
Anthony Giddens, Transformation of Intimacy, Fresh Book, Januari 2004, Jakarta.

ARMY OF ROSES: PEREMPUAN, KONFLIK POLITIK DAN BOM BUNUH DIRI


MENGAPA HARUS PEREMPUAN? Itulah pertanyaan yang muncul ketika penulis membaca buku berlabel ARMY OF ROSES, karya Barbara Victor. Berbagai peristiwa bunuh diri dalam berbagai metode untuk mengungkapkan perlawanan terhadap penjajah, umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Namun bagaimana jika bom bunuh diri marak dilakukan oleh perempuan, terutama di Palestina? Apa yang mendorong mereka melakukan hal itu? Bagaimana mungkin perempuan bisa berubah dari penjaga kehidupan (karena melahirkan anak) menjadi mesin pembunuh? Inilah yang menjadi dasar bagi Barbara Victor mengungkap fenomena tersebut ke hadapan kita. Konflik Palestina-Israel yang berkepanjangan, kepentingan kelompok-kelompok politis (Hamas, Jihad Islam, Fatah, dan para politisi di pemerintahan Palestina), ditambah dengan kultur Palestina yang patriarkal, memposisikan perempuan menjadi pihak yang tertekan dan menjadi warga ‘kelas dua’, bahkan frustasi karena menghadapi jalan buntu. Meskipun menurut seorang psikiater Palestina, Dr. Iyad Sarraj, menyatakan bahwa “penghalang di dalam komunitas Palestina untuk bunuh diri sebenarnya sangat besar ...khususnya dalam budaya yang mereka miliki, yaitu prinsip bahwa bunuh diri itu dosa”. Hal ini digambarkan melalui kisah beberapa perempuan pelaku bom bunuh diri. Wafa Idris, pelopor kamikaze perempuan, juga seorang perempuan yang melanggar aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Ia disinyalir melakukan aksi tersebut karena tekanan psikologis situasi kultur masyarakatnya sendiri. Wafa, yang menikah dengan sepupunya, Ahmed, melahirkan bayi prematur, tetapi langsung meninggal. Seluruh keluarga kecewa. Ini merupakan aib bagi keluarga mereka, dan Ahmed merasa dipermalukan. Belum lagi keterangan seorang dokter yang bukan ahli kandungan memberitahukan pada Wafa, Ahmed dan keluarganya, bahwa Wafa tak akan bisa melahirkan anak. Seorang rekannya bahkan yakin bahwa Wafa mengalami apa yang disebut ‘inertia’ atau ‘apatis total’. Ketika kehilangan bayinya, ia pun kehilangan kemauan untuk hidup. Kemiskinan dan kebodohan, mungkin bisa menjadi alasan aksi yang dilakukannya. Namun bagaimana jika ditambahkan alasan bahwa dengan aksi demikian, maka perempuan akan sama derajatnya dengan laki-laki? Darine Abu Aisha, baru berumur dua puluh tahun ketika meninggal. Dia mahasiswi yang cerdas. Keluarganya mapan secara finansial. Keluarganya cukup terpandang di tengah masyarakat. Relatif tak terpengaruh oleh kerasnya pendudukan Israel. Namun seiring waktu, Darine semakin mengerti bahwa setinggi apa pun prestasinya di universitas, nasibnya sebagai perempuan Palestina telah dicap mati – perjodohan, punya anak enam atau tujuh, seorang suami yang mungkin tak punya harapan atau keingintahuan tentang kehidupan yang sebanding dengannya. Akhirnya ia menjadi nihilis. Tekanan orang tuanya agar ia menjadi istri yang taat, terus melahirkan anak dan mengasuh anak-anak itu dalam sebuah keluarga, sedangkan suami adalah yang paling berkuasa dan memiliki otoritas mutlak. Darine menentangnya. Dia lebih baik mati.
Dua contoh kontras di atas – dari sisi status sosial maupun pendidikan - memberikan gambaran kepada kita betapa perempuan Palestina dalam posisi yang tak menguntungkan. Celakanya, mereka baru dianggap setara dengan laki-laki, dianggap bisa ‘menebus’ kesalahan atau aib yang dilakukannya – dan hal ini dijustifikasi oleh para tokoh agama konservatif – jika ia bersedia melakukan sebuah aksi bom bunuh diri. Tindakan ini pun diaminkan sebagai tindak kepahlawanan oleh keluarga, masyarakat, bahkan oleh mereka yang berkepentingan secara politis di pemerintahan bangsanya. Meski pada kenyataannya, perempuan pelaku bom bunuh diri ini tetap tak mendapatkan ‘kesetaraan’ dengan kaum laki-laki yang melakukan aksi serupa. Keluarga yang mendapatkan bayaran dari pihak yang merekrutnya tidaklah mendapatkan jumlah uang yang sebanding jika pelakunya laki-laki.
Dengan tepat, Barbara Victor menuliskan posisi perempuan Palestina dalam sosial-kultur bangsanya sendiri demikian: saat ini, perempuan Palestina yang tidak menikah hidup di bawah serangkaian aturan sosial dan agama yang ketat: jika berpendidikan terlalu tinggi, ia dianggap abnormal; jika memandangi laki-laki, ia terancam dikucilkan; jika menolak menikah, ia dianggap lepas kendali; jika tidur dengan laki-laki, khususnya jika hamil, maka ia adalah aib bagi keluarga dan bisa mati di tangan kerabat laki-lakinya (hal. 257).

TUJUANKU ADALAH MENYELAMATKAN NYAWA
Barbara Victor juga mengungkapkan bagaimana para dokter serta perawat dalam sebuah rumah sakit, yang beragam latar belakang agama dan bangsa, berupaya dan tetap bersikap objektif dalam menolong para korban konflik. Mekipun sang dokter adalah seorang ayah dari anak yang tewas akibat serangan bom bunuh diri. Mereka tak boleh mencampuradukan antara pandangan politik dengan pengobatan. Seorang perawat berasal dari sebuah desa kecil Palestina mengungkapkannya saat ditanya bagaimana perasaannya ketika harus menangani pasien dari pihak lawan dalam konflik: “Kutinggalkan politik di rumah ketika aku pergi bekerja. Yang kini kutemui adalah orang-orang yang sangat membutuhkan keahlianku dan perawatanku, dan aku akan melaksanakannya tanpa keraguan. Tujuanku adalah menyelamatkan nyawa. Pasienku tak mengenal kebangsaan ataupun agama.” Tentu saja, ini adalah bagian yang jarang kita dengar di media-media informasi kita. Dari paparan Barbara Victor, kita bisa lebih obyektif melihat bahwa persaudaraan, rasa kemanusiaan serta cinta kasih kepada sesama masih bisa tumbuh dan mekar di tengah-tengah hiruk pikuk peperangan. Informasi yang kita dengar, terima dan cari, lebih sering memihak serta hanya untuk menyenangkan telinga kita. Aksi-aksi yang mengatasnamakan solidaritas kemanusiaan bahkan berbasis agama malah sering menambah parah konflik dan penderitaan. Kita lebih sering memungut ‘sepotong’ informasi, bahkan informasi yang keliru, dengan emosional, tanpa dicerna dan melihat dengan imbang.

KONFLIK POLITIK DAN BOM BUNUH DIRI
Masyarakat dunia, termasuk Indonesia, penting untuk menelusuri perilaku bom bunuh diri yang muncul dan marak sejak tercetusnya konflik Palestina-Israel di wilayah Timur Tengah. Tepatnya 11 Desember 1987, ketika peristiwa Intifadah meletus di seluruh wilayah Tepi Barat dan Gaza. Perilaku bom bunuh diri ini sepertinya janggal jika terjadi di wilayah Palestina, bahkan ketika menyebar hingga ke wilayah Eropa (peristiwa di London), Amerika (peristiwa 11 September 2001), hingga wilayah Asia Tenggara seperti Indonesia. Karena yang kita tahu perilaku tersebut cenderung menjadi trade mark bangsa Jepang yakni yang disebut kamikaze. Namun benarkah demikian? Ternyata, perilaku bom bunuh diri ini mungkin saja telah berembrio sejak 2000 tahun silam. Menurut Robert A. Pape, perlawanan dengan melakukan bunuh diri dahulu kala pernah terjadi di Tanah Palestina. Ketika tanah Palestina masih diduduki oleh Kekaisaran Romawi, aksi itu pernah terjadi. Aksi tersebut dilakukan oleh dua kelompok revolusioner Yahudi militan yakni Zealot dan Sicarii, sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa Romawi serta memrovokasi pecahnya perlawanan rakyat. Dan menurut sejarah, pada tahun 66, pecahlah “Perang Yahudi”. Perang ini berakhir di Masada, namun mereka tak menyerahkan diri kepada penguasa Romawi, melainkan memilih bunuh diri massal, yang dilakukan oleh 980 anggota kelompok itu. Tak hanya itu, Joshepus, seorang sejarahwan pada masa itu menulis bahwa kelompok Zealot Yahudi tidak ragu-ragu melakukan - dan mengakui ketika tertangkap – aksi penyerangan kepada Herodes, penguasa Yudea dengan menggunakan pisau belati yang disembunyikan di balik jubah mereka. Tentu saja, risiko yang akan mereka hadapi ketika ditangkap adalah dijatuhi hukuman mati, entah disalib atau dibakar hidup-hidup. Oleh karenanya, aksi penyerangan ini disebut sebagai misi bunuh diri. Menurut penuturan Mazin B. Qumsiyeh, Israel di zaman modern ini yang memperkenalkan terorisme di Timur Tengah. Kaum Zionis lah yang pertama menggunakan cara teror di Palestina. Tercatat, pada 22 Juli 1946, sebuah truk bermuatan bom milik kaum Zionis meledak di Hotel King David di Jerusalem, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan sipil Inggris. Ini adalah bom mobil pertama di Timur Tengah, menewaskan 28 orang Inggris, 41 orang Arab, 17 orang Yahudi, dan lima orang lainnya, serta melukai lebih dari 200 orang. Tak hanya itu, kaum Zionis juga merupakan kelompok yang pertama kali menggunakan bom surat yang dikirimkan ke kantor kementerian Inggris, di Jerusalem. Apakah bom bunuh diri di zaman ini terinspirasi oleh peristiwa di masa lalu tersebut? Belum bisa dipastikan. Tapi keduanya memiliki sebuah pesan yang sama, yakni perlawanan terhadap penjajah dan semuanya dalam konteks politik. Kalaupun dalam aksi-aksi bom bunuh diri ini terkesan kental dengan nuansa agama, maka pada kenyataannya agama hanyalah sebagai alat legitimasi serta tameng dari hasrat (Iibido) para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya semata. Barbara Victor, dalam bukunya ini, ingin mengajak kita melihat lebih dekat dari sisi kultur-sosial fenomena bom bunuh diri yang justru dilakukan oleh kaum perempuan di Palestina. Sebuah fenomena yang bukan saja menarik, tetapi juga membuka paradigma kita untuk memandang secara objektif bagaimana posisi para perempuan Palestina, bom bunuh diri, dan kultur-sosial yang berkelindan dengan justifikasi agama itu nyata adanya di tengah-tengah konflik politik yang memakan banyak korban.

Daftar Pustaka Rujukan:
Trias Kuncahyo, Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Desember 2008.
Trias Kuncahyo, Gaza: Tanah Terjanji, Intifada dan Pembersihan Etnis, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Agustus 2009.
Karen Armstrong, Perang Suci: Dari Perang Teluk Hingga Perang Salib, Serambi, Jakarta, Oktober 2003.

Rabu, 02 Desember 2009

DISKUSI SASTRA: NAGABUMI I : Jurus Tanpa Bentuk



SENIN, 14 DESEMBER 2009, pkl. 17.30 WIB
Nara Sumber(2 sastrawan):
1. SENO GUMIRA AJIDARMA
2. ACEP ZAMZAM NOOR
Tempat:
GSG Ruang A-C
GKI Jl. MAULANA YUSUP 20 BANDUNG

Informasi/Pendaftaran (Gratis):
Sekretariat GKI Jl. Maulana Yusup 20 Bandung (022 4265130 - 4232907)
SMS 081320082544 / 0818217797
e-mail: Sekretariatgkimy@gmail.com

Terbuka untuk umum + Doorprize


design poster by: Dommy Waas

Sabtu, 07 November 2009

BILIK-BILIK IMAN: IMAN, SYUKUR dan KEAJAIBAN

Bayangkan, ketika anaknya (Lilin) sedang sakit – menderita anemia rhesus negatif AB, Kokro, sang ayah, dipecat dari pekerjaannya secara tak adil. Kokro bersama Eca, istrinya memiliki tanggungan seorang anak, seorang adik, dan seorang keponakan.

