Jumat, 30 Oktober 2009

BERIMAN KEPADA YESUS MASIH DAPATKAH DIPERTANGGUNGJAWABKAN?

Oleh Prof. DR. Bambang Sugiarto

Sinopsis buku Darrell L.Bock et al ,“Mendongkel Yesus dari Tahtanya”

• Isu pokok : kesenjangan antara Yesus teologis (Kristianitas) dan Yesus historis (Yesusanitas); antara Yesus yang dimuliakan sebagai Juru Selamat manusia dan Yesus yang sekedar tokoh sosial-politik biasa saja seperti tokoh sejenis lainnya.
• Pokok bahasan : mengkaji 6 klaim yang bermunculan dari studi mutakhir tentang Yesus historis.
1. Perjanjian Baru asli telah sangat dirusak oleh para penyalin sehingga tak terpulihkan. Buku MYT menjawab, bahwa Perjanjian Baru memiliki dasar manuskrip yang lebih lengkap dari karya-karya literatur Yunani atau Latin yang akhir-akhir ini dimunculkan. Bahkan isi teks yang problematis hanyalah 1 % dari keseluruhan, maka tak mesti mempengaruhi kristianitas.
2. Injil-injil rahasia Gnostik menunjukkan eksistensi Kristianitas Purba yang berbeda. Buku MYT meneliti bahwa injil-injil itu sebetulnya tidak mencerminkan situasi Gereja Purba, sebab umumnya ditulis jauh sesudah penulisan Perjanjian baru dan dalam beberapa hal tak sesuai dengan Yudaisme sebagai latarbelakang obyektifnya.
3. Injil Thomas sangat mengubah pemahaman kita tentang Yesus sejati. YMT mengamati bahwa injil Thomas sangat dipengaruhi paham Gnostik, tidak selaras dengan tradisi Kristen-Yahudi, tidak sealur dengan Perjanjian Lama, dan upayanya mendiskreditkan keduabelas rasul membuat penulisnya justru mencurigakan.
4. Ajaran Yesus pada dasarnya bersifat politik dan sosial, berfokus pada keadilan, dan menentang sistem-sistem dominasi. MYT menjawab bahwa inti ajaran Yesus bukanlah sekedar reformasi politik, melainkan reformasi individu, yang diubah oleh Roh Kudus. Itu sebabnya Ia lebih banyak mengajar di Galilea, bukan di yerusalem.
5. Paulus mengubah misi semula Yesus dan Yakobus, dari Reformasi bangsa Yahudi menjadi gerakan meninggikan Yesus dan merangkul bangsa-bangsa bukan Yahudi. MYT menilai bahwa klaim dari James Tabor -yang memperlihatkan seakan ada ‘dinasti Yesus’- ini tak berdasar. Kristianitas Yahudi Purba juga bukan hanya gerakan Yahudi yang eksklusif dan politis. Sejak awal gerakan itu memang berpusat pada Yesus yang dimuliakan sebagai Kristus.
6. Makam Yesus telah ditemukan; kenaikan dan kebangkitannya tidak terjadi secara fisik. MYT menilai klaim ini pun tak berdasar pada fakta sejarah, budaya Yahudi, dan berbagai ungkapan ihwal kebangkitan badan dan kenaikan Yesus dalam kitab-kitab injil.

• Kesimpulan : jika keenam klaim itu salah maka dasar-dasar bagi Yesusanitas pun diragukan atau sekurang-kurangnya mengandung masalah-masalah berat.


Beberapa Kemungkinan ekstrim ( Deepak Chopra, The Third Jesus, 2008)

