Selasa, 30 Juni 2009

TUHAN ada, kita mencari-cari?

Kita mencari,
menyangka Tuhan hanya bersemayam dalam sinagog, mesjid, dan gereja
yang ratusan bahkan ribuan terserak di atas bumi.

Kita begitu terkesima dan hormat
pada Tuhan yang kita kira gila hormat dan gila disembah.

Kita kagum akan keajaiban dan mujizat-mujizat yang spektakuler,
menyandingkan Tuhan bak pesulap kesohor.

Kita, secara diam-diam atau dengan kesadaran penuh,
tak lagi menghamba dan menyembahNya,
namun justru takluk dan tunduk pada simbol-simbol,
ritual-ritual, serta aturan main yang kita ciptakan,
sambil berkata: "Ini dari Tuhan!"

Kita memasuki dan memenuhi rumah-rumah ibadah
hanya untuk melarikan diri dari realitas dan tanggung jawab
sebagai manusia yang diberi akal budi.

Kita bernyanyi, berzikir, berteriak, menangis,
menjerit, bahkan meluapkan syukur pada Tuhan,
tak untuk memuja atau memujiNya, tapi...memaksaNya.

Aneh...kita begitu yakin bahwa Tuhan Maha Hadir,
namun kita rabun, ragu, tak acuh, dan buta,
manakala Ia mewujud dalam setiap jiwa sesama kita, manusia.


by DW
Bdg, 6 Mei 2009
Midle of the night

Kamis, 25 Juni 2009

Pelurusan Fakta Tragedi Berdarah Monas 2008

Dibawah ini saya kutip tulisan Sdr. Saidiman, seorang dinamisator aksi damai peringatan hari Pancasila. Semoga tulisan ini memberi 'pencerahan' terkait apa yang terjadi 1 Juni 2008 yang lalu. Semoga bermanfaat.

------------------------------------------------------------------------------------

01 Juni 2009 jam 12:42

Tragedi Monas, 1 Juni 2008, berupa penyerangan kelompok Front Pembela Islam (FPI) kepada massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan telah menjadi bahan perbincangan publik yang terus bergulir tak tentu arah. Tulisan ini ingin sedikit memberi klarifikasi terhadap kesimpangsiuran berita yang mulai cenderung salah arah tersebut.

Penyerangan, Bukan Bentrok


Beberapa media tidak segan-segan menyebut tragedi ini “bentrokan” antara massa FPI dan AKKBB. Istilah bentrokan sungguh menyesatkan karena itu mengandaikan AKKBB juga terlibat dalam aksi kekerasan tersebut.

Faktanya, FPI menyerang massa AKKBB. Saat itu, acara belum dimulai. Sebagian massa AKKBB berada di pelataran Monas menunggu aksi longmarch yang akan dimulai dari kawasan belakang stasiun Gambir. Sambil menunggu massa AKKBB yang lain, massa yang ada di pelataran Monas tersebut duduk-duduk. Ketika massa FPI mendekat, massa AKKBB diperintahkan untuk duduk. Saya sendiri yang menyampaikan kepada massa untuk tidak terprovokasi, karena kami melihat massa FPI semakin dekat dan berteriak-teriak sambil mengancung-acungkan pentungan. Saya lalu meminta massa untuk menyanyikan lagu Indonesia raya. Belum sempat lagu kebangsaan itu dinyanyikan, massa FPI sudah menyerbu. Mereka memukul dengan pentungan bambu, meninju, menendang, menginjak-injak, sambil melontarkan sumpah serapah. Saya masih sempat menyeru massa AKKBB untuk tetap duduk, sebab kesepakatan kita, aksi ini adalah aksi damai. Kalau ada serangan fisik, maka kita akan duduk dan tidak melakukan perlawanan. Massa AKKBB memang patuh kepada kesepakatan, tidak ada satupun massa yang melakukan perlawanan. Tetapi karena serangan begitu massif, akhirnya massa AKKBB bubar menyelematkan diri. Ibu-ibu menangis, anak-anak menjerit ketakutan, puluhan orang menderita luka.

Tidak Ada Provokasi


Beberapa hari setelah tragedi, muncul pemberitaan bahwa massa AKKBB melakukan provokasi terlebih dahulu melalui orasi yang menyatakan bahwa massa penyerang itu adalah “laskar setan atau iblis.” Itu adalah dusta besar. Faktanya, acara belum dimulai. Orasi belum dilaksanakan. Yang ada hanyalah seruan kepada peserta AKKBB untuk duduk, untuk tidak terprovokasi, dan untuk menyanyikan lagu Indonesia raya. Dan tidak pernah ada bukti bahwa orasi provokasi benar-benar dilakukan oleh AKKBB.