Tak mudah menemukan orang dengan golongan darah rhesus negatif, apalagi untuk jenis golongan AB. Kebanyakan orang bule. Tapi itu pun sangat jarang, Anemia rhesus negatif tergolong penyakit langka (hal. 41). Diperkirakan hidup Lilin tinggal 3-6 bulan (hal. 45). Motor Kokro ditahan karena pembayaran melalui koperasi belum lunas (hal. 46). Eca masuk koran, seorang wartawan memotretnya ketika ia sedang berdoa di depan patung Bunda Maria. Isinya seperti meledek, seperti menyindir bahwa seorang ibu berdoa di depan patung, mohon kesembuhan anaknya yang menderita anemia rhesus negatif. Terasa sinis, karena baris kalimat berikutnya adalah pertanyaan: Apakah di zaman yang sudah sangat modern ini masih perlu menyembah patung atau berhala? (hal. 47).

Pertanyaan yang wajar, seperti teman-teman Nabi Ayub, juga dituangkan penulis melalui Kokro saat ia dipecat: “Saya sudah berhenti mempertanyakan alasan, seperti juga berhenti mempertanyakan kenapa Lilin menderita anemia ini. Kenapa? Apa dari faktor keturunan, apa karena kutukan, apa karena kurang memuliakan Tuhan…saya tak mempertanyakan lagi. Jadi kalau saudara-saudara ingin memprotes silakan…kalau mau membuat demo, silakan…kalau menerima, silakan.” (hal. 53).

Iman biasanya diidentikan dengan keyakinan atau percaya. Amat mudah (bahkan mungkin terkesan murahan) kosa kata ‘iman’ keluar dari mulut para ulama atau pendeta di atas mimbar. Atau kita yang baru merasakan keberimanan itu seperti orang yang baru jatuh cinta. Pubertas beragama atau bisa juga disebut pubertas bertuhan atau ABG dalam beragama. Hal ini wajar saja dalam proses bertumbuh. Namun jika stop sampai di sana,jumud dan menutup pintu ijtihad, ini yang berbahaya. Bukan hanya bagi proses keberimanan orang itu sendiri, tapi juga bagi orang lain, bagi masyarakat, bangsa, bahkan agama itu sendiri. Kalau boleh saya sebut, akan terjadi ‘bunuh diri spiritualitas’. Terlalu mengerikan kedengarannya.
Amat biasa jika umat dihimbau untuk tetap beriman dalam kondisi apapun. Ya, mungkin saran itu harus terus didengungkan dalam ibadat-ibadat, agar umat tetap eling, ingat. Tentu saja umat diharapkan merasa dikuatkan, dimotivasi atau di charge. Namun, dalam realitas hidup, beriman itu tak mudah.

Beriman itu tak lantas mengaminkan seseorang (yang mendaku ber-Tuhan) untuk kebal dari riak-riak, guncangan gelombang bahkan badai pencobaan (yang lazim kita sebut sebagai ujian). Beriman itu tak bulat, tak sederhana dan tak utuh. Beriman seperti memiliki bilik-bilik, sekat-sekat yang beragam manakala kita diperhadapkan pada persoalan-persoalan sehari-hari. Entah persoalan yang sepele, maupun yang pelik dan njelimet – yang terkadang memojokkan kita di sudut-sudut ruang, hampa, menyesakan, dan nyaris membuat kita enggan menggenggam pengharapan pada Sang Khalik langit dan bumi. Seperti bilik, karena iman tak permanen, kaku dan beku seperti tembok. Ukuran kekuatan keberimanan seseorang tak bisa dianalogikan kepada kekakuan dan kekerasan, melainkan kelenturan dan kelembutan dalam menghadapi berbagai ranah permasalahan maupun ketiadaan permasalahan. Bukan juga menjadi mbalelo dan tak punya pendirian.

Novel dewasa karya Arswendo Atmowiloto ini menggambarkan ketidaksederhanaan manusia dalam beriman dari sudut pandang keluarga dengan background Katolik, yang mengalami pasang naik dan pasang surut beriman. Penulis dengan ringan – sambil tetap kritis – mengajak kita para pembaca membuka hati sambil ‘menelaah ulang’ makna keberimanan, bersyukur dan keajaiban bagi diri kita pribadi.

Ada lagi sebuah percakapan yang bisa jadi renungan kita bersama seperti di halaman 210-222:
“…kalau kita berdoa kerasrasras, lalu terjadi seperti apa yang kita maui rasa-rasanya koq kita bisa memaksakan kehendak kita. Kalau kita memaksakan kehendak kita sendiri, kita yang berkuasa.”
“Bahkan kalau kita diajari berdoa oleh Tuhan, diberi tahu caranya, tidak selalu harus terkabul.”
“Kalau tak bisa menciptakan nasi atau cabe, paling tidak kita bisa memasaknya.”


Dan dengan sederhana, namun tanpa menyederhanakan, diakhir cerita, percakapan menarik lainnya bagi saya, ada pada halaman 234-235:
“Bukan keberhasilan Lilin atau kegagalan, melainkan kita menjalani masa-masa seperti itu. Ketika kita bisa menjalani dengan ikhlas, dengan tulus, dengan apa adanya, itulah arti bersyukur.”
“Bersyukur itu lega, tidak cemas, tidak lagi dibalut rasa takut, tidak berputar-putar dengan mencari alasan.”
“Keajaiban terasakan ketika ada pertolongan atas Lilin. Atau ketika saya menyadari bahwa Lilin menderita. Tapi juga bisa berarti keajaiban ini karena kita merasakan, mengalami. Itulah keajaiban utama, dimana kita menjadi bebas menjalani. Kita merdeka.”
“Keajaiban bisa berarti ketika kita makin mendekat kepada Tuhan, dengan segala doa, segala upaya kepatuhan dan kesetiaan. Tapi juga berarti kita menyatu dengan Tuhan, dan tetap bisa memaknai tanda-tanda yang diberikan, dan tetap hidup dalam kenyataan sehari-hari.”


Ya, semestinya kita memegang keajaiban itu dengan tetap bisa memaknai tanda-tanda yang diberikan, dan tetap hidup dalam kenyataan sehari-hari. Bukan nanti dan disana (surga), namun kini dan disini (dibumi).

Lebih sering beriman itu mirip ketika kita tengah berada dalam perjalanan, lalu hujan datang, dan kita harus menepi sejenak untuk memakai jas hujan dan melanjutkan perjalanan, menerobos hujan, sambil tetap waspada. Atau benar-benar kita harus berteduh, menunggu hujan mereda atau berhenti. Semua itu dilakukan agar kita tidak basah kuyup dan berakibat tak menyenangkan yaitu sakit. Beriman ternyata tak sekedar dikoar-koarkan di atas mimbar semata. Beriman bukan berarti melangkah dengan kekonyolan (yang selalu kita samakan dengan keberanian), melainkan juga ditopang oleh akal sehat dalam keberserahan (bukan keterserahan) kita pada Tuhan. Lalu, yang penting -tapi terlalu sering kita lupakan - adalah bahwa kita yakin bahwa Tuhan hadir dan 'hidup' di tengah-tengah kita. Kita tidak sendirian.

Walahualam.

Jumat, 30 Oktober 2009

BERIMAN KEPADA YESUS MASIH DAPATKAH DIPERTANGGUNGJAWABKAN?

Oleh Prof. DR. Bambang Sugiarto

Sinopsis buku Darrell L.Bock et al ,“Mendongkel Yesus dari Tahtanya”

• Isu pokok : kesenjangan antara Yesus teologis (Kristianitas) dan Yesus historis (Yesusanitas); antara Yesus yang dimuliakan sebagai Juru Selamat manusia dan Yesus yang sekedar tokoh sosial-politik biasa saja seperti tokoh sejenis lainnya.
• Pokok bahasan : mengkaji 6 klaim yang bermunculan dari studi mutakhir tentang Yesus historis.
1. Perjanjian Baru asli telah sangat dirusak oleh para penyalin sehingga tak terpulihkan. Buku MYT menjawab, bahwa Perjanjian Baru memiliki dasar manuskrip yang lebih lengkap dari karya-karya literatur Yunani atau Latin yang akhir-akhir ini dimunculkan. Bahkan isi teks yang problematis hanyalah 1 % dari keseluruhan, maka tak mesti mempengaruhi kristianitas.
2. Injil-injil rahasia Gnostik menunjukkan eksistensi Kristianitas Purba yang berbeda. Buku MYT meneliti bahwa injil-injil itu sebetulnya tidak mencerminkan situasi Gereja Purba, sebab umumnya ditulis jauh sesudah penulisan Perjanjian baru dan dalam beberapa hal tak sesuai dengan Yudaisme sebagai latarbelakang obyektifnya.
3. Injil Thomas sangat mengubah pemahaman kita tentang Yesus sejati. YMT mengamati bahwa injil Thomas sangat dipengaruhi paham Gnostik, tidak selaras dengan tradisi Kristen-Yahudi, tidak sealur dengan Perjanjian Lama, dan upayanya mendiskreditkan keduabelas rasul membuat penulisnya justru mencurigakan.
4. Ajaran Yesus pada dasarnya bersifat politik dan sosial, berfokus pada keadilan, dan menentang sistem-sistem dominasi. MYT menjawab bahwa inti ajaran Yesus bukanlah sekedar reformasi politik, melainkan reformasi individu, yang diubah oleh Roh Kudus. Itu sebabnya Ia lebih banyak mengajar di Galilea, bukan di yerusalem.
5. Paulus mengubah misi semula Yesus dan Yakobus, dari Reformasi bangsa Yahudi menjadi gerakan meninggikan Yesus dan merangkul bangsa-bangsa bukan Yahudi. MYT menilai bahwa klaim dari James Tabor -yang memperlihatkan seakan ada ‘dinasti Yesus’- ini tak berdasar. Kristianitas Yahudi Purba juga bukan hanya gerakan Yahudi yang eksklusif dan politis. Sejak awal gerakan itu memang berpusat pada Yesus yang dimuliakan sebagai Kristus.
6. Makam Yesus telah ditemukan; kenaikan dan kebangkitannya tidak terjadi secara fisik. MYT menilai klaim ini pun tak berdasar pada fakta sejarah, budaya Yahudi, dan berbagai ungkapan ihwal kebangkitan badan dan kenaikan Yesus dalam kitab-kitab injil.

• Kesimpulan : jika keenam klaim itu salah maka dasar-dasar bagi Yesusanitas pun diragukan atau sekurang-kurangnya mengandung masalah-masalah berat.