1. Argumen Harfiah : Yesus yang sesungguhnya hanyalah yang ada dalam Alkitab. Tak perlu mencari segala sumber lain di luarnya. Kendati pun ada nuansa berbeda-beda, para penginjil umumnya (terutama Mateus, Markus dan Lukas) memiliki fokus yang sama : bicara tentang Yesus yang kurang lebih sama. Masalahnya: Studi ilmiah atas Alkitab kini memperlihatkan banyak masalah di dalamnya, seperti, siapa sebenarnya Mateus, Markus, Lukas dan Yohanes itu dalam hubungannya dengan Yesus; sangat mungkin penulis Alkitab lebih dari sekedar empat orang itu; banyak hal sebetulnya tak tertulis tentang Yesus di masa mudanya, kecenderungan psikologis manusiawinya ( tertawa misalnya), saudara-saudaranya, dsb.; banyak perkataan yang ternyata bukan perkataan Yesus sendiri, dsb. dsb.
2. Argumen Rasionalis : Fakta tentang Yesus telah hilang bersama waktu. Alkitab tak bisa dijadikan bukti tentang Yesus sebagai sosok historis. Alkitab bukanlah data sejarah atau otobiografi, melainkan kesaksian tentang wartaNya. Masalahnya : sebenarnya Alkitab pun dokumen sejarah , namun bukan tentang sosok Yesus, melainkan tentang iman kepadaNya. Sementara kalau pun kita bersikukuh hendak mencari fakta ternyata rasionalitas pun tak menemukan cara paling tepat untuk memilah mana fakta mana bukan. ( Rasionalitas ilmiah seperti mengerti segala hal tentang air, tapi tidak tentang bagaimana berjalan diatas air, misalnya).
3. Argumen Mistik: Yesus yang sesungguhnya bukanlah realitas fisik; Ia adalah Roh Kudus. Pada awalnya adalah Firman, dan Firman ada bersama Tuhan, dan Firman adalah Tuhan, kata Yohanes (Yoh 1:1). Yesus yang real adalah yang abstrak, sang Firman, sang Sabda. Masalahnya : dalam Alkitab,Yesus memang bagian dari wacana teologis spiritual, namun persis karena itu maka cerita bisa sembarangan dan tuntutan atas bukti terus-menerus dihindari. Untuk intelektualitas modern yang kritis dan berjejak di bumi hal seperti itu tidak meyakinkan.
4. Argumen Skeptik: Tak ada Yesus yang real, sebab Ia hanyalah fiksi, produk imajinasi teologis belaka. Masalahnya : bila Yesus hanya fiksi maka sulit sekali memahami arus peradaban raksasa yang telah ditimbulkannya hingga kini. Harus ada sesuatu dasar yang real di balik semua itu. Menganggap semua itu hanya fiksi sebenarnya sama naifnya dengan menganggap bahwa seluruhnya dan secara harfiah nyata. Itu mirip orang-orang yang kini masih bersikukuh mengklaim bahwa Holocaust Hitler tak pernah ada, atau bahwa bumi ini sebenarnya datar belaka.
5. Argumen Kesadaran : Yesus paling nyata dalam rupa kesadaran tertinggi manusia, yang biasa disebut God-Consciousness. Cerita dalam Alkitab melukiskan tingkat kesadaran yang sangat tercerahkan. Siapapun yang menciptakannya haruslah memiliki tingkat kesadaran yang sangat tinggi itu. Dan itu pasti real, nyata. Masalahnya : ada banyak tokoh dengan kesadaran tingkat tinggi semacam itu (Buddha, para pencipta Veda, Confusius, nabi Muhammad SAW,dsb.). Tidak adakah keunikan yang khas pada Yesus ?

Beberapa catatan

1. Buku MYT mencoba menelusuri persoalannya secara cukup scholar, rinci dan komprehensif. Akan tetapi semangat utamanya tetaplah apologetis. Maka kesimpulan bahwa tradisi ortodoksi Kristianitas yang memuliakan Yesus lebih ditopang data historis dibanding klaim-klaim Yesusanitas, menjadi terasa terlalu enteng bila dibanding kesungguhan ilmiah dalam penelusurannya awalnya.
2. Hampir segala tokoh sejarah yang telah terpisah amat jauh dari kita oleh waktu selalu tak meyakinkan dan menimbulkan keraguan : Siapakah sesungguhnya Buddha, Julius Caesar, Shakespeare, Gajah Mada, Syech Sitti Jenar, Diponegoro, dsb ? Maka semakin jauh jarak waktunya semakin gambaran-gambaran kita tentang mereka bercampur fiksi, mitos dan kepentingan-kepentingan tertentu, yang tak selalu mudah memilah-milahnya. Itu adalah fakta yang wajar saja.
3. Tuntutan atas bukti-bukti faktual sejarah ilmiah bagi kehidupan beriman mungkin makin hari makin tak terhindarkan. Itu semacam tuntutan bahwa beriman itu bisa dipertanggungjawabkan dengan rasionalitas alamiah biasa. Tapi yang jadi soal adalah ‘rasionalitas alamiah biasa’ tidaklah identik hanya dengan ‘rasionalitas ilmiah’ belaka. Secara alamiah ada banyak bentuk kelogisan rasional, yang tak mesti ‘ilmiah’. Kehidupan jauh lebih kompleks dan ambigu daripada yang bisa dicerna hanya oleh logika ilmiah.
4. Andai data sejarah dianggap begitu penting, maka cara kerja para sejarawan itu sendiri pun harus dipersoalkan: a) bila para sejarawan setia pada batas data empiriknya belaka, bagaimana mungkin mereka akan pernah peduli pada gejala-gejala supra-natural (yang adalah dasar iman religius)?, b) kalau pada saat mereka menghadapi gejala-gejala supranatural itu mereka lantas memaksakan klaimnya bahwa gejala semacam itu “tidak mungkin” (soal mujizat-mujizat, misalnya), maka sebetulnya mereka melampaui kewenangan ilmiahnya, atau terlampau dikuasai oleh kerangka-kerangka teoretis paradigmatisnya hingga tidak terbuka pada realitas yang sesungguhnya. c) bukankah di balik science, kepercayaan berlebihan terhadap data empirik terukur dan terhadap pola rasionalitasnya yang khas adalah sejenis ‘iman’ juga ? dan pada titik itu maka statusnya menjadi sama dengan ‘iman’ religius ?
5. Beriman adalah ranah ‘makna’ hidup yang tak hanya mencakup fakta sumber masa lalunya, melainkan-bahkan terutama- adalah soal pengalaman eksistensial konkrit yang kita alami secara individual. Pada level makna eksistensial itu seringkali Story memang lebih penting daripada History; cerita bisa lebih berharga daripada fakta sejarah; begitu banyak dongeng yang telah membentuk kiblat nilai kita dan membimbing hidup kita daripada fakta-fakta lugas sejarah. Itu tidak apa-apa, karena yang khas dalam hidup manusia adalah imajinasi dan perasaannya : manusia hidup dalam dan melalui imajinasi dan perasaannya. Ketersentuhan, keharuan, perubahan kiblat hidup yang mendasar, kesadaran kosmik transendental, adalah hal-hal yang juga real, alamiah, dapat dipertanggungjawabkan dan masuk akal, kendati tidak bisa seluruhnya dijelaskan secara ilmiah.
6. Dalam kehidupan religius barangkali yang terutama adalah memang bertumbuhnya kesadaran nilai dan makna ke tingkat lebih tinggi atau lebih mendalam. Dan untuk itu kritik-kritik dari dunia ilmiah bukan tak ada gunanya. Kritik-kritik itu membantu kita melihat kembali terus-menerus mana yang sesungguhnya berharga dan pokok dalam perjalanan iman itu; mereka membuat kita selalu waspada terhadap perangkap-perangkap egoisme, tendensi kekanak-kanakan, kedangkalan, kesombongan dan kenaifan.



Prof.Dr.Bambang Sugiharto, mengajar filsafat di Universitas Parahyangan dan ITB. E-mail : ignatiussugiharto@yahoo.com

Rabu, 28 Oktober 2009

PEMUDA: DIMANAKAH SENGATMU?

Hari ini adalah peringatan hari SUMPAH PEMUDA. Semoga para pemuda Indonesia bisa berjalan pada track yg benar. Kalo jd pelajar atau Mahasiswa jangan tawuran melulu, jangan cuma bisa ospek ala militer yg bikin nyawa saudaramu hilang, bikin malu! Jangan hanya bisa sumpah serapah dengan bahasa sampah. Ayo! Pemuda Indonesia, bangkitkan semangatmu membangun negeri ini agar lebih baik! Dimanakah sengatmu?

Selasa, 06 Oktober 2009

MENDONGKEL YESUS DARI TAHTANYA

Diskusi buku "MENDONGKEL YESUS DARI TAHTANYA"
19 OKTOBER 2009, 17.30 WIB
di
GKI Jl. Maulana Yusup 20 Bandung



JESUSANITY or CHRISTIANITY?

Pengikut