Patut dicatat beberapa pernyataan dalam orasi-orasi pemimpin serangan FPI pada saat serangan telah dilakukan. Alfian Tanjung mengatakan di depan massa FPI: “Saya bangga dengan Anda semua yang telah melibas mereka dengan cepat.” Indikasi bahwa aksi ini dilakukan secara terencana dan dengan restu Riziq Shihab bisa dilihat dari pernyataan Alfian Tanjung selanjutnya: “Pada pertemuan terakhir kita dengan Habib Riziq, dia memegang tangan saya, “Ustadz Alfian, hari minggu siang kita perang.” Pada kesempatan itu, Alfian juga mengatakan bahwa mereka baru saja menang satu kosong, dan mereka akan terus menang sampai 1000 kosong.

Menjelang bubar, Munarman menyampaikan kepada massanya bahwa aksi mereka hari itu belum apa-apa: “Kita belum memenangkan pertempuran… Berikutnya kita akan datangi tempat-tempat mereka. Kita akan datangi yang namanya Goenawan Mohamad. Kita akan datangi yang namanya Asmara Nababan.” Munarman juga menyampaikan: “Sudah ada penyampaian baik dari polisi maupun intelijen kita yang menyatakan konsentrasi massa pembela-pembela Ahmadiyah itu sudah bubar. Tidak ada kegiatan di HI dan di depan RRI.”

Bukti-bukti orasi ini sangat penting untuk melihat FPI memang melakukan serangan secara terencana dan bukan insidental.

Senjata Api

Ada foto yang beredar tentang seorang berbaju putih yang mengangkat pistol. Ini, oleh beberapa berita, disebut sebagai provokasi dari AKKBB. Perlu ditegaskan kembali bahwa aksi hari itu adalah aksi Apel Akbar Peringatan 63 Tahun Pancasila dengan tema “Satu Indonesia untuk Semua.” Sejak awal, aksi AKKBB adalah aksi damai. Jangankan memprovokasi, kita bahkan sepakat bahwa jika ada serangan, maka kita akan duduk dan tidak melakukan perlawanan. Tidak pernah ada instruksi bagi peserta aksi untuk membawa senjata tajam. Fakta bahwa banyak peserta aksi adalah ibu-ibu dan anak-anak adalah bukti bahwa aksi ini memang dirancang dalam format damai.

Ada anggapan bahwa si pembawa pistol adalah massa AKKBB karena mengenakan pita merah putih di lengan bajunya. Yang harus diketahui adalah bahwa panitia aksi hari itu sama sekali tidak menyediakan atribut pita merah putih yang dipasang di lengan baju. Panitia hanya menyediakan kalung pita merah putih yang hanya dipakai oleh para perangkat dan simpul-simpul aksi. Aksi ini sendiri bersifat umum karena mengundang siapa saja melalui media massa dan pengumuman internet. Penggunaan atribut pita merah putih di lengan baju dilakukan pada aksi AKKBB sebelumnya, 6 Mei 2008. Tetapi pada 1 Juni 2008, panitia tidak menyediakan atribut serupa.

Ada pernyataan Munarman yang menarik. Dia mengatakan: “Kami tidak bisa dibohongi karena sudah menyusupkan orang kami di tengah-tengah mereka….” (Sabili No. 25 Th. XV).

Keluar Rute


Massa AKKBB juga dianggap menyalahi pemberitahuan kepada pihak polisi karena tidak patuh kepada rute awal, yakni belakang stasiun gambir kemudian menuju Bundaran Hotel Indonesia (HI). AKKBB dianggap melanggar karena masuk ke pelataran Monas.

Faktanya, rencana aksi AKKBB akan dimulai pukul 14.00 WIB. Penyerangan yang dilakukan FPI di dalam pelataran Monas adalah pukul 13.15 WIB. Perlu diketahui adalah bahwa massa AKKBB yang ada di pelataran Monas tersebut tidak sedang melakukan aksi, melainkan bersiap-siap menuju tempat dimulainya aksi, yakni belakang stasiun Gambir. Massa yang diperkirakan hadir pada aksi peringatan Pancasila tersebut adalah sekitar 10.000 orang. Massa ini belum berkumpul pada satu titik secara utuh, mereka masih berpencar di sekitar Monas, karena hari itu memang Monas sangat ramai. Massa AKKBB masih menunggu dimulainya aksi. Massa AKKBB masih bergerombol di banyak sekali tempat di sekitar Monas. Salah satu kumpulan massa yang terbesar adalah di tempat di mana massa FPI menyerang tersebut. Massa AKKBB masih ada di banyak tempat, sebagian besar masih dalam perjalanan. Tidak benar aksi keluar dari rute, sebab aksi belum dimulai.

Menipu Peserta

Berita terakhir yang banyak beredar bahwa AKKBB telah menipu massa anak-anak dan ibu-ibu yang diajak untuk berwisata ke Dufan, tetapi kemudian diarahkan menjadi peserta aksi. Ini juga adalah dusta.

Faktanya, aksi peringatan Pancasila ini sudah diberitakan melalui tidak kurang dari delapan media cetak. Pemberitahuan ini juga ditambah dengan pengumuman di pelbagai mailing list. Dan tidak pernah keluar bukti bahwa para peserta itu ditipu. Yang terjadi adalah upaya untuk memfitnah aksi AKKBB ini dengan pelbagai cara.

Pengalihan Isu BBM

Fitnah yang paling keji dan menggelikan adalah ketika tragedi Monas disebut sebagai bentuk pengalihan isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sengaja dilakukan oleh AKKBB. Fitnah ini sangat keji, karena peserta aksi AKKBB yang prihatin terhadap gejala pengabaian dasar negara, Pancasila, kemudian tanpa bukti disebut untuk mengalihkan isu.

Faktanya, jika tragedi ini disebut sebagai pengalihan isu, maka sesungguhnya yang patut disebut sebagai pelaku pengalihan isu adalah massa penyerang. Inisiatif menyerang ada di tangan FPI. Kalau mereka tidak melakukan gerakan serangan, maka barangkali isu kenaikan harga BBM akan tetap jadi perbincangan. Sekali lagi, AKKBB adalah korban dari sebuah inisiatif serangan dari pihak FPI.

Kamis, 18 Juni 2009

TUHAN DAN SEGALA HAL YANG MENYUSAHKAN

17 Desember 2006, saat saya bersama istri yang tengah hamil tua, seusai kami beribadah Minggu di gereja, kami terkena musibah. Motor kami terserempet sebuah mobil pick-up. Entah kenapa, saat kami tengah berada pada jalur yang pas, sebuah mobil tiba-tiba menerobos, menyalip motor kami yang masih dalam kecepatan lambat. Mungkin ia terburu-buru. Sesaat, saya mendengar teriakan istri saya. Tak lama kemudian saya tersadar bahwa tubuh kami sudah menghempas di aspal jalan. Saya cepat berdiri, menghampiri istri saya yang dalam posisi tersungkur seakan tengah berusaha menahan benturan perutnya dengan aspal. Tak pelak, hati saya mulai menciut, takut, kuatir, sedih dan bingung. Sementara, si bapak pemilik mobil tengah ‘ditahan’ oleh orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu. Saya kuatir terhadap kandungan istri saya yang tinggal menunggu hari. Ah, kalau boleh Tuhan, jangan biarkan kami kehilangan anak kami lagi. Itu yang ada dalam benak saya. Ya, saat istri saya hamil anak pertama, diusia tiga bulan mengalami keguguran. Saya masih ingat, karena bertepatan dengan peristiwa Bom Bali II dan naiknya harga BBM, pukul 00 WIB, 1 Oktober 2005. Dan peristiwa keguguran itu sempat membuat shock istri saya dalam beberapa hari. Tentu saja, kecelakaan saat itu membuat saya bertanya “Apa yang Engkau kehendaki dari kami, Tuhan?” Sambil dipapah ke sisi jalan, istri saya menangis. Saya tahu pasti, dia sangat takut kehilangan sang jabang bayi yang tengah dinanti-nantikan kehadirannya. Bagaimana tidak, setiap hari, kami selalu mengajak ‘bermain’ dan ‘berbicara’. Dan di tengah keterbatasan dan kekurangan, kami berupaya mempersiapkan yang terbaik untuk menyambut kehadirannya. Setiap keputusan dan tindakan yang kami ambil, kami awali dengan menyerahkannya pada kehendak Tuhan, Sang Pemilik hidup dan kehidupan.
Bersyukur bahwa istri saya rupanya dengan reflek telah berupaya ‘menyelamatkan’ sang jabang bayi dari benturan dengan aspal jalan. Meski hal itu berakibat tangannya luka-luka dan bahkan sempat kami kira patah. Hmm…naluri seorang ibu. Dan bersyukur lagi ketika kami periksa kondisi kehamilan istri saya masih relatif baik, meski kami masih perlu terus memeriksakannya lebih intensif. Istri saya sempat gusar, ketika ia tak merasakan pergerakan jabang bayinya beberapa saat lamanya. Dalam keadaan masih lusuh, kami pulang. Motor yang kami kendarai tak bisa dipakai, si pemilik mobil rupanya mau bertanggung jawab, dan mengantarkan kami. Hari itu saya ingat, bahwa saya telah berjanji untuk mengambil bagian melayani dalam sebuah acara Natal Dewasa Junior (Dewajun). Dalam kondisi jari kaki kiri yang masih sakit, mungkin terjepit bagian motor, saya pun bertekad untuk tetap datang. Saya masih ingat, hujan pun tak kalah derasnya turun sore itu. Dan dari apa yang masih hangat kami alami, saya mendapatkan inspirasi untuk berbagi bersama teman-teman di Dewajun malam itu. Apakah semua itu kebetulan semata? Saya berani menjawab: TIDAK!
Dalam hidup kita, mungkin ada banyak peristiwa yang menyusahkan. Mungkin apa yang telah saya alami di atas masih tak seberapa dibandingkan apa yang saudara-saudara alami. Namun buat saya pribadi, peristiwa itu - diantara peristiwa yang kita anggap menyusahkan lainnya - adalah bagian dari proses bagaimana saya memahami keberadaan Tuhan di tengah-tengah kehidupan saya (kami). Memang tak sesederhana kita membuka program komputer atau membaca teks-teks Alkitab. Tak sesederhana ketika kita menuturkan ‘Pengakuan Iman Rasuli’ tiap hari Minggu di gereja. Juga tak semudah mengkalkulasi angka-angka 2+2=4. Saya pikir, demikianlah proses beriman, tak berhenti dan beku dalam teks-teks kitab suci. Karena pemikiran dan rancangan Tuhan tak akan muat ‘dibukukan’ dalam sebuah buku yang oleh para pemeluk agama disebut ‘kitab suci’. “BapaKu masih bekerja sampai hari ini”, kalimat itu pernah diucapkan Kristus ketika mengkritik dan menampik paradigma para ahli Taurat yang serta merta membatasi Tuhan Yang Tak Terbatasi oleh dogma, agama, syariah, dan hegemoni kekuasaan. Bahwa Allah masih terus menyatakan ‘firmanNya’ dalam tiap-tiap zaman hingga saat ini bahkan nanti.
Kesusahan, tak selamanya membuat kita susah, manakala kita tak membatasi kuasa Allah yang ‘menerobos’ keterbatasan kita dalam memahami dan merasakan kehadiranNya. Mengutip Ahmad Wahib, seorang tokoh ‘reformis‘ Islam Indonesia, “…bahwa Tuhan menemui manusia dalam akal budi dan iman manusia, tapi Dia sendiri jauh lebih agung daripada akal budi dan iman itu sendiri. Tuhan sendiri bukan iman. Iman sekedar medium pertemuan. Karena itu konsep iman bisa berubah sesuai dengan dataran pengalaman manusia yang akan mempergunakannya.” Dalam Alkitab kita mengenal apa yang dikatakan Paulus bahwa Tuhan “…melampaui segala akal”. Kesusahan, kesulitan, jalan sempit dan terjal, bahkan penderitaan seyogyanya tak kita tuduhkan sebagai keterbatasan Tuhan, namun kita patut bertanya…apakah jadinya jika kehidupan kita baik-baik saja?

Dommy Waas
*Aktivis Muda GKI

Pancasila: Tidak Laku, Sekarat atau Telah Mati?

Pancasila tidak laku? Mati? Ah, yang benar saja? Ya, paling tidak dalam kondisi sekarat, pingsan atau mati suri. Betapa tidak, dalam sebuah artikel di internet, berdasarkan hasil survei tahun 2006 diungkapkan bahwa 80% mahasiswa memilih agama sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Lalu, 15,5% responden memilih sosialisme, hanya 4,5% yang memilih Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.
Konon, penelitian ini dilakukan di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya. Semua perguruan tinggi tersebut merupakan basis pergerakan politik di negeri kita, Indonesia. Sejak peristiwa reformasi 1998, generasi muda maupun masyarakat sepertinya alergi serta sinis terhadap Pancasila.
Celakanya, pemerintah menghapus Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Bahkan sekitar 70% perguruan tinggi di Indonesia telah menanggalkan mata kuliah Pancasila dari bahan ajarannya. Cukup memperihatinkan bukan? Lalu, mengapa bisa demikian? Mereka yang ‘menolak’ Pancasila merasa kecewa karena tak ada perubahan yang berarti dalam hidup mereka. Terlalu dangkal memang, tapi inilah realitas yang tengah kita hadapi.
Di era Orde Baru, Pancasila menjadi bagian dari indoktrinasi penguasa (negara) terhadap masyarakat. Terkesan dijejalkan dan dipaksakan. Sisi positifnya, setidaknya kita hafal isi kelima sila Pancasila, bahkan mungkin butir-butirnya. Namun, perilaku tak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang dipraktikkan para pemimpin negeri ini membuat mual dan eneg generasi muda serta masyarakat kita. Dan akhirnya ketika reformasi tercetus, Pancasila yang merupakan spirit perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara kita, dimuntahkan sedemikian rupa, persis seperti pengidap Bulimia atau Anorexia.
Alih-alih Pancasila dijadikan landasan dalam memperbaiki peri kehidupan bangsa, diam-diam ataupun terang-terangan, Pancasila malah dianggap tak relevan lagi bahkan ada yang berkeinginan menggantinya dengan dasar negara berbasis agama tertentu. Bahkan menghalalkan segala cara, termasuk meraup kekuasaan politik, sambil mengharamkan pihak lain yang tak sepaham.
Bentrok pada peristiwa Monas 1 Juni 2008 lalu, merupakan rekam jejak penting sebagai indikasi bahwa ada pihak-pihak atau kelompok yang tak lagi acuh terhadap nilai-nilai luhur bangsanya sendiri. Kelompok ini menganggap bahwa Pancasila adalah produk asing (Barat). Sementara, seperti diungkapkan Gus Dur dalam pengantar buku “Ilusi Negara Islam”, kelompok ini pun memaksakan nilai-nilai/budaya asing lain dengan jubah agama. Lalu bagaimana dengan generasi muda kita, terutama kaum intelektual yang semestinya mengambil posisi netral serta menjadi corong pendidikan bagi masyarakat? Rupanya, dunia pendidikan pun tak kebal dari keberpihakan.
Tentu saja, geliat semangat memperbaiki kondisi bangsa Indonesia yang masih carut marut ini patut kita hargai. Namun amat disayangkan, jika kondisi ini justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang mengail di air keruh, memperkeruh suasana tak kondusifnya kehidupan umat beragama lima tahun terakhir ini. Masyarakat kita perlu tetap diingatkan agar senantiasa waspada. Tetap berusaha membuat simpul-simpul dialog sambil mencabut akar-akar kekerasan.
Sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa Indonesia, tak sepatutnya kita berpangku tangan, atau cuek bebek. Di tengah derasnya budaya urban yang menjangkiti masyarakat perkotaan, kita harus tetap mampu memilih dan memilah dengan bijak. Tak ayal, pilihan-pilihan yang disuguhkan memang begitu instan, beragam, menggiurkan, dan menjanjikan. Lihat saja, semua disajikan dengan serba fast and furious. Semua itu mengalir bersamaan dengan sifat alamiah manusia untuk bersaing satu sama lain.
Pola ini tentu akan terkesan bertubrukan dengan sifat tumbuh spiritual manusia yang membutuhkan proses non-instan. Agama tak kebal dari gempuran budaya urban tersebut. Justru, dalam pemikiran penulis, agama mesti diposisikan sebagai pengimbang, filter, sekaligus pengendali (bukan mengebiri atau mengkrangkeng) gerak laju derasnya budaya urban tersebut. Umat beragama pun harus memiliki fungsi mentransformasi perilaku bangsanya ke arah yang lebih baik, sambil mentransformasikan pandangan-pandangan keagamaannya dalam bingkai ke-Indonesiaan yang pluralis.
Mati tidaknya, atau laku tidaknya Pancasila tidaklah menjadi tanggung jawab bangsa asing, namun tanggung jawab kita, bangsa Indonesia. Pancasila sudah mati? Tentu saja jawabannya berpulang pada diri kita sebagai bagian dari bangsa ini. Selamat memilih!

Dommy Waas
*Aktivis Muda GKI
(Di muat di Majalah online: FOKAL
http://gratis-juegos.fokal.info/fokal1/index.php?option=com_content&view=article&id=20&Itemid=17)

Pengikut