Beberapa Kemungkinan ekstrim ( Deepak Chopra, The Third Jesus, 2008)

1. Argumen Harfiah : Yesus yang sesungguhnya hanyalah yang ada dalam Alkitab. Tak perlu mencari segala sumber lain di luarnya. Kendati pun ada nuansa berbeda-beda, para penginjil umumnya (terutama Mateus, Markus dan Lukas) memiliki fokus yang sama : bicara tentang Yesus yang kurang lebih sama. Masalahnya: Studi ilmiah atas Alkitab kini memperlihatkan banyak masalah di dalamnya, seperti, siapa sebenarnya Mateus, Markus, Lukas dan Yohanes itu dalam hubungannya dengan Yesus; sangat mungkin penulis Alkitab lebih dari sekedar empat orang itu; banyak hal sebetulnya tak tertulis tentang Yesus di masa mudanya, kecenderungan psikologis manusiawinya ( tertawa misalnya), saudara-saudaranya, dsb.; banyak perkataan yang ternyata bukan perkataan Yesus sendiri, dsb. dsb.
2. Argumen Rasionalis : Fakta tentang Yesus telah hilang bersama waktu. Alkitab tak bisa dijadikan bukti tentang Yesus sebagai sosok historis. Alkitab bukanlah data sejarah atau otobiografi, melainkan kesaksian tentang wartaNya. Masalahnya : sebenarnya Alkitab pun dokumen sejarah , namun bukan tentang sosok Yesus, melainkan tentang iman kepadaNya. Sementara kalau pun kita bersikukuh hendak mencari fakta ternyata rasionalitas pun tak menemukan cara paling tepat untuk memilah mana fakta mana bukan. ( Rasionalitas ilmiah seperti mengerti segala hal tentang air, tapi tidak tentang bagaimana berjalan diatas air, misalnya).
3. Argumen Mistik: Yesus yang sesungguhnya bukanlah realitas fisik; Ia adalah Roh Kudus. Pada awalnya adalah Firman, dan Firman ada bersama Tuhan, dan Firman adalah Tuhan, kata Yohanes (Yoh 1:1). Yesus yang real adalah yang abstrak, sang Firman, sang Sabda. Masalahnya : dalam Alkitab,Yesus memang bagian dari wacana teologis spiritual, namun persis karena itu maka cerita bisa sembarangan dan tuntutan atas bukti terus-menerus dihindari. Untuk intelektualitas modern yang kritis dan berjejak di bumi hal seperti itu tidak meyakinkan.
4. Argumen Skeptik: Tak ada Yesus yang real, sebab Ia hanyalah fiksi, produk imajinasi teologis belaka. Masalahnya : bila Yesus hanya fiksi maka sulit sekali memahami arus peradaban raksasa yang telah ditimbulkannya hingga kini. Harus ada sesuatu dasar yang real di balik semua itu. Menganggap semua itu hanya fiksi sebenarnya sama naifnya dengan menganggap bahwa seluruhnya dan secara harfiah nyata. Itu mirip orang-orang yang kini masih bersikukuh mengklaim bahwa Holocaust Hitler tak pernah ada, atau bahwa bumi ini sebenarnya datar belaka.
5. Argumen Kesadaran : Yesus paling nyata dalam rupa kesadaran tertinggi manusia, yang biasa disebut God-Consciousness. Cerita dalam Alkitab melukiskan tingkat kesadaran yang sangat tercerahkan. Siapapun yang menciptakannya haruslah memiliki tingkat kesadaran yang sangat tinggi itu. Dan itu pasti real, nyata. Masalahnya : ada banyak tokoh dengan kesadaran tingkat tinggi semacam itu (Buddha, para pencipta Veda, Confusius, nabi Muhammad SAW,dsb.). Tidak adakah keunikan yang khas pada Yesus ?

Beberapa catatan

1. Buku MYT mencoba menelusuri persoalannya secara cukup scholar, rinci dan komprehensif. Akan tetapi semangat utamanya tetaplah apologetis. Maka kesimpulan bahwa tradisi ortodoksi Kristianitas yang memuliakan Yesus lebih ditopang data historis dibanding klaim-klaim Yesusanitas, menjadi terasa terlalu enteng bila dibanding kesungguhan ilmiah dalam penelusurannya awalnya.
2. Hampir segala tokoh sejarah yang telah terpisah amat jauh dari kita oleh waktu selalu tak meyakinkan dan menimbulkan keraguan : Siapakah sesungguhnya Buddha, Julius Caesar, Shakespeare, Gajah Mada, Syech Sitti Jenar, Diponegoro, dsb ? Maka semakin jauh jarak waktunya semakin gambaran-gambaran kita tentang mereka bercampur fiksi, mitos dan kepentingan-kepentingan tertentu, yang tak selalu mudah memilah-milahnya. Itu adalah fakta yang wajar saja.
3. Tuntutan atas bukti-bukti faktual sejarah ilmiah bagi kehidupan beriman mungkin makin hari makin tak terhindarkan. Itu semacam tuntutan bahwa beriman itu bisa dipertanggungjawabkan dengan rasionalitas alamiah biasa. Tapi yang jadi soal adalah ‘rasionalitas alamiah biasa’ tidaklah identik hanya dengan ‘rasionalitas ilmiah’ belaka. Secara alamiah ada banyak bentuk kelogisan rasional, yang tak mesti ‘ilmiah’. Kehidupan jauh lebih kompleks dan ambigu daripada yang bisa dicerna hanya oleh logika ilmiah.
4. Andai data sejarah dianggap begitu penting, maka cara kerja para sejarawan itu sendiri pun harus dipersoalkan: a) bila para sejarawan setia pada batas data empiriknya belaka, bagaimana mungkin mereka akan pernah peduli pada gejala-gejala supra-natural (yang adalah dasar iman religius)?, b) kalau pada saat mereka menghadapi gejala-gejala supranatural itu mereka lantas memaksakan klaimnya bahwa gejala semacam itu “tidak mungkin” (soal mujizat-mujizat, misalnya), maka sebetulnya mereka melampaui kewenangan ilmiahnya, atau terlampau dikuasai oleh kerangka-kerangka teoretis paradigmatisnya hingga tidak terbuka pada realitas yang sesungguhnya. c) bukankah di balik science, kepercayaan berlebihan terhadap data empirik terukur dan terhadap pola rasionalitasnya yang khas adalah sejenis ‘iman’ juga ? dan pada titik itu maka statusnya menjadi sama dengan ‘iman’ religius ?
5. Beriman adalah ranah ‘makna’ hidup yang tak hanya mencakup fakta sumber masa lalunya, melainkan-bahkan terutama- adalah soal pengalaman eksistensial konkrit yang kita alami secara individual. Pada level makna eksistensial itu seringkali Story memang lebih penting daripada History; cerita bisa lebih berharga daripada fakta sejarah; begitu banyak dongeng yang telah membentuk kiblat nilai kita dan membimbing hidup kita daripada fakta-fakta lugas sejarah. Itu tidak apa-apa, karena yang khas dalam hidup manusia adalah imajinasi dan perasaannya : manusia hidup dalam dan melalui imajinasi dan perasaannya. Ketersentuhan, keharuan, perubahan kiblat hidup yang mendasar, kesadaran kosmik transendental, adalah hal-hal yang juga real, alamiah, dapat dipertanggungjawabkan dan masuk akal, kendati tidak bisa seluruhnya dijelaskan secara ilmiah.
6. Dalam kehidupan religius barangkali yang terutama adalah memang bertumbuhnya kesadaran nilai dan makna ke tingkat lebih tinggi atau lebih mendalam. Dan untuk itu kritik-kritik dari dunia ilmiah bukan tak ada gunanya. Kritik-kritik itu membantu kita melihat kembali terus-menerus mana yang sesungguhnya berharga dan pokok dalam perjalanan iman itu; mereka membuat kita selalu waspada terhadap perangkap-perangkap egoisme, tendensi kekanak-kanakan, kedangkalan, kesombongan dan kenaifan.



Prof.Dr.Bambang Sugiharto, mengajar filsafat di Universitas Parahyangan dan ITB. E-mail : ignatiussugiharto@yahoo.com

Rabu, 28 Oktober 2009

PEMUDA: DIMANAKAH SENGATMU?

Hari ini adalah peringatan hari SUMPAH PEMUDA. Semoga para pemuda Indonesia bisa berjalan pada track yg benar. Kalo jd pelajar atau Mahasiswa jangan tawuran melulu, jangan cuma bisa ospek ala militer yg bikin nyawa saudaramu hilang, bikin malu! Jangan hanya bisa sumpah serapah dengan bahasa sampah. Ayo! Pemuda Indonesia, bangkitkan semangatmu membangun negeri ini agar lebih baik! Dimanakah sengatmu?

Selasa, 06 Oktober 2009

MENDONGKEL YESUS DARI TAHTANYA

Diskusi buku "MENDONGKEL YESUS DARI TAHTANYA"
19 OKTOBER 2009, 17.30 WIB
di
GKI Jl. Maulana Yusup 20 Bandung



JESUSANITY or CHRISTIANITY?

Senin, 28 September 2009

INSTITUSI KEAGAMAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK


Rancangan Undang Undang (RUU) Perfilman telah disahkan menjadi Undang Undang (UU) Perfilman yang baru. Sebuah situs (entertainment.kompas.com) menyatakan: para insan perfilman sepakat akan kembali ‘melanggar’ UU tersebut. Dalam tayangan TVOne (Kabar Pagi, 9 September 2009), Mira Lesmana dan Christin Hakim menyayangkan UU Perfilman yang telah jadi tersebut justru lebih buruk dari UU sebelumnya. Sebagian besar isinya – meski berisi kata-kata yang indah – justru membatasi gerak dan kreatifitas dunia perfilman di Indonesia. Tak hanya itu, UU ini begitu didominasi oleh pemikiran-pemikiran atau konsep-konsep dari sudut pandang sekelompok orang atau institusi keagamaan tertentu. Hal ini diperkuat dengan tak diundangnya institusi keagamaan lain, selain dari agama Islam, dalam diskursus RUU Perfilman dan pengesahannya menjadi UU Perfilman. Mira Lesmana telah menyinggung juga persoalan ini. Kenapa institusi keagamaan lain yang ada di Indonesia – yang juga berhak ‘mewarnai’ kebijakan publik di negeri ini – tak dilibatkan dalam proses tersebut? Pertanyaan itu sempat dijawab oleh moderator TVOne, dalam mindset yang tak semestinya dimiliki oleh seorang jurnalis, bahwa hal tersebut wajar karena ‘mayoritas masyarakat kita adalah Muslim’.

Pernyataan atau kebijakan-kebijakan publik yang ditetapkan dengan cara hanya berdasarkan kacamata institusi keagamaan tertentu, dalam praktiknya akan berakibat bias dalam penegakan hukum. Dalam kasus ini, jelas siapa yang berperan besar dalam mewarnai isi UU Perfilman tersebut, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang anggota-anggotanya belum tentu memahami dunia perfilman. Negara ini dibangun dan tengah menjalani proses demokratisasi. Tujuan yang baik saja belumlah cukup jika tak kita jalankan dengan cara yang baik dan benar. Kebebasan berekspresi melalui media film atau media lainnya semestinya diwadahi dan didukung oleh pemerintah dalam bingkai kebijakan berdasarkan budaya Indonesia, bukan dikerangkeng dengan berbagai kebijakan yang memihak dan bias. Apalagi kebijakan itu digelontorkan dan disetujui hanya didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan institusi keagamaan tertentu.

Tradisi pengambilan kebijakan yang demikian seyogyanya dihentikan. Mengapa? Negara Indonesia adalah negara yang demokratis, bukan berdasarkan agama tertentu. Demokratis bukan berarti segala kebijakan hanya mengacu pada suara mayoritas semata, namun juga dengan melihat kepentingan bersama. Jika tradisi tersebut dipertahankan dan diwariskan atau ditularkan turun temurun, maka ini akan menghambat jalannya proses transformasi demokrasi bangsa kita sendiri. Jika di bagian awal UU Perfilman tersebut dicantumkan ‘…berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’, semestinya kalimat itu dipahami – seperti juga dalam Pancasila – tak hanya agama tertentu atau agama mayoritas yang berhak berperan aktif dalam membuat kebijakan (UU).

Kemayoritasan umat beragama tertentu (atau kelompok apapun) tidaklah menjadi dasar untuk menomorduakan hak-hak pihak minoritas. Mengakomodir berdasarkan hukum agama, boleh-boleh saja, karena dalam sejarah, agama memang punya peran terhadap perkembangan peradaban manusia. Namun, patut kita ingat, bahwa kecerobohan dan kekeliruan mengakomodir hukum-hukum agama – dengan mengabaikan pihak lain – adalah sebuah bentuk penindasan atas nama hukum.

video RUU Perfilman

Senin, 14 September 2009

OVER RELIGIUS



Terlalu religius...
Berdoa tak putus-putus,
Rajin melakukan ritus-ritus,

Beragama terlalu serius,
Ingin jadi orang kudus,
Hidup selalu ingin bagus,
Jalan selalu milih yang lurus,
Pasangan hidup pun ingin yang mulus,

Maunya banyak fulus,
Dapat apapun maunya yang bagus-bagus,
Beriman disamakan dengan nasi bungkus,
Beribadah tak tulus

Berduri bak pohon kaktus,
Beramal tapi tetap rakus,
Dosa-dosa inginnya dihapus,
Memuja Tuhan sampai terbius,
Yang berbeda dibumi hangus.


DW
Bandung, 29 Agustus 2009

Jumat, 28 Agustus 2009

cin(T)a : kala tuhan telah mati, dan kita membunuhnya

Berikut ini adalah sebuah notes dari facebook cin(T)a-the-movie yang ditulis oleh rekan Junanto Herdiawan.
Semoga bermanfaat.

salam,
Dommy Waas

---------------------------------------------------------------------------------

cin(T)a : kala tuhan telah mati, dan kita membunuhnya


Kenapa Allah menciptakan kita beda-beda kalau Allah cuma ingin disembah dengan satu cara?”

Cina dan Annisa mencintai Tuhan.
Tuhan juga mencintai mereka berdua.
Namun Cina dan Annisa tak bisa saling mencintai.
Karena mereka menyebut Tuhan dengan nama yang berbeda.



Cin(T)a adalah film yang sangat menarik untuk ditonton. Mungkin akhir pekan ini anda perlu meluangkan waktu untuk menontonnya. Ini adalah film indie yang berani membahas sebuah isu sensitif, yaitu isu tentang Tuhan. Di permukaan, film ini mengangkat kisah cinta antara Cina (diperankan oleh Sunny Soon) dengan Annisa (diperankan oleh Saira Jihan). Cina adalah pria etnis Batak Cina yang beragama Kristen. Sementara Annisa adalah wanita berdarah Jawa yang beragama Islam. Di balik kisah cinta mereka, tersembunyi pertanyaan filosofis yang dalam, siapakah Tuhan? Dan mengapa Tuhan menciptakan perbedaan?

Film ini berkisah seputar hubungan dua karakter yang berbeda ras dan agama. Cina yang taat dan rajin ke gereja, serta Annisa, seorang muslimah yang tak pernah meninggalkan sholat. Hubungan mereka bergulir dan diisi dengan berbagai diskusi tentang perbedaan antar mereka. Antara Islam dan Kristen. Berbagai hal yang terkesan tabu, secara berani diangkat dalam diskusi. Soal poligami, perayaan natal, surga, dan neraka, disajikan dengan santai dan tanpa memunculkan konflik. Ujung dari semua diskusi ini adalah mempertanyakan Tuhan. Apa yang ada dalam benak pikiran Tuhan saat menciptakan perbedaan? Mengapa banyak agama di dunia ini? Film yang mengambil setting pada tahun 2000, menggambarkan suasana konflik antar umat beragama di berbagai tempat. Agama telah menjadi alat propaganda yang paling murah untuk bunuh-bunuhan antar manusia sepanjang zaman.

Bagi Annisa, Tuhan adalah seorang Sutradara. Kehidupan diibaratkan putaran film. Manusia adalah pelakunya. Tapi bagi Cina, kalau Tuhan adalah sutradara, maka ia adalah sutradara yang basi. Kegelisahan Cina adalah kegelisahan Nietzsche saat mengatakan “tuhan telah mati, tuhan telah mati, dan kita semua membunuhnya.. (Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getötet!) ”. Nietzsche telah membunuh tuhan secara metafisik. Ia memang seorang atheis sejati. Tapi ini jugalah yang dikhawatirkan oleh Annisa saat mengatakan, “Dunia ini sudah kebanyakan agama, dunia ini sudah kebanyakan tuhan”.

Ketika nama Tuhan dibawa untuk berperang. Ketika nama Tuhan dibawa dalam setiap konflik. Dan ketika nama Tuhan memisahkan dua orang yang saling mencinta, Tuhan menjadi suatu yang asing. Cina dan Annisa mungkin mewakili satu dari sekian banyak kaum muda yang mempertanyakan Tuhan dan Agama. Di zaman ini, perbedaan nyaris bagai sebuah kutuk. Masing-masing kelompok berusaha memandang dan mendekati Tuhan dengan kebenarannya sendiri. Sementara pendekatan dan pandangan yang “liyan” tentang Tuhan, dianggap sesat atau salah. Yang terjadi kemudian adalah konflik. Fundamentalisme beragama, adalah cara pandang terhadap satu ajaran dan menganggap kebenaran adalah miliknya.

Lantas, apa itu kebenaran? Tuhan siapa yang benar? Annisa bertanya pada Cina, mungkinkah ia masuk surga dalam pandangan Tuhan-nya Cina? Film ini berusaha menampilkan caveat dalam memberi jawaban atas berbagai pertanyaan itu. Kebenaran, dibawa dalam perspektif historis, dalam konteks sosial maupun kultural. Manusia menggambarkan sesuatu dari perspektif yang ia tangkap. Kant menyebut hal ini dengan istilah Das Ding an Sich, bahwa kebenaran pada dirinya sendiri, kita tak pernah tahu. Manusia memiliki keterbatasan dalam melihat seluruh kenyataan.

Saat Monotheisme lahir, kita berharap monotheisme dapat mengatasi pertanyaan yang menggantung pada metafisika klasik, paganisme, maupun agama “primitif”. Levinas dengan taukhid Yudaismenya, telah menempatkan monotheisme agama Ibrahimi (Yahudi, Kristen, dan Islam) sebagai benchmark bagi paradigma keimanan. Levinas mengecam Heidegger yang mengingatkan kita tentang “Ada” dalam tradisi metafisika. “Ada” bukanlah Tuhan, tapi “Ada” mendahului aku yang berpikir. Ada adalah sebuah tafakur, yang menyiratkan kekuatan hati, anugerah, dan yang personal.

Ketika agama menjadi besar, ia tumbuh bagai struktur yang kaku, jauh melampaui makna “Ada”. Kemegahan masjid, gereja, kuil, maupun sinagog, dan kegemerlapan serta hiruk pikuk umat beragama, telah mengambil ruang-ruang sepi dalam relung tafakur. Makna “Ada” telah bergeser pada kerucut perbedaan. Saat itu, agama tak lebih dari sekedar tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Tak heran Karl Marx menyebut agama adalah candu. Agama dianggapnya sebagai candu bagi masyarakat yang mampu membuat lupa akan realitas kehidupan.

Film ini sungguh layak ditonton. Dari sisi sinematografi, penyajiannya sungguh apik. Adegan-adegannya enak dilihat. Musik pengiringnya begitu indah dan tepat dalam menggambarkan suasana hati. Setiap adegan ditampilkan penuh arti. Setiap detil, setiap sudut gambar, pada akhirnya memiliki arti dan perannya masing-masing. Bahkan gerak gerik seekor semut, buah apel, hingga gerak lembut seruas jari pun memegang peranan penting di film ini.

Dalam desah lirihnya, Cina berkata, “apabila tak ada tuhan, tak ada agama, mungkin tak ada perang”. Sebuah pertanyaan cerdas yang sangat berani diangkat di tengah masyarakat kita.

Pada ujungnya, film ini tidak berpretensi memberi jawaban. Namun apalah artinya jawaban. Karena yang dibutuhkan bukan itu. Yang dibutuhkan adalah keberanian mengajukan pertanyaan. Agama, dimanapun ia diturunkan, adalah tentang pertanyaan.

Esensi bulan Ramadhan ini adalah kekosongan. Ramadhan bukan tentang gegap gempita. Ramadhan adalah momen bertafakur. Di dalamnya, memuat pertanyaan-pertanyaan pada diri dan pada Tuhan. Mengapa saya ada, dan hendak ke mana saya menuju.

Film ini, mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu.

Selamat Menonton.

Kamis, 20 Agustus 2009

KEMERDEKAAN

Pasang naik dan surut perjuangan negeri ini
Dalam jejak ukir kaki tangan kita,
Terjajah atau merdeka…
Semua mengalir silih berganti,
Kemerdekaan?
Mengapa?
Manusia butuh kemerdekaan,
Jika tidak ada kemerdekaan
Apalah bedanya dengan mesin?

Di sudut-sudut sana,
Di persimpangan-persimpangan jalan,
Masih ada jiwa-jiwa yang terbelenggu…
Di ruang-ruang yang sacral
Masih ada belenggu kekerasan,
Menari-nari dalam kuasa-kuasa dogma.

Tangan-tangan keadilan merapuh
Tak kuasa melindungi yang lemah,

Kemerdekaan?
Yang terlupakan manakala kita berkuasa
Memperbudak dan menindas sesame anak bangsa
Atas nama ego dan prestise.

Kita lupa bahwa negeri ini anugerah dari Sang Pencipta,
Dalam warna-warni kultur,
Agama,
Suku bangsa,
Dan bahasa.

Kita angkuh mencoba-coba…
Atas nama Tuhan yang beragam sebutan itu,
Menafikan keberbedaan yang ada,
Dengan mimpi-mimpi liar tak humanis,
Menyingkirkan apa-apa yang beda.

Kemerdekaan?
Ideologi?
Agama?
Ah….di bumi ini…
Ketika kita mengaminkan Tuhan,
Bukankah kemerdekaan manusia
Yang mesti kita pertahankan?

Indonesia bukan milik segelintir konglomerat!
Indoensia bukan punya sekelompok orang kemaruk!
Indonesia bukan tanah garapan para penjahat berseragam bejabat!
Indoenesia tak boleh lagi diberangus kebebasannya!
Indonesia tak lahir dari rahim agama tertentu!
Indonesia dibangun oleh tangan-tangan
Yang mengerti apa itu kebhinekaan,
Yang menghormati apa itu perbedaan.

Perbedaan ada, maka Indonesia ada
Dirgahayu Indonesiaku…
Satu nusa,
Satu bangsa,
Satu bahasa…Indonesia…
Merdeka!!!


Dommy Waas
16 Agust 2009

Sabtu, 15 Agustus 2009

ARTIKEL BERIKUTNYA....

1. SISI LAIN BOM BUNUH DIRI (Sebuah telaah terhadap buku "Army of Roses" karya Barbara Victor)
2. MEDIA INFORMASI dan TOKOH GARIS KERAS?
3. BILIK-BILIK IMAN (Sebuah telaah terhadap novel 'Horeluya' karya Arswendo Atmowiloto)
4. ILUSI NEGARA ISLAM (Sebuah telaah terhadap buku 'Ilusi Negara Islam : Gerakan Transnasional di Indonesia')
5. TUHAN vs ELIA? (Telaah terhadap buku 'The Fifth Mountain' karya Paulo Coelho)
6. KERAGUAN: BAGIAN DARI PROSES BERIMAN? (Telaah terhadap novel 'Silence' karya Susako Endo)
7. etc.

Sekolah Gratis, Kualitas dan BHP

“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
(UUD 1945, pasal 31, ayat 1)


“Mulai tahun 2009, sekolah gratis!”
, isi sebuah ‘kampanye’ yang sering tayang di televisi. Digambarkan dengan seorang anak yang putus harapan untuk bersekolah menjadi berbinar penuh harapan, bersama orang tuanya. Masyarakat menengah ke bawah, tentu saja akan menggantungkan harapan agar anaknya bisa mengenyam pendidikan. Namun, iklan memang cenderung penuh bumbu dan berbeda dengan realitas.
Ketidakjelasan sosialisasi sekolah gratis membuat masyarakat bingung dan memadamkan harapannya. Kenapa? Program sekolah gratis seolah muncul sebagai upaya politis mendongkrak citra pemerintah incumbent dalam masa-masa pemilu legislatif dan pilpres 2009. Diakui atau tidak, faktanya berbagai ketidakjelasan muncul ketika program ini digelontorkan.

Beberapa hal yang patut dicatat (atau dipertanyakan) oleh semua pihak terkait sekolah gratis: (1) Bagaimana mutu atau kualitas sekolah gratis tersebut? (2) Siapa sasaran program sekolah gratis? (3) Fasilitas minimal apa yang disediakan oleh sekolah gratis bagi para siswanya? (4) Bagaimana dengan biaya operasional sekolah? (5) Bagaimana dengan pembiayaan (gaji) para guru? (6) Bagaimana peran aktif pemerintah daerah maupun pusat dalam program ini? Dan mungkin masih banyak hal yang masih buram dalam benak para orang tua yang akan menyekolahkan anak-anaknya. Sebagian masyarakat justru berpendapat agar pemerintah bukan mengadakan pendidikan gratis, melainkan pendidikan murah dan terjangkau namun bermutu.

Berdasarkan Buku Pedoman Bantuan Operasional Sekolah 2009, dana BOS digunakan untuk biaya penerimaan siswa baru, buku referensi, buku teks pelajaran, pembelajaran (remedial, pengayaan, olahraga, kesenian), ujian, pembelian bahan-bahan habis pakai, pembiayaan langganan daya listrik/air, pembiayaan perbaikan sekolah, pembayaran honorarium, pengembangan profesi guru dan pelatihan, biaya transport siswa miskin, pembiayaan pengelolaan bantuan operasional sendiri, serta pembelian perangkat komputer. Apakah mungkin dalam kondisi perekonomian bangsa yang masih labil ini, program sekolah gratis itu diterapkan di seluruh Indonesia? Beberapa sekolah alternatif, murah dan berkualitas telah didirikan oleh mereka yang concern terhadap dunia pendidikan. Mereka memodifikasi – bahkan mengubah – kurikulum nasional, dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Berbasis Kebutuhan (KBK).

Dalam sebuah diskusi pendidikan di GKI Jl. Maulana Yusuf – Bandung bulan Juni 2009 lalu, Ahmad Bahruddin (pelopor sekaligus kepala SLTP alternatif Qaryah Thayyibah Kalibening, Salatiga) menekankan bahwa, “Sekolah bermutu tidak hanya menekankan peringkat tinggi, namun yang lebih penting adalah memberdayakan para peserta didik dalam menghadapi kehidupan sekitar” Dan yang lebih penting adalah “jangan menyamakan dunia pendidikan dengan dunia industri”.
Dunia pendidikan di Indonesia telah lari dari cita-cita bangsa yang tertuang dalam Preambule UUD 1945. Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, dunia pendidikan kita justru menjadi bagian subsistem neoliberalisme, dengan adanya liberalisasi pendidikan. Hadirnya UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) – yang merupakan turunan dari UU Sisdiknas (pasal 53 ayat 4) – tak pelak mengaburkan peran negara terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional serta secara teknis mempersulit masyarakat untuk mengakses pendidikan yang diselenggarakan negara. Jika ini menjadi tujuannya, maka negara telah melakukan pelanggaran konstitusi. Namun, jika UU BHP memang ditujukan agar badan pendidikan menjadi mandiri, lantas dimana tanggungjawab negara terhadap penyelenggaraan dunia pendidikan nasional kita?

Disisi lain, dunia pendidikan nasional kita dihadapkan dengan keberadaan dunia maya (cyberworld) yang merupakan dampak dari globalisasi. Dunia pendidikan pun tak luput dari teknologi yang satu ini. Cybereducation, istilah untuk menggambarkan penggunaan internet sebagai media pembelajaran atau edukasi. Cybereducation bisa menjadi alternatif bagi dunia pendidikan nasional kita, jika negara ‘belum kuat’ menyediakan anggaran pendidikan nasional yang harus dipenuhi.

Namun, perlu dikaji lebih jauh dampak psiko-sosial cybereducation terhadap siswa, guru, dosen, dan proses pembelajaran dalam realitas sosial. Mengapa? Seperti diungkap oleh Yasraf Amir Piliang (2004), pertama, terdapat potensi terjadinya alienasi antara pengguna internet yang sudah masuk dalam cyberworld dengan dengan realworld, dunia ini. Ketika seseorang menjadi pengguna internet (netter) dan mereka masuk dalam cyberworld, maka mereka pada hakikatnya telah lahir dan membentuk identitas lain di dunia maya, mereka membentuk komunitas, relasi sosial, dan tatanan sosial baru, yang lepas dari hukum fisika Newton, dan dengan demikian sama sekali berbeda dari bentuk komunitas, relasi sosial, tatanan sosial yang ada dalam alam fisik ini.

Lalu, apa yang mesti dilakukan? Apakah karena uang (anggaran pendidikan)? Singapura mengeluarkan uang lebih sedikit untuk pendidikan dasar dibandingkan negara maju lainnya. Apakah waktu belajar anak yang lebih panjang? Di Finlandia, anak tidak memulai sekolah sebelum berumur tujuh tahun. Mereka hanya menghabiskan empat sampai lima jam sehari di sekolah. Belajar dari negara-negara yang pendidikannya di peringkat atas: pilih kandidat guru dengan selektif dan sesuai kebutuhan. Setelah masuk seleksi, beri pelatihan agar bisa menjadi pengajar yang efektif. Namun hal ini perlu diiringi dengan perbaikan status. Guru harus menjadi profesi dengan status yang tinggi. Dan terakhir, memastikan setiap anak meraup manfaat dari pendidikan yang diselenggarakan negara (Indonesia Anonymus, 2009).

Realitas dunia pendidikan kita, tepat seperti diutarakan Michael W. Apple, bahwa ”Pengetahuan telah menjadi sejenis modal yang dikelola dan didistribusikan oleh institusi pendidikan kepada anak didik sebagaimana institusi ekonomi mengelola modal finansial” Quo Vadis pendidikan nasional kita?

Dommy Waas
(telah dimuat di http:\\fokal.info\ edisi III)

Senin, 03 Agustus 2009

Zionisme, Anti-Zionisme, dan Pasca-Zionisme

Ini makalah yang di tulis oleh Akhmad Sahal dalam diskusi:
DISKUSI JIL BULAN JULI
Zionisme, Anti-Zionisme, dan Pasca-Zionisme
Narasumber: Akhmad Sahal & Hamid Basyaib
Moderator: Ihsan Ali Fauzi
Waktu: Kamis, 30 Juli 2009, Jam 19.00-21.30 WIB,
Tempat: Teater Utan Kayu Jl. Utan Kayu 68 H Jakarta Timur

Semoga kita mendapatkan pencerahan.
-----------------------------------------------------------------------
Zionisme, Antizionisme dan Pascazionisme
Akhmad Sahal*)

Di kalangan Yahudi di luar maupun di dalam Israel, kritik terhadap zionisme belakangan ini tampaknya sama sulitnya dengan telaah yang “simpatik” terhadapnya di kalangan Muslim. Contohnya adalah artikel kontroversial Tony Judt bertajuk “Israel: The Alternative” di The New York Review of Books pada 2003. Dalam artikel tersebut, ahli sejarah Eropa berdarah Yahudi yang kini mengajar di New York University itu berargumen bahwa ide negara Yahudi yang mendasarkan dii pada nasionalisme etnis tak bisa lagi dipertahankan karena ia adalah suatu anakronisme. Oleh sebab itu Judt mengusulkan agar negara Israel menanggalkan identitas keYahudiannya dan menerapkan “negara dua bangsa” (Yahudi dan Arab) agar betul-betul demokratis. Gara-gara tulisan itu, Tony Judt langsung dicap antisemit dan disebut self-hating Jew. Namanya dicoret dari masthead The New Republic, dan ia sempat “dibredel” untuk tampil sebagai pembicara dalam suatu diskusi di New York.

Usulan Judt sebenarnya tidak baru. Martin Buber, Judah Magnes (pendiri Hebrew University) dan sejumlah intelektual Israel yang tergabung dalam Shir Shalom pada juga penganjur gagasan “negara dua bangsa.” Usulan itu juga tidak “galak” jika dibandingkan dengan pemikiran antizionisme dan pascazionisme di kalangan Yahudi.

Cinta Sepihak Terhadap Eropa
Kelahiran zionisme di mata para pendukungnya tidak lain merupakan kisah cinta kaum Yahudi yang tak terbalas terhadap Eropa Pencerahan. Dua pendiri utama gerakan ini, wartawan Yahudi kelahiran Hungaria Theodor Herzl yang menulis pamflet yang tersohor, Negara Yahudi pada 1896, dan Leo Pinsker, Yahudi asal Rusia yang menulis buku Auto-Emancipation pada 1882, pada awalnya adalah para asimilasionis yang kemudian berbalik arah menjadi penentang asimilasi, pembauran Yahudi ke dalam masyarakat Eropa modern.
Mereka berdua, sebagaimana sebagian besar Yahudi Eropa saat itu, meyakini bahwa satu-satunya jalan menuju emansipasi buat Yahudi adalah dengan mengikuti seruan Napoleon Bonaparte seabad sebelum kelahiran zionisme. Penaklukan Napoleon di pelbagai penjuru Eropa pada abad 18 membantu penyebaran ide-ide Revolusi Perancis yang didasarkan pada proyek Pencerahan, terutama tentang kesetaraan “Hak-Hak Manusia dan Warga Negara.” Tawaran Napoleon kepada komunitas Yahudi di Eropa Barat saat itu, jika mereka mendapatkan hak-hak hukum dan politik yang setara dengan warga Kristen dan sekular, apakah mereka bersedia keluar dari ghettonya yang eksklusif dan melepaskan identitas primordial keYahudian untuk menjadi individu-individu modern? Bisakah mereka melepaskan diri dari loyalitas mereka kepada otoritas rabi dan sepenuhnya loyal kepada negara Perancis yang sekular?
Dengan tawarannya itu, Napoleon mungkin saja punya maksud melenyapkan identitas keYahudian dengan cara melebur mereka ke dalam masyarakat Eropa entah dengan menjadi sepenuhnya sekular atau berkonversi ke Kristen. Akan tetapi, respon kaum Yahudi justru sangat antusias. Buat mereka, Napoleon telah membuka jalan bagi emansipasi untuk kaum Yahudi. Mereka meyakini Pencerahan bukan hanya tidak bertentangan dengan keYahudian, melainkan justru menguntungkan Semboyan mereka yang terkenal: lihyot yahudi ba bait, wa adam ba khutz (menjadi Yahudi di rumah dan manusia di luar). Kaum Yahudi di Perancis, misalnya, memberikan justifikasi peleburan identitas keYahudian dan kePerancisan dengan melihat Revolusi Perancis 1789 sebagai peristiwa mesianik dalam sejarah Yahudi modern; semboyan “liberty, egality, and fraternity” sebagai hukum Sinai kedua. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai “Israelites de France.” Hal yang sama juga terjadi di Jerman, tempat di mana gerakan Pencerahan Yahudi (haskalah) yang dipelopori oleh Moses Mandelssohn justru tumbuh dengan subur. Para pemimpin Reform Judaism di Jerman yang berupaya memposisikan agama Yahudi sebagai kredo etika universal begitu loyal terhadap tanah kelahirannya dan menyebut berlin sebagai Jerusalem baru, “tanah air tempat di mana kita menautkan diri dengan ikatan cinta yang keras kepala.” Le shanah ha-baah be Yerushalaim (tahun depan ke Yerusalem) dilihat hanya sebagai bagian dari ungkapan ritual yang sama sekali tidak memuat program politik untuk merestorasi tatanan politik Israel.
Dengan menjadi pemeluk teguh ide-ide Pencerahan seperti individualisme, rasionalisme dan sekularisme, mereka meyakini bisa memecahkan “persoalan Yahudi” yang menghantui mereka sejak hidup dalam diaspora di Eropa. Identitas keYahudian mereka definisikan tidak dalam kerangka tradisional, yakni berdasar pada kepatuhan kepada halakhah (hukum Yahudi), melainkan dalam kerangka liberal, yakni sebagai individu dengan kebebasan dan kekhasannya sendiri.
Theodor Herzl dan Leo Pinsker turut menyokong integrasi Yahudi ke dalam masyarakat Eropa sampai kasus Dreyffus mencuat pada 1882. Sebagai koresponden harian Wina, Neue Freie Presse, Herzl meliput kasus Dreyfus, kapten berdarah Yahudi yang sepenuhnya asimilasionis seperti dirinya, yang dituduh menjadi mata-mata bagi Jerman hanya karena ia Yahudi, dan kemudian dipecat secara tidak hormat dari dinas militer Perancis. Yang membuat Herzl masygul, kasus Dreyfus justru terjadi di Paris, ibukota Pencerahan. Padahal tidak lama sebelum itu, progrom dalam skala masif terjadi di Rusia, yang oleh Pinsker dipahami sebagai bukti masih bercokolnya antisemitisme. Dua kasus itulah yang dalam narasi zionisme dianggap sebagai pemicu lahirnya zionisme.
Pada titik inilah terletak asumsi pertama zionisme tentang kegagalan asimilasi Yahudi ke dalam Eropa, lantaran cinta mereka ternyata bertepuk sebelah tangan. Bagi Herzl, Pencerahan tidak hanya membawa solusi melainkan juga problem baru buat kaum Yahudi, karena selain melahirkan individualisme, Pencerahan juga memunculkan nasionalisme. Di sinilah letak masalahnya: ketika orang-orang Yahudi di pelbagai negara Eropa bertransformasi menjadi individu-individu modern dengan identitas berdasarkan ide-ide kosmopolitan dan universal dari Pencerahan, masyarakat Eropa justru sibuk membangun identitas nasionalnya sendiri-sendiri, sesuatu yang kalangan Yahudi tidak punya. Meskipun orang Yahudi sudah berusaha sepenuh hati menjadi bagian dari Eropa, ia tetaplah the other, sang liyan di mata publik Eropa. Ini karena, menurut Herzl, kaum Yahudi hidup dalam dunia eksil tanpa punya negara yang menjadi “rumah” mereka sendiri. Menurut Herzl, diaspora menjadikan Yahudi terus menerus hidup dalam abnormalitas yang rentan terhadap serangan antisemitisme. Karena itulah Herzl menyerukan agar kaum Yahudi mengakhiri abnormalitasnya dengan keluar dari tanah eksil Eropa dan membangun identitas nasionalnya sendiri. Dari sinilah bertolak asumsi kedua zionisme: identitas keyahudian niscaya bersifat nasional. Masyarakat Yahudi yang terpencar-pencar adalah satu kesatuan yang tidak hanya diikat oleh agama melainkan terutama oleh sentimen kolektif sebagai suatu bangsa.
Tapi harap diingat, zionisme lahir pada akhir abad 19, saat di mana dataran Eropa diwarnai dengan maraknya nasionalisme romantik atau folkish a la Rousseau dan Herder, yang mengidentikkan nasionalisme dengan identitas kolektif berdasar kesatuan etnik atau ras yang homogen, seakan-akan etnisitas adalah sesuatu yang terberi, yang cenderung mengeksklusikan sang liyan. Paham semacam inialh yang oleh Tony Judt disebut sebagai anakronisme.

Kosmopolitanisme Kontra Zionisme.

Tapi betulkah asimilasi Yahudi adalah ihtiar yang sia-sia dalam pandangan mereka sendiri? Betulkah diaspora merupakan kehidupan abnormal buat Yahudi? Amos Elon, sejarawan Israel yang melacak kiprah Yahudi di Jerman dari awal abad 18 sampai naiknya Hitler pada 1933 dalam The Pity of it All, dengan tegas membantah klaim Herzl tersebut. Menurut Elon, masyarakat Yahudi Jerman sam sekali tidak menganggap diri mereka sebagai imigran atau tamu di negeri asing. Bahkan, emansipasi politik yang mereka nikmati sebagai buah dari Pencerahan menghasilkan lonjakan prestasi yang mencengangkan dalam ranah budaya, sains, seni, dan jurnalisme. Kerekatan antara identitas Yahudi dan Jerman ini baru putus setelah Hitler berkuasa pada 1933.
Karena itu, sejumlah intelektual Yahudi melihat kehidupan diaspora lebih sebagai berkah ketimbang kutukan, karena situasi itu justru memungkinkan mereka memainkan peran sebagai kekuatan kritis di masyarakat. Dalam kerangka semacam inilah kita bisa memahami mengapa Hannah Arendt merayakan marjinalitas peran Yahudi sebagai kelomopk pariah, dan mengapa Isaac Deutscher menyuarakan pembelaannya terhadap apa yang ia sebut sebagai “the Non-Jewish Jew” ketika ia berbicara tentang sejumlah pemikir dan seniman Yahudi heretik semacam Spinoza, Heinrich Heine, Karl Marx, Sigmund Freud dan Leon Trotsky.
Menarik untuk dicatat, mereka yang menampik aksioma Zionisme yang menegasikan diaspora (Shelilat Hagalut) umumnya adalah kalangan Yahudi kosmopolit, dari kiri maupun kanan, sosialis maupun liberal. Mereka inilah yang juga menolak klaim zionisme bahwa Yahudi adalah bangsa yang tunggal. Pertentangan antara kaum zionis dan Yahudi kosmopolitan ini sekaligus menunjukkan perbedaan mereka dalam menyikapi persoalan Yahudi.
Kalangan Yahudi sosialis seperti Rosa Luxemburg dan Leon Trotsky, yang oleh Stalin dikecam sebagai rootless cosmopolitans, mengakui bahwa ancaman semitisme memang nyata-nyata ada. Akan tetapi mereka menolak solusi zionis untuk mengatasi antisemitisme, yaitu dengan mendirikan negara Yahudi di Eretz Yisrael. Alasannnya, hal ini justru membawa Yahudi kembali terjebak dalam nasionalisme etnis yang sempit, yang nyaris tidak ada bedanya dengan ghetto-ghetto yang mereka huni sebelum era Pencerahan.
Kalangan Yahudi sosialis menyerukan agar perjuangan melawan antisemitisme diintegrasikan dengan perjuangan kaum proletar melawan kapitalisme karena di mata mereka, persoalan Yahudi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan suatu gejala sosial yang terkait erat dengan kapitalisme. Begitu kapitalisme runtuh dan sosialisme berdiri, antisemitisme akan hilang dengan sendirinya.
Pada tingkat tertentu, argumen kaum sosialis ini bertolak dari esai Karl Marx tentang persoalan Yahudi, Zur Judenfrage yang ia tulis hampir setengah abad sebelum zionisme lahir, yakni pada 1843. Dalam esai tersebut, Marx sebenarnya menolak pandangan asimilasionis Bruno Bauer yang berpendapat, emansipasi kaum Yahudi baru bisa tercapai kalau mereka menanggalkan identitas keagamaannya yang partikular dan menerima prinsip-prinsip liberalisme: mejadi individu yang otonom dan mengakui legitimasi negara sekuler. Dalam pandangan Marx, emansipasi semacam ini adalah emansipasi semu, karena hanya terjadi pada ranah suprastruktur, hanya emansipasi legal dan politik, bukan emansipasi kemanusiaan secara utuh. Menurut Marx, kaum Yahudi baru mengalami emansipasi kalau mereka dibebaskan dari apa yang oleh Marx disebut sebagai “Judaisme praktis,” yakni kepentingan-diri, huckstering, dan uang. Dengan kata lain, kapitalisme. Tulis Marx, “emansipasi Yahudi adalah emansipasi seluruh masyarakat dari Judaisme.”
Selain dari sayap kiri, penolakan terhadap zionisme atas dasar kosmopolitanisme juga dating dari kaum Yahudi liberal, seperti Hermann Cohen dan Karl Popper. Hermann Cohen (1842-1918), misalnya, adalah seorang filosof Yahudi Jerman yang secara sistematis merumuskan agama Yahudi sebagai agama akal, sebagai monoteisme murni dalam bentuk hukum-hukum moral yang universal. Di sini pengaruh konsep kategori imperatif dan otonomi moral Immanuel Kant kuat terasa. Tapi Cohen menolak klaim Kant bahwa agama Yahudi tidak bisa menjadi dasar bagi moralitas universal hanya karena dia bersumber dari luar manusia (heteronom). Menurut Cohen, justru posisi agama Yahudi sebagai monoteisme murni sejalan dengan universalisme Kantian.
Cohen menafsirkan keterpilihan bangsa Yahudi sebagai tugas ketimbang privilese, sebagai bangsa par a nabi. Cohen melihat sejarah agama Yahudi sebagai proses “spiritualisasi” yang bergerak dari partikularisme ke universalisme. Hancurnya kedualatan politik Yahudi, kondisinya sebagai wandering Jews yang tak bernegara dan tak berumah menunjukkan bahwa identitas keyahudian bukanlah dimaksudkan sebagai identitas eksklusif untuk etnik tertentu saja, melainkan sebagai etika universal. Atas dasar itulah Cohen menolak zionisme apapun bentuknya.
Sementara itu,Karl Popper, filosof liberal berdarah Yahudi yang terkenal dengan bukunya The Open Societies and Its Enemies, menolak nasionalisme etnis yang menjadi dasar zionisme, yang menurutnya bertentangan dengan prinsip-prinsip masyarakat terbuka yang kosmopolitan. Popper mengakui kegagalan asimilasi Yahudi di Eropa yang berpuncak pada tragedi Holocaust. Akan tetapi baginya, kegagalan itu mestinya membawa kaum Yahudi untuk melampaui identitas kebangsaan yang partikular dan bersandar pada identitas kosmopolitan.
Memang tidak semua kaum Yahudi liberal atau sosialis serta merta menganut kosmopolitanisme dan menolak zionisme. Harap diingat, sebagian founding fathers negara Israel adalah juga penganut sosialisme yang ingin merealisasikan prinsip-prinsip sosialisme dan mengkombinasikannya dengan mesianisme sekular seperti tercermin dalam kibbutzim. Sementara pemikir liberal semacam Isaiah Berlin mendukung zionisme bukan atas dasar menegasikan diaspora Yahudi atau menghentikan antisemitisme seperti dikemukakan Herzl, melainkan karena bagi Berlin, realisasi kebebasan mengandaikan adanya “rumah” sebagai tempat berpijak. (Menurut saya, argumen ini mestinya berlaku tidak hanya untuk bangsa Yahudi melainkan juga bangsa Palestina).

Politik versus Kultural

Skisma yang terjadi di kalangan Yahudi dalam kaiatannya dengan zionisme tidak hanya terjadi antara kaum zionis dan para penentangnya. Bahkan di kalangan zionise sendiri terjadi pertentangan yang tajam antara mereka yang mengedepankan pendekatan politik dan yang memilih jalur kultural. Yang pertama dan lebih dominan bisa kita lihat pada Theodor Herzl, dan versi ekstrimnya pada Vladimir Jabotinsky, ideololog partai Likud. Sedangkan yang kedua diwakili oleh Ahad Haam dan Martin Buber.
Seperti sudah disinggung di atas, persoalan Yahudi muncul karena bangsa Yahudi hidup secara abnormal. Zionisme bagi Herzl tidak lain adalah proyek menormalkan kehidupan mereka dengan cara mengumpulkannya dalam satu ikatan kebangsaan (ingathering of the exiles). Misi ini tidak akan tercapai kecuali dengan mendirikan negara Yahudi. Dengan cara itulah zionisme hendak menciptakan “Yahudi baru,” yakni Yahudi yang hidup normal seperti bangsa-bangsa lain. Tidak heran kalau kemudian kaum zionis mazhab ini begitu terobsesi dengan otot dan kejantanan, yang oleh karib Herzl bernama Max Nordau disebut sebagai muscular Jewry.
Tapi pada saat yang sama, Herzl juga melihat zionisme sebagai proyek pemberadaban. Ini terlukis dalam novel utopianya, Old-New Land (1902). Novel ini berkisah tentang Friedrich Loewenberg, Yahudi asal Wina yang melancong ke Macedonia dan mampir ke Yerusalem. Di sana ia menemukan betapa Yerusalem adalah tanah yang tandus tak terurus, dengan perkampungan Arab yang kumal. Namun betapa takjub Loewenberg ketika ia singgah sekian puluh tahun lagi, karena Yerusalem berhasil disulap oleh kaum zionis sebagai metropolitan yang bersih, dan makmur. Yang ada di benak Herzl, negara Israel akan menjadi seperti Swis. Israel, kata Herzl, akan menjadi “bagian dari benteng Eropa berhadapan dengan Asia, markas peradaban Barat untuk menangkal barbarisme Timur.
Di tanah yang baru ini, masih menurut Herzl, Yahudi tidak lagi menjadi target serangan antisemitisme seperti terjadi di Eropa, di mana Yahudi ditampilkan sebagai sosok yang “kotor, licik, parasit, lembek.” Karena “Yahudi baru” ini tampil sebagai sosok yang “rasional, kuat, beradab.” Dengan kata lain, di Eropa, Yahudi diperlakukan sebagai “yang lain.” Namun di tanah Israel, Yahudi bermetamorfosis menjadi Eropa yang memosisikan Arab sebagai sebagai “yang lain.” Untuk menghapus identitas ke-“yang lain” annya di Eropa, Yahudi eskit dari Eropa. Di luar Eropa is menjadi Eropa. Jika di “Barat” Yahudi adalah “Timur,” maka di Timur ia menjadi “Barat.”
Dua unsur utama zionisme politik ini (pemujaan terhadap supremasi kekuatan fisik dan persepsi diri sebagai pembawa peradaban Barat) pada akhirnya menyebabkan absennya bangsa Arab Palestina dalam narasi zionisme. Lihat saja semboyan mereka tentang Palestina, “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah.” Atau simak ungkapan Golda Meir, mantan perdana mentri Israel, “tidak ada yang namanya rakyat palestina.” Di sinilah letak ironi zionisme: ia lahir sebagai respon terhadap “persoalan Yahudi” di Eropa, tetapi ia memunculkan “persoalan Arab, ” atau meminjam istilah Edward Said, the question of Palestine.
Berbeda halnya dengan zionisme kultural yang dipelopori oleh Ahad Haam, tokoh zionis asal Rusia seangkatan Herzl, yang mengartikan kembali ke tanah zion lebih dalam kerangka spiritual ketimbang politik, yakni sebagai manifestasi dari renaisans kultural Yahudi. Di mata Haam, pertautan bangsa Yahudi dengan Zion sesungguhnya berada pada level moral dan spiritual, sebagai jalan untuk merealisasikan nilai utama keYahudian, yakni Tikkun Olam (memperbaiki dunia). Inilah yang menjelaskan kenapa sejak awal Haam bersebarangan dengan Herzl. Bahkan dalam Kongres Zionis pertama pada 1898 mereka berdua tidak saling menyapa.
Sejalan dengan Haam, Martin Buber juga menolak zionisme politik Herzl dan Nordau. Penolakan Buber bertolak dari penghargaannya terhadap eksistensi bangsa Arab di Palestina dan hasratnya menjalin relasi yang otentik dengan mereka, dalam kerangka relasi I-Thou. Bagi Buber, berdirinya negara Israel tidak akan menyelesaikan persoalan Yahudi manakala kaum Yahudi mengabaikan fakta bahwa tanah Israel pada dasarnya milik dua bangsa, masing-masing dengan klaimnya sendiri. Negara yang berdiri di atsa tanah tersebut mestilah berbentuk negara dwi-bangsa, bukan negara Yahudi, suatu gagasan yang dimunculkan kembali oleh Tony Judt dalam artikelnya di NYRB. Atas dasar itulah Buber menentang The Law of Return dan upaya pemerintah Israel untuk mendatangkan imigran Yahudi secara besar-besaran untuk mencapai status mayoritas.
Dengan paparan di atas, saya sebenarnya ingin menunjukkan betapa sejak kelahirannya, zionisme menjadi salah satu sumber masalah pertengkaran di kalangan Yahudi, juga di kalangan internal zionis sendiri. Bahkan setelah Perang Enam Hari atau Perang 1967, medan pertengkaran bergeser atau berkembang dengan masuknya “pemain baru”seperti kelompok zionis ultra-Orthodox yang tergabung dalam Gush Emunim yang mayoritasnya tinggal di wilayah Pendudukan dan menjadi tulang punggung gerakan zionisme relijius. Berbeda dengan Yahudi ultra-Orthodoz (Haredim) yang umumnya menentang zionisme lantaran, satu berwatak sekular, dan dua, dianggap bertentangan dengan doktrin Yahudi mengenai mesianisme di Eret Yisrael, Gush Emunim justru menganggap proyek sekuler zionisme sebagai sarana yang diperlukan untuk merealiskan munculnya sang Mesiah di Israel. Pada saat yang sama, pasca Perang 1967 juga menyaksikan kemunculan gerakan pascazionisme di kalangan akademisi dan seniman di Israel yang mendekonstruksi narasi resmi zionisme, mengapresiasi pandangan piahk Arab sebagai korban zionisme, dan menuntut agar negara Israel menanggalkan identitas keYahudiannya agar betul-betul demokratis.
Tapi mengingat komplesitas persoalan zionisme dan Israel pasca Perang 1967, saya kira kita perlu diskusi tersendiri di lain waktu. Wallahu A’lam.

Senin, 27 Juli 2009

One and Another?


Pada sebuah kesempatan, sepulang beraktivitas, saya sempat terdiam dan tergiur untuk mengusik rentetan apa-apa yang pernah saya dengar dari luar. Dalam benak saya ada beberapa hal yang membuat saya yakin bahwa kita, semua umat manusia, di muka bumi ini memiliki Tuhan yang sama dalam cangkang konsep ketuhanan (dogma) yang beragam, termasuk juga mereka yang kita beri label dan menyatakan diri ‘tak bertuhan’ (atheis).
Coba kita renungkan:
1.Kita semua memiliki bentuk tubuh manusia yang sama, simetris, 2 mata, 2 tangan, 2 kaki, dsb. Kecuali bagi saudara-saudara kita yang mengalami kekurangan (tuna) ini dan itu.
2.Kita semua memiliki DNA yang sama kandungan kodenya: T-A-G-C, kecuali jika terjadi penyimpangan.
3.Kita semua memiliki sel darah merah dan sel darah putih. Setidaknya kita semua memiliki darah berwarna merah.
4.Kita semua memiliki organ tubuh yang sama dan fungsi yang sama.
5.Kita semua harus makan dan minum.
6.kita semua bisa merasakan sakit, sedih, tersenyum, tertawa, menangis, marah, kesal dan ungkapan emosional lainnya.
7.Kita semua bisa merasakan cahaya mentari dan guyuran hujan.
8.Kita semua bisa menciptakan peradaban, juga kebiadaban.
9.Kita semua bisa mati.
10.Kita semua, bahkan yang menolak keberadaan Tuhan pun, sama-sama diciptakan Tuhan dan dikasihi Tuhan.

Dan kita semua…dalam benak kita masing-masing, masih sama-sama menyimpan banyak pertanyaan tentang apa-apa yang ingin kita ketahui, tentang misteri itu…tentang apa yang kita sebut Tuhan atau bagi kalangan atheis…sesuatu yang berkuasa.

Ah…persamaan-persamaan yang berharga itu lebih cenderung dan sering luput dari perhatian kita.

Tapi terima kasih Tuhan….untuk malam ini.


Bandung, 17 Juli 2009, 23.30 WIB
DW

Jumat, 17 Juli 2009

PAGI

Malam lusuh,
Mulai merangkak meninggalkan peraduannya,
Meninggalkan mimpi-mimpi tak jadi

Bulan membara telah redup,
Singgahi kegundahan
Pamit pada semarak cakrawala biru

Aku diam di ujung malam,
Hening…
tiada gemerisik dedaunan mengalun
hampiri telinga…buram…

Akankah esok tiba?
Mungkin sinar mentari kan menyeruak belantara,
Atau…mungkin juga ada kabar buruk tak sedap,
Terbungkus dalam jiwa mereka yang gelap dan rapuh
Dalam keyakinan yang meragu,
Atau keraguan yang diyakini?

Akan ada lagi yang terbujur kaku,
Meninggalkan banyak yang hidup,
Yang tak mengerti kenapa?

Esok pagi…
Aku masih berharap…
Tak ada bara api,
Tak ada hitamnya awan yang pekat,
Tak ada air mata tumpah ruah…
Tak ada doa kehilangan,
Tak ada kepongahan diri,

Tapi…siapa yang tahu..?
Ah, kiranya malam yang lusuh
Tak melahirkan pagi yang kelu dan getir.



Bandung, 16 Juli 2009
(Pergulatan hati di suatu sore)

Senin, 13 Juli 2009

KISAH AROK dan KONFLIK SOSIAL di INDONESIA

“….Cause we are live under the same sun,
we are walk under the same moon, but why can we live as one?”
(Under the same sun, Scorpions)



Siapa tak ingat Arok (Ken Arok)? Namanya tercatat dalam sejarah tanah Jawa sebagai seorang Akuwu Tumapel dari wangsa Isana. Ia menghabisi nyawa Ametung, merebut Dedes dan meraih kekuasaan, tanpa lumuran darah di tangannya. Kebo Ijo-lah yang menjadi kambing hitam, karena kecerobohan atau mungkin kebodohannya “bermain-main” dengan keris setengah jadi, pesanan Arok pada seorang empu bernama Gandring. Arok telah dikutuk tujuh turunan saat ia tengah merebut keris yang belum selesai dari tangan empu Gandring. Konflik tak berhenti setelah Ametung tewas. Kelak putra Ametung, Anusapati, menuntut balas pada Arok atas kematian sang ayah.

Pola perebutan kekuasaan serta konflik semacam kisah Arok di atas masih sering terjadi dalam kehidupan sosial-masyarakat kita. Malah menghasilkan varian yang saling tumpang tindih, dari sisi motif, sasaran, pelaku, maupun ”kambing hitam”. Tentu saja konflik tak muncul sekonyong-konyong tanpa sebab, baik secara terang-terangan (manifest) maupun sembunyi-sembunyi (laten). Pada akhirnya, kedua wajah konflik tersebut – jika tidak ada upaya untuk menyelesaikannya, akan memiliki tipe katup pelepasan yang sama, yaitu kekerasan. Konflik sosial bisa terjadi karena pelbagai pertentangan antar kelompok sosial dalam masyarakat atas dasar suku, agama, ras, status ekonomi, gender, bahasa, status sosial, dan keyakinan politik, dalam sebuah interaksi sosial yang sifatnya dinamis.

Kisah Arok merupakan gambaran lugas bagaimana pertentangan keyakinan politik – yang berkelindan dengan agama – menjadi sebuah dasar yang menggerakan seseorang atau kelompok masyarakat menafikan sisi-sisi kemanusiaannya. Jika kita melihat dan mengingat kembali berbagai peristiwa berdarah yang pernah terjadi di negeri ini, siapakah sebenarnya masyarakat kita?

Masih ingat peristiwa 27 Juli, saat kantor pusat PDI diserang sekelompok massa? Atau kita menelusuri jauh ke belakang, bagaimana konflik yang sifatnya tertutup (laten) berakhir dengan konflik terbuka (manifest) dalam peristiwa berdarah G30S 1965? Keduanya memang konflik keyakinan politik (atau murni kekuasaan), namun imbasnya tak berhenti dalam ruang sidang dan debat para politisi, melainkan tumpah ruah dalam aksi-aksi kelompok masyarakat yang mudah diprovokasi.

Faktanya bisa kita catat saat tragedi Mei 1998. Pertentangan politik dengan basis sejarah masa lalu bernuansa etnis (pribumi – non pribumi) dan agama sejak zaman kolonisasi Belanda di Indonesia; polemik seputar proses pembuatan konstitusi UUD 1945; ketimpangan status ekonomi dan sosial; kebijakan-kebijakan pemerintah yang memihak (ber-KKN) kelompok tertentu; kesemuanya itu berakumulasi dan silang sengkarut menjadi sebuah bom waktu yang menunggu pemicu, apa pun wujudnya. Inilah yang biasa disebut sebagai prasangka sosial (social prejudice). W. A. Gerungan dalam Psycology Social, menyatakan bahwa prasangka sosial terjadi karena: (a) kurangnya pengetahuan dan pengertian akan hidup pihak yang lain; (b) kepentingan perseorangan dan golongan; (c) ketidakinsyafan akan kerugian yang dialami masing-masing apabila prasangka dipupuk.

Korelasi antara konflik kekinian dengan konflik dalam sejarah masa lampau – bahkan yang dilegitimasi klaim-klaim agama – memang semestinya diakhiri. Entah melalui konsensus maupun rekonsiliasi yang memungkinkan terjadinya proses integrasi. Jika tidak, cepat atau lambat, konflik akan membuahkan disintegrasi (contoh: balkanisasi yang terjadi pada Uni Soviet). Tentu saja proses integrasi tak bisa dilakukan dengan cepat. Integrasi, menurut Ogburn dan Nimkoff, dalam A handbook of Sociology, adalah proses yang mengalami fase: akomodasi, kooperasi (kerja sama dalam waktu lama), koordinasi (harapan/kesediaan bekerjasama) dan asimilasi (mengakhiri kebiasaan lama sekaligus mempelajari dan menerima kehidupan yang baru).

Peran pemerintah sebagai pemegang kebijakan sekaligus yang diberi mandat kekuasaan oleh rakyatnya sangatlah vital. Pendekatan agresif dan represif tanpa kesediaan untuk saling mendengar dan menerima bukanlah jalan yang arif, sebab akan melahirkan konflik baru di masa mendatang. Seperti kisah Arok, yang keturunannya saling mendendam, dan kedua pihak kehilangan kemanusiaannya. Mengutip lirik lagu ’Satanic Verses’ (God Bless): Perdamaian memang masih pagi, perang belum berhenti...hanya saja, jangan lagi kita siram dengan api. Perdamaian harus tetap diupayakan oleh kita sebagai umat manusia, karena itulah semestinya yang menjadi suatu misi keberadaan kita di muka bumi. Peace!

Dommy Waas
*Aktivis Muda GKI

Selasa, 30 Juni 2009

TUHAN ada, kita mencari-cari?

Kita mencari,
menyangka Tuhan hanya bersemayam dalam sinagog, mesjid, dan gereja
yang ratusan bahkan ribuan terserak di atas bumi.

Kita begitu terkesima dan hormat
pada Tuhan yang kita kira gila hormat dan gila disembah.

Kita kagum akan keajaiban dan mujizat-mujizat yang spektakuler,
menyandingkan Tuhan bak pesulap kesohor.

Kita, secara diam-diam atau dengan kesadaran penuh,
tak lagi menghamba dan menyembahNya,
namun justru takluk dan tunduk pada simbol-simbol,
ritual-ritual, serta aturan main yang kita ciptakan,
sambil berkata: "Ini dari Tuhan!"

Kita memasuki dan memenuhi rumah-rumah ibadah
hanya untuk melarikan diri dari realitas dan tanggung jawab
sebagai manusia yang diberi akal budi.

Kita bernyanyi, berzikir, berteriak, menangis,
menjerit, bahkan meluapkan syukur pada Tuhan,
tak untuk memuja atau memujiNya, tapi...memaksaNya.

Aneh...kita begitu yakin bahwa Tuhan Maha Hadir,
namun kita rabun, ragu, tak acuh, dan buta,
manakala Ia mewujud dalam setiap jiwa sesama kita, manusia.


by DW
Bdg, 6 Mei 2009
Midle of the night

Kamis, 25 Juni 2009

Pelurusan Fakta Tragedi Berdarah Monas 2008

Dibawah ini saya kutip tulisan Sdr. Saidiman, seorang dinamisator aksi damai peringatan hari Pancasila. Semoga tulisan ini memberi 'pencerahan' terkait apa yang terjadi 1 Juni 2008 yang lalu. Semoga bermanfaat.

------------------------------------------------------------------------------------

01 Juni 2009 jam 12:42

Tragedi Monas, 1 Juni 2008, berupa penyerangan kelompok Front Pembela Islam (FPI) kepada massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan telah menjadi bahan perbincangan publik yang terus bergulir tak tentu arah. Tulisan ini ingin sedikit memberi klarifikasi terhadap kesimpangsiuran berita yang mulai cenderung salah arah tersebut.

Penyerangan, Bukan Bentrok


Beberapa media tidak segan-segan menyebut tragedi ini “bentrokan” antara massa FPI dan AKKBB. Istilah bentrokan sungguh menyesatkan karena itu mengandaikan AKKBB juga terlibat dalam aksi kekerasan tersebut.

Faktanya, FPI menyerang massa AKKBB. Saat itu, acara belum dimulai. Sebagian massa AKKBB berada di pelataran Monas menunggu aksi longmarch yang akan dimulai dari kawasan belakang stasiun Gambir. Sambil menunggu massa AKKBB yang lain, massa yang ada di pelataran Monas tersebut duduk-duduk. Ketika massa FPI mendekat, massa AKKBB diperintahkan untuk duduk. Saya sendiri yang menyampaikan kepada massa untuk tidak terprovokasi, karena kami melihat massa FPI semakin dekat dan berteriak-teriak sambil mengancung-acungkan pentungan. Saya lalu meminta massa untuk menyanyikan lagu Indonesia raya. Belum sempat lagu kebangsaan itu dinyanyikan, massa FPI sudah menyerbu. Mereka memukul dengan pentungan bambu, meninju, menendang, menginjak-injak, sambil melontarkan sumpah serapah. Saya masih sempat menyeru massa AKKBB untuk tetap duduk, sebab kesepakatan kita, aksi ini adalah aksi damai. Kalau ada serangan fisik, maka kita akan duduk dan tidak melakukan perlawanan. Massa AKKBB memang patuh kepada kesepakatan, tidak ada satupun massa yang melakukan perlawanan. Tetapi karena serangan begitu massif, akhirnya massa AKKBB bubar menyelematkan diri. Ibu-ibu menangis, anak-anak menjerit ketakutan, puluhan orang menderita luka.

Tidak Ada Provokasi


Beberapa hari setelah tragedi, muncul pemberitaan bahwa massa AKKBB melakukan provokasi terlebih dahulu melalui orasi yang menyatakan bahwa massa penyerang itu adalah “laskar setan atau iblis.” Itu adalah dusta besar. Faktanya, acara belum dimulai. Orasi belum dilaksanakan. Yang ada hanyalah seruan kepada peserta AKKBB untuk duduk, untuk tidak terprovokasi, dan untuk menyanyikan lagu Indonesia raya. Dan tidak pernah ada bukti bahwa orasi provokasi benar-benar dilakukan oleh AKKBB.

Patut dicatat beberapa pernyataan dalam orasi-orasi pemimpin serangan FPI pada saat serangan telah dilakukan. Alfian Tanjung mengatakan di depan massa FPI: “Saya bangga dengan Anda semua yang telah melibas mereka dengan cepat.” Indikasi bahwa aksi ini dilakukan secara terencana dan dengan restu Riziq Shihab bisa dilihat dari pernyataan Alfian Tanjung selanjutnya: “Pada pertemuan terakhir kita dengan Habib Riziq, dia memegang tangan saya, “Ustadz Alfian, hari minggu siang kita perang.” Pada kesempatan itu, Alfian juga mengatakan bahwa mereka baru saja menang satu kosong, dan mereka akan terus menang sampai 1000 kosong.

Menjelang bubar, Munarman menyampaikan kepada massanya bahwa aksi mereka hari itu belum apa-apa: “Kita belum memenangkan pertempuran… Berikutnya kita akan datangi tempat-tempat mereka. Kita akan datangi yang namanya Goenawan Mohamad. Kita akan datangi yang namanya Asmara Nababan.” Munarman juga menyampaikan: “Sudah ada penyampaian baik dari polisi maupun intelijen kita yang menyatakan konsentrasi massa pembela-pembela Ahmadiyah itu sudah bubar. Tidak ada kegiatan di HI dan di depan RRI.”

Bukti-bukti orasi ini sangat penting untuk melihat FPI memang melakukan serangan secara terencana dan bukan insidental.

Senjata Api

Ada foto yang beredar tentang seorang berbaju putih yang mengangkat pistol. Ini, oleh beberapa berita, disebut sebagai provokasi dari AKKBB. Perlu ditegaskan kembali bahwa aksi hari itu adalah aksi Apel Akbar Peringatan 63 Tahun Pancasila dengan tema “Satu Indonesia untuk Semua.” Sejak awal, aksi AKKBB adalah aksi damai. Jangankan memprovokasi, kita bahkan sepakat bahwa jika ada serangan, maka kita akan duduk dan tidak melakukan perlawanan. Tidak pernah ada instruksi bagi peserta aksi untuk membawa senjata tajam. Fakta bahwa banyak peserta aksi adalah ibu-ibu dan anak-anak adalah bukti bahwa aksi ini memang dirancang dalam format damai.

Ada anggapan bahwa si pembawa pistol adalah massa AKKBB karena mengenakan pita merah putih di lengan bajunya. Yang harus diketahui adalah bahwa panitia aksi hari itu sama sekali tidak menyediakan atribut pita merah putih yang dipasang di lengan baju. Panitia hanya menyediakan kalung pita merah putih yang hanya dipakai oleh para perangkat dan simpul-simpul aksi. Aksi ini sendiri bersifat umum karena mengundang siapa saja melalui media massa dan pengumuman internet. Penggunaan atribut pita merah putih di lengan baju dilakukan pada aksi AKKBB sebelumnya, 6 Mei 2008. Tetapi pada 1 Juni 2008, panitia tidak menyediakan atribut serupa.

Ada pernyataan Munarman yang menarik. Dia mengatakan: “Kami tidak bisa dibohongi karena sudah menyusupkan orang kami di tengah-tengah mereka….” (Sabili No. 25 Th. XV).

Keluar Rute


Massa AKKBB juga dianggap menyalahi pemberitahuan kepada pihak polisi karena tidak patuh kepada rute awal, yakni belakang stasiun gambir kemudian menuju Bundaran Hotel Indonesia (HI). AKKBB dianggap melanggar karena masuk ke pelataran Monas.

Faktanya, rencana aksi AKKBB akan dimulai pukul 14.00 WIB. Penyerangan yang dilakukan FPI di dalam pelataran Monas adalah pukul 13.15 WIB. Perlu diketahui adalah bahwa massa AKKBB yang ada di pelataran Monas tersebut tidak sedang melakukan aksi, melainkan bersiap-siap menuju tempat dimulainya aksi, yakni belakang stasiun Gambir. Massa yang diperkirakan hadir pada aksi peringatan Pancasila tersebut adalah sekitar 10.000 orang. Massa ini belum berkumpul pada satu titik secara utuh, mereka masih berpencar di sekitar Monas, karena hari itu memang Monas sangat ramai. Massa AKKBB masih menunggu dimulainya aksi. Massa AKKBB masih bergerombol di banyak sekali tempat di sekitar Monas. Salah satu kumpulan massa yang terbesar adalah di tempat di mana massa FPI menyerang tersebut. Massa AKKBB masih ada di banyak tempat, sebagian besar masih dalam perjalanan. Tidak benar aksi keluar dari rute, sebab aksi belum dimulai.

Menipu Peserta

Berita terakhir yang banyak beredar bahwa AKKBB telah menipu massa anak-anak dan ibu-ibu yang diajak untuk berwisata ke Dufan, tetapi kemudian diarahkan menjadi peserta aksi. Ini juga adalah dusta.

Faktanya, aksi peringatan Pancasila ini sudah diberitakan melalui tidak kurang dari delapan media cetak. Pemberitahuan ini juga ditambah dengan pengumuman di pelbagai mailing list. Dan tidak pernah keluar bukti bahwa para peserta itu ditipu. Yang terjadi adalah upaya untuk memfitnah aksi AKKBB ini dengan pelbagai cara.

Pengalihan Isu BBM

Fitnah yang paling keji dan menggelikan adalah ketika tragedi Monas disebut sebagai bentuk pengalihan isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sengaja dilakukan oleh AKKBB. Fitnah ini sangat keji, karena peserta aksi AKKBB yang prihatin terhadap gejala pengabaian dasar negara, Pancasila, kemudian tanpa bukti disebut untuk mengalihkan isu.

Faktanya, jika tragedi ini disebut sebagai pengalihan isu, maka sesungguhnya yang patut disebut sebagai pelaku pengalihan isu adalah massa penyerang. Inisiatif menyerang ada di tangan FPI. Kalau mereka tidak melakukan gerakan serangan, maka barangkali isu kenaikan harga BBM akan tetap jadi perbincangan. Sekali lagi, AKKBB adalah korban dari sebuah inisiatif serangan dari pihak FPI.

Pengikut