Sabtu, 07 November 2009

BILIK-BILIK IMAN: IMAN, SYUKUR dan KEAJAIBAN

Bayangkan, ketika anaknya (Lilin) sedang sakit – menderita anemia rhesus negatif AB, Kokro, sang ayah, dipecat dari pekerjaannya secara tak adil. Kokro bersama Eca, istrinya memiliki tanggungan seorang anak, seorang adik, dan seorang keponakan.

Tak mudah menemukan orang dengan golongan darah rhesus negatif, apalagi untuk jenis golongan AB. Kebanyakan orang bule. Tapi itu pun sangat jarang, Anemia rhesus negatif tergolong penyakit langka (hal. 41). Diperkirakan hidup Lilin tinggal 3-6 bulan (hal. 45). Motor Kokro ditahan karena pembayaran melalui koperasi belum lunas (hal. 46). Eca masuk koran, seorang wartawan memotretnya ketika ia sedang berdoa di depan patung Bunda Maria. Isinya seperti meledek, seperti menyindir bahwa seorang ibu berdoa di depan patung, mohon kesembuhan anaknya yang menderita anemia rhesus negatif. Terasa sinis, karena baris kalimat berikutnya adalah pertanyaan: Apakah di zaman yang sudah sangat modern ini masih perlu menyembah patung atau berhala? (hal. 47).

Pertanyaan yang wajar, seperti teman-teman Nabi Ayub, juga dituangkan penulis melalui Kokro saat ia dipecat: “Saya sudah berhenti mempertanyakan alasan, seperti juga berhenti mempertanyakan kenapa Lilin menderita anemia ini. Kenapa? Apa dari faktor keturunan, apa karena kutukan, apa karena kurang memuliakan Tuhan…saya tak mempertanyakan lagi. Jadi kalau saudara-saudara ingin memprotes silakan…kalau mau membuat demo, silakan…kalau menerima, silakan.” (hal. 53).

Iman biasanya diidentikan dengan keyakinan atau percaya. Amat mudah (bahkan mungkin terkesan murahan) kosa kata ‘iman’ keluar dari mulut para ulama atau pendeta di atas mimbar. Atau kita yang baru merasakan keberimanan itu seperti orang yang baru jatuh cinta. Pubertas beragama atau bisa juga disebut pubertas bertuhan atau ABG dalam beragama. Hal ini wajar saja dalam proses bertumbuh. Namun jika stop sampai di sana,jumud dan menutup pintu ijtihad, ini yang berbahaya. Bukan hanya bagi proses keberimanan orang itu sendiri, tapi juga bagi orang lain, bagi masyarakat, bangsa, bahkan agama itu sendiri. Kalau boleh saya sebut, akan terjadi ‘bunuh diri spiritualitas’. Terlalu mengerikan kedengarannya.
Amat biasa jika umat dihimbau untuk tetap beriman dalam kondisi apapun. Ya, mungkin saran itu harus terus didengungkan dalam ibadat-ibadat, agar umat tetap eling, ingat. Tentu saja umat diharapkan merasa dikuatkan, dimotivasi atau di charge. Namun, dalam realitas hidup, beriman itu tak mudah.

Beriman itu tak lantas mengaminkan seseorang (yang mendaku ber-Tuhan) untuk kebal dari riak-riak, guncangan gelombang bahkan badai pencobaan (yang lazim kita sebut sebagai ujian). Beriman itu tak bulat, tak sederhana dan tak utuh. Beriman seperti memiliki bilik-bilik, sekat-sekat yang beragam manakala kita diperhadapkan pada persoalan-persoalan sehari-hari. Entah persoalan yang sepele, maupun yang pelik dan njelimet – yang terkadang memojokkan kita di sudut-sudut ruang, hampa, menyesakan, dan nyaris membuat kita enggan menggenggam pengharapan pada Sang Khalik langit dan bumi. Seperti bilik, karena iman tak permanen, kaku dan beku seperti tembok. Ukuran kekuatan keberimanan seseorang tak bisa dianalogikan kepada kekakuan dan kekerasan, melainkan kelenturan dan kelembutan dalam menghadapi berbagai ranah permasalahan maupun ketiadaan permasalahan. Bukan juga menjadi mbalelo dan tak punya pendirian.

Novel dewasa karya Arswendo Atmowiloto ini menggambarkan ketidaksederhanaan manusia dalam beriman dari sudut pandang keluarga dengan background Katolik, yang mengalami pasang naik dan pasang surut beriman. Penulis dengan ringan – sambil tetap kritis – mengajak kita para pembaca membuka hati sambil ‘menelaah ulang’ makna keberimanan, bersyukur dan keajaiban bagi diri kita pribadi.

Ada lagi sebuah percakapan yang bisa jadi renungan kita bersama seperti di halaman 210-222:
“…kalau kita berdoa kerasrasras, lalu terjadi seperti apa yang kita maui rasa-rasanya koq kita bisa memaksakan kehendak kita. Kalau kita memaksakan kehendak kita sendiri, kita yang berkuasa.”
“Bahkan kalau kita diajari berdoa oleh Tuhan, diberi tahu caranya, tidak selalu harus terkabul.”
“Kalau tak bisa menciptakan nasi atau cabe, paling tidak kita bisa memasaknya.”


Dan dengan sederhana, namun tanpa menyederhanakan, diakhir cerita, percakapan menarik lainnya bagi saya, ada pada halaman 234-235:
“Bukan keberhasilan Lilin atau kegagalan, melainkan kita menjalani masa-masa seperti itu. Ketika kita bisa menjalani dengan ikhlas, dengan tulus, dengan apa adanya, itulah arti bersyukur.”
“Bersyukur itu lega, tidak cemas, tidak lagi dibalut rasa takut, tidak berputar-putar dengan mencari alasan.”
“Keajaiban terasakan ketika ada pertolongan atas Lilin. Atau ketika saya menyadari bahwa Lilin menderita. Tapi juga bisa berarti keajaiban ini karena kita merasakan, mengalami. Itulah keajaiban utama, dimana kita menjadi bebas menjalani. Kita merdeka.”
“Keajaiban bisa berarti ketika kita makin mendekat kepada Tuhan, dengan segala doa, segala upaya kepatuhan dan kesetiaan. Tapi juga berarti kita menyatu dengan Tuhan, dan tetap bisa memaknai tanda-tanda yang diberikan, dan tetap hidup dalam kenyataan sehari-hari.”


Ya, semestinya kita memegang keajaiban itu dengan tetap bisa memaknai tanda-tanda yang diberikan, dan tetap hidup dalam kenyataan sehari-hari. Bukan nanti dan disana (surga), namun kini dan disini (dibumi).

Lebih sering beriman itu mirip ketika kita tengah berada dalam perjalanan, lalu hujan datang, dan kita harus menepi sejenak untuk memakai jas hujan dan melanjutkan perjalanan, menerobos hujan, sambil tetap waspada. Atau benar-benar kita harus berteduh, menunggu hujan mereda atau berhenti. Semua itu dilakukan agar kita tidak basah kuyup dan berakibat tak menyenangkan yaitu sakit. Beriman ternyata tak sekedar dikoar-koarkan di atas mimbar semata. Beriman bukan berarti melangkah dengan kekonyolan (yang selalu kita samakan dengan keberanian), melainkan juga ditopang oleh akal sehat dalam keberserahan (bukan keterserahan) kita pada Tuhan. Lalu, yang penting -tapi terlalu sering kita lupakan - adalah bahwa kita yakin bahwa Tuhan hadir dan 'hidup' di tengah-tengah kita. Kita tidak sendirian.

Walahualam.

Pengikut