Sabtu, 19 Desember 2009

NArumI


Mencoba mencari-cari soft copy corat-coret 'ungkapan hati', di antara tumpukan copy CD,
yang ketemu baru satu ini...hard copynya mungkin kebuang dengan berkas-berkas lama.
Ini salah satu dari sekian coretan saya.
Saya ga tau ini puisi atau apa...yang jelas jadinya seperti itu.
Jadul banget... :)



NArumI

Pagi ke-1095,
Aku kembali menjengukmu,
Halimun di sekitar tempatmu
mulai menjauh dikoyak cahaya sang fajar,
Masih ada bulir-bulir embun bening
meluncur ragu dari dedaunan
terhempas meredup di atas tanah…

Jalan-jalan masih sunyi,
Tanah merah marun tempatku berpijak
masih lembab oleh guyuran hujan semalam,
Ah…engkau pasti kedinginan,
Biasanya engkau memintaku merapat,
mendekap tubuhmu yang menggigil…

Aku ingin melihat senyummu,
Berharap mendengarkan sapa lembutmu,
derai tawamu, kegundahanmu,
Sesekali engkau sandarkan kepalamu di bahuku
melepaskan lirih pedihmu…

Oh ya,
Aku membawa beberapa tangkai mawar merah kesukaanmu,
Tentu saja dari taman dekat jendela kamarku,
Juga satu kantung melati
dari halaman depan rumahku,
Biasanya engkau memburunya
saat singgah di pondok kecilku,
Ku harap, ini bisa membuatmu tentram…

Ah…aku masih ingat,
Ketika senja beringsut meremang malam,
Engkau bertanya:
“Kenapa kamu mencintaiku?
Kenapa bukan yang lain?”
Aku tak punya jawabannya,
yang keluar dari mulutku:
“Mungkin...kesederhanaan dalam kecantikanmu,
Dan…karena aku laki-laki, kamu perempuan”
Kamu tersenyum kecil, menahan luapan hati,
Mencoba menyembunyikan ketersipuan,
Tanda bahwa jawabanku tak kuasa engkau bantah…

NArumI,
Tanah merah marun ini telah tiga tahun membalutmu,
Membuat jarak yang tak terukur di antara kita,
Meski hanya enam kaki dari jasadmu
Yang telah lelap tertidur,
Dalam doa, tarikan dan hembusan nafasku,
Aku merindukanmu.


Bandung, Jan 1995
(Dommy Waas)

Jumat, 11 Desember 2009

Pacar Gue Ketuaan? Jika Cinta Itu Buta, Maka Nalar Harus Bicara


Ada sebuah pomeo yang menyatakan bahwa “cinta itu buta”. Pernyataan ini buat penulis memiliki makna bersayap yang perlu kita perjelas. Pertama, bisa jadi pomeo tersebut bermaksud kalau falling in love itu tidak memandang siapa, di mana, kapan dan kepada siapa. Terlepas pendapat psikologi perkembangan yang menyatakan adanya batasan usia pubertas bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Kedua, pomeo tersebut bisa diartikan bahwa seseorang yang mengalami jatuh cinta bisa mengalami ‘kebutaan’ akal sehat. Orang yang demikian cenderung memperturutkan perasaan hatinya tanpa diimbangi dengan penggunaan nalarnya. Ada yang bilang kalau jatuh cinta itu berjuta rasanya, susah digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya serba indah dan bikin hidup jadi lebih hidup. Apa seindah itu? Sebelum kita lanjutkan, dalam bahasan kali ini, penulis akan banyak menyoroti dari sisi feminim ketimbang sisi maskulin. Mengapa? Karena sudah terlalu lumrah ketika kita bicara dari sisi maskulin. Seakan apapun yang diperbuat dalam bingkai patriarkal, tak bisa digugat bahkan dipertanyakan oleh kaum hawa, yang sejatinya adalah partner dari laki-laki.

Kesetaraan: Sebuah Terobosan Paradigma?
Seiring dengan perkembangan pemikiran manusia, peradaban – yang juga diselingi dengan kebiadaban - pun mengalami perubahan. Apalagi dengan berkembang pesatnya dunia teknologi informasi yang memungkinkan perubahan paradigma di sebuah tempat merambah dan mempengaruhi pergulatan pemikiran di tempat lainnya. Dunia semakin kecil dan ‘didatarkan’, kata Thomas L. Friedman dalam The World is Flat. Sejarah telah membuktikan hal demikian dengan munculnya berbagai gerakan feminisme, yang akarnya adalah perempuan menuntut perlakuan yang setara dengan laki-laki, terutama terkait dengan hak-hak azasinya. Sampai munculnya gerakan feminisme di awal abad ke-18, dunia dengan segala sistem dan hukum yang ada, berjalan dengan wajah dan bingkai patriarkal. Bahkan kitab-kitab suci dan praktik ritual keagamaan pun tak luput dari maskulinitas.
Mary Wollstonecraft, seorang penulis dan pemikir Feminis Liberal Eropa, menyatakan bahwa masyarakat wajib memberikan pendidikan kepada perempuan, seperti juga kepada anak laki-laki, karena semua manusia berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya. Sehingga mereka dapat menjadi manusia utuh (Rosemarie Putnam Tong, 1998). Cara pandang demikian, mempengaruhi perilaku dan pola pikir perempuan di dunia Timur (Asia khususnya), yang terbiasa ‘tunduk’ pada tradisi patriarkal. Di Indonesia, kehadiran seorang R.A. Kartini (dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdas, merupakan cikal bakal pergerakan feminis Indonesia (emansipasi). Feminisme pun tak luput dari kritik dan membentuk cabang-cabang aliran dalam proses perkembangannya. Diakui atau tidak, perubahan paradigma yang baru – yang dicontohkan oleh feminisme – berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk alam demokrasi (politik). Namun, di sisi lain, kita bisa telusuri bahwa pada dasarnya budaya matriarkal lebih dulu ada sebelum ‘ditaklukan’ oleh budaya patriarkal. Hal ini diungkap oleh Erich Fromm dalam Cinta, Seksualitas dan Matriarki, mengenai Hak Ibu (Mother Right) yang diusung oleh Bachofen – seorang rekan Frued yang menganalisis mitos-mitos dan simbol-simbol bangsa Romawi, Yunani dan Mesir. Bachofen menyatakan bahwa struktur patriarkal dalam masyarakat yang kita kenal melalui sejarah peradaban dunia, adalah relatif baru sekarang ini, dan itu didahului sebelumnya oleh status kultural yang menempatkan sosok ibu dalam peran yang sangat penting. Menurut Anthony Giddens (Transformation of Intimacy), seorang pemikir sosial dari Inggris, kesetaraan yang digaungkan kaum perempuan juga telah mengubah realitas hubungan kaum perempuan dan laki-laki. Giddens bahkan seolah mengajak kita – kaum laki-laki dan perempuan – untuk menegosiasikan kembali bentuk ‘keintiman’ yang ingin dijalani oleh kedua pihak. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan , masih menjadi hal yang terus diperdebatkan sembari dikembangkan bentuknya dalam ruang-ruang diskusi bahkan praktik keseharian.
Dari paparan ini, penulis ingin memberi gambaran singkat, bahwa perubahan paradigma – amat mempengaruhi keputusan serta tindakan yang akan kita pilih dan lakukan. Demikian juga dengan sisi kehidupan sosial, seperti keputusan untuk memilih pacar. Dulu, secara umum, akan dianggap tabu jika seorang perempuan menyatakan lebih dulu perasaan cintanya kepada seorang laki-laki. Atau seorang perempuan mempunyai kekasih yang usianya terpaut jauh lebih muda dari dirinya. Orang lantas akan bergosip, bertanya-tanya, bahkan mungkin secara tak langsung memberi cap negatif pada si perempuan. Tapi sekarang? Ada berbagai cara, metode, bahkan argumen yang digunakan kaum hawa untuk bebas menyatakan rasa cintanya pada lawan jenisnya. Pertanyaannya, adakah konsekuensi bagi perempuan ketika memilih kekasih lebih muda? Atau sebaliknya, bagaimana dengan laki-laki yang usia kekasihnya terpaut jauh di atas dirinya? Bagaimana kelangsungan hubungan mereka?

Jika Cinta Itu Buta, Maka Nalar Harus Bicara
Dari hasil jajak pendapat beberapa (25-30 orang) rekan perempuan di Facebook, penulis mendapatkan beberapa pernyataan yang nyaris senada, terkait dengan beberapa pertanyaan di atas. Umumnya perempuan saat ini tak begitu mempermasalahkan rentang usia laki-laki yang terpaut jauh dari usia mereka (7-10 tahun). Mereka justru cenderung melihat dari sisi positif, bahwa mereka akan memilih pacar yang lebih tua usianya ketimbang yang lebih muda. Mengapa? Beberapa alasan yang disampaikan adalah: lebih dewasa, bisa ngemong (membimbing), bisa bermanja-manja, bisa dijadikan teman, bisa berperan rangkap sebagai orang tua, lebih bisa nerima keadaannya (karakter), bisa mendidik, bisa berperan sebagai kakak, dan sebagainya. Alasan umum mengapa mereka tak memilih yang lebih muda, atau mungkin setara, adalah karena dianggap kurang atau tidak dewasa serta tak mampu mengambil peran-peran seperti yang lebih tua usianya. Namun demikian, mereka pun tak serta merta ‘menolak’ jika pacarnya berusia lebih muda, hal ini didasarkan oleh contoh-contoh dari pasangan yang berhasil membina hubungannya hingga ke jenjang pernikahan dan hidup bahagia. Jawaban atau pendapat yang disampaikan kepada penulis memang masih bersifat umum. Belum menyentuh hal-hal yang krusial seperti komunikasi, gap (perbedaan zaman – kultur, dsb.), permasalahan seksualitas, perbedaan latar belakang (pola didik, keluarga, lingkungan, jenjang pendidikan, suku-adat istiadat), bahkan kelanjutan masa depan mereka (uang, anak-anak, hukum yang berlaku). Sekali lagi, semuanya masih umum. Apakah karena memang cinta itu buta? Jika jawabnya “YA”, maka kita harus menggunakan nalar untuk dijadikan dasar pertimbangan memilih. Pertama, seperti yang juga diungkapkan oleh rekan-rekan penulis di Facebook, bahwa sepasang kekasih harus memiliki dasar iman (baca: agama) yang sama, sebagai fundasi hubungan mereka. Amat langka, meski saat ini tengah menjadi wacana urgent agama-agama, bahwa hubungan laki-laki dan perempuan yang beda agama bisa diterima oleh keluarga kedua belah pihak, bahkan masyarakat. Dalam praktiknya, hukum tertulis yang ada pun masih diperdebatkan, dan kalah kuat dengan hukum tak tertulis yang berlaku di tengah masyarakat. Dan dengan demikian, disarankan untuk cari jalan aman saja. Cari yang se-agama.
Hal kedua, masalah komunikasi. Konon, menurut beberapa konselor pernikahan, komunikasi adalah kunci dalam membangun dan mengembangkan sebuah hubungan. Biasanya saat dalam tahap penjajakan (pra pacaran), laki-laki maupun perempuan, keduanya akan merasakan nyambung – tidaknya dalam berkomunikasi. Celakanya, banyak yang keliru, menganggap bahwa nyambung-tidaknya komunikasi hanya ditentukan oleh kesamaan-kesamaan seperti: makanan, hobi, serta hal-hal yang tak prinsipil. Hal ini tidak bisa diabaikan, karena perbedaan usia, latar belakang, keluarga, kultur, lingkungan, status sosial, pendidikan serta paradigma bisa dijembatani dengan adanya komunikasi yang baik dan terus dibangun. Tak kenal maka tak sayang, begitulah kata pepatah. Kenal bukan hanya nama, alamat, nomor telepon atau handphone saja, tapi mengenal karakter, keinginan, visi, pandangan tentang hidup, pandangan tentang pernikahan, dan sebagainya. Bahkan kelemahan atau kekurangan pasangannya pun sebaiknya dikomunikasikan sejak dini, guna terbentuknya saling pengertian satu dengan lainnya. Entah itu kebiasaan-kebiasaan buruk atau hal-hal yang cenderung berakibat negatif serta akan memicu pertikaian dalam hubungan keduanya di masa mendatang. Sakit penyakit yang diidap kita pun hendaknya dikomunikasikan sedemikian rupa, sebijaksana mungkin, kepada pasangan kita. Persoalan keuangan pun, jika tak dikomunikasikan, bisa menjadi pemicu rusaknya sebuah hubungan, baik dalam tahap pacaran maupun pernikahan. Maksudnya tidak untuk dijadikan objek pelampiasan kesalahan ketika terjadi konflik, melainkan masing-masing bisa saling melengkapi, saling menginspirasi, saling menjaga dan saling membangun, serta bersama-sama memperbaiki perilaku atau karakter yang tak sedap jika terus dibiarkan. Dalam hal komunikasi, umumnya laki-laki berusia lebih tua lebih bisa mengendalikan sekaligus memahami pasangannya yang lebih muda, disebabkan banyaknya perbendaharaan ‘pengalaman’ (bisa pengetahuan, komunikasi, pengenalan karakter, dan sebagainya) yang lebih dulu dikuasainya. Sebaliknya, ketika memiliki pacar yang lebih muda usianya, perempuan cenderung merasakan dan mengalami keterbalikan peran-peran yang semestinya diterima dari pasangannya. Meski tak semuanya demikian. Melalui komunikasi (dialog), yang tentu saja berkualitas, maka perbedaan latar belakang, karakter, budaya, pola didik, jenjang pendidikan, bahkan status sosial, akan bisa meminimalisasi jurang (gap) dalam memahami masing-masing pasangannya. Hal yang tak kalah penting adalah perlu adanya kepercayaan serta keterbukaan satu dengan lainnya.
Sejak dini, kita perlu mempertimbangkan hal-hal yang mungkin terjadi. Tentu saja, banyaknya pertimbangan bukan untuk menghambat langkah anda dan pasangan anda untuk terus membangun hubungan ke jenjang yang lebih serius, yakni pernikahan. Pomeo ‘cinta itu buta’ tak boleh kita serap begitu saja. Perlu kita revisi, kita kaji ulang, agar tak menjadi bumerang atau bom waktu yang membunuh dan menghancurkan hubungan antara anda dan pasangan anda. Landasan atau fundasi iman (agama) masih menjadi hal yang primer dalam membina dan membangun hubungan. Inilah yang memberi nilai lebih dalam membentuk karakter laki-laki maupun perempuan sepanjang hubungan itu terjalin, terbangun dan berkembang. Nah, jika cinta itu buta, maka gunakanlah nalar kita untuk bicara. Untuk mempertanyakan kembali apa yang sedang dan akan kita cari, harapkan dan akan berikan dalam membina sebuah hubungan dengan si dia. Semoga.


Daftar Pustaka Rujukan:
Thomas L. Friedman, The World is Flat : Sejarah Ringkas Abad Ke-21, Dian Rakyat, Oktober 2006, .
Rosemarie Putnam Thong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, Jalasutra, 2008, Yogyakarta.
Erich Fromm, Cinta, Seksualitas dan Matriarki: Kajian Komprehensif Tentang Gender, Jalasutra, April 2007, Yogyakarta & Bandung.
Anthony Giddens, Transformation of Intimacy, Fresh Book, Januari 2004, Jakarta.

ARMY OF ROSES: PEREMPUAN, KONFLIK POLITIK DAN BOM BUNUH DIRI


MENGAPA HARUS PEREMPUAN? Itulah pertanyaan yang muncul ketika penulis membaca buku berlabel ARMY OF ROSES, karya Barbara Victor. Berbagai peristiwa bunuh diri dalam berbagai metode untuk mengungkapkan perlawanan terhadap penjajah, umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Namun bagaimana jika bom bunuh diri marak dilakukan oleh perempuan, terutama di Palestina? Apa yang mendorong mereka melakukan hal itu? Bagaimana mungkin perempuan bisa berubah dari penjaga kehidupan (karena melahirkan anak) menjadi mesin pembunuh? Inilah yang menjadi dasar bagi Barbara Victor mengungkap fenomena tersebut ke hadapan kita. Konflik Palestina-Israel yang berkepanjangan, kepentingan kelompok-kelompok politis (Hamas, Jihad Islam, Fatah, dan para politisi di pemerintahan Palestina), ditambah dengan kultur Palestina yang patriarkal, memposisikan perempuan menjadi pihak yang tertekan dan menjadi warga ‘kelas dua’, bahkan frustasi karena menghadapi jalan buntu. Meskipun menurut seorang psikiater Palestina, Dr. Iyad Sarraj, menyatakan bahwa “penghalang di dalam komunitas Palestina untuk bunuh diri sebenarnya sangat besar ...khususnya dalam budaya yang mereka miliki, yaitu prinsip bahwa bunuh diri itu dosa”. Hal ini digambarkan melalui kisah beberapa perempuan pelaku bom bunuh diri. Wafa Idris, pelopor kamikaze perempuan, juga seorang perempuan yang melanggar aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Ia disinyalir melakukan aksi tersebut karena tekanan psikologis situasi kultur masyarakatnya sendiri. Wafa, yang menikah dengan sepupunya, Ahmed, melahirkan bayi prematur, tetapi langsung meninggal. Seluruh keluarga kecewa. Ini merupakan aib bagi keluarga mereka, dan Ahmed merasa dipermalukan. Belum lagi keterangan seorang dokter yang bukan ahli kandungan memberitahukan pada Wafa, Ahmed dan keluarganya, bahwa Wafa tak akan bisa melahirkan anak. Seorang rekannya bahkan yakin bahwa Wafa mengalami apa yang disebut ‘inertia’ atau ‘apatis total’. Ketika kehilangan bayinya, ia pun kehilangan kemauan untuk hidup. Kemiskinan dan kebodohan, mungkin bisa menjadi alasan aksi yang dilakukannya. Namun bagaimana jika ditambahkan alasan bahwa dengan aksi demikian, maka perempuan akan sama derajatnya dengan laki-laki? Darine Abu Aisha, baru berumur dua puluh tahun ketika meninggal. Dia mahasiswi yang cerdas. Keluarganya mapan secara finansial. Keluarganya cukup terpandang di tengah masyarakat. Relatif tak terpengaruh oleh kerasnya pendudukan Israel. Namun seiring waktu, Darine semakin mengerti bahwa setinggi apa pun prestasinya di universitas, nasibnya sebagai perempuan Palestina telah dicap mati – perjodohan, punya anak enam atau tujuh, seorang suami yang mungkin tak punya harapan atau keingintahuan tentang kehidupan yang sebanding dengannya. Akhirnya ia menjadi nihilis. Tekanan orang tuanya agar ia menjadi istri yang taat, terus melahirkan anak dan mengasuh anak-anak itu dalam sebuah keluarga, sedangkan suami adalah yang paling berkuasa dan memiliki otoritas mutlak. Darine menentangnya. Dia lebih baik mati.
Dua contoh kontras di atas – dari sisi status sosial maupun pendidikan - memberikan gambaran kepada kita betapa perempuan Palestina dalam posisi yang tak menguntungkan. Celakanya, mereka baru dianggap setara dengan laki-laki, dianggap bisa ‘menebus’ kesalahan atau aib yang dilakukannya – dan hal ini dijustifikasi oleh para tokoh agama konservatif – jika ia bersedia melakukan sebuah aksi bom bunuh diri. Tindakan ini pun diaminkan sebagai tindak kepahlawanan oleh keluarga, masyarakat, bahkan oleh mereka yang berkepentingan secara politis di pemerintahan bangsanya. Meski pada kenyataannya, perempuan pelaku bom bunuh diri ini tetap tak mendapatkan ‘kesetaraan’ dengan kaum laki-laki yang melakukan aksi serupa. Keluarga yang mendapatkan bayaran dari pihak yang merekrutnya tidaklah mendapatkan jumlah uang yang sebanding jika pelakunya laki-laki.
Dengan tepat, Barbara Victor menuliskan posisi perempuan Palestina dalam sosial-kultur bangsanya sendiri demikian: saat ini, perempuan Palestina yang tidak menikah hidup di bawah serangkaian aturan sosial dan agama yang ketat: jika berpendidikan terlalu tinggi, ia dianggap abnormal; jika memandangi laki-laki, ia terancam dikucilkan; jika menolak menikah, ia dianggap lepas kendali; jika tidur dengan laki-laki, khususnya jika hamil, maka ia adalah aib bagi keluarga dan bisa mati di tangan kerabat laki-lakinya (hal. 257).

TUJUANKU ADALAH MENYELAMATKAN NYAWA
Barbara Victor juga mengungkapkan bagaimana para dokter serta perawat dalam sebuah rumah sakit, yang beragam latar belakang agama dan bangsa, berupaya dan tetap bersikap objektif dalam menolong para korban konflik. Mekipun sang dokter adalah seorang ayah dari anak yang tewas akibat serangan bom bunuh diri. Mereka tak boleh mencampuradukan antara pandangan politik dengan pengobatan. Seorang perawat berasal dari sebuah desa kecil Palestina mengungkapkannya saat ditanya bagaimana perasaannya ketika harus menangani pasien dari pihak lawan dalam konflik: “Kutinggalkan politik di rumah ketika aku pergi bekerja. Yang kini kutemui adalah orang-orang yang sangat membutuhkan keahlianku dan perawatanku, dan aku akan melaksanakannya tanpa keraguan. Tujuanku adalah menyelamatkan nyawa. Pasienku tak mengenal kebangsaan ataupun agama.” Tentu saja, ini adalah bagian yang jarang kita dengar di media-media informasi kita. Dari paparan Barbara Victor, kita bisa lebih obyektif melihat bahwa persaudaraan, rasa kemanusiaan serta cinta kasih kepada sesama masih bisa tumbuh dan mekar di tengah-tengah hiruk pikuk peperangan. Informasi yang kita dengar, terima dan cari, lebih sering memihak serta hanya untuk menyenangkan telinga kita. Aksi-aksi yang mengatasnamakan solidaritas kemanusiaan bahkan berbasis agama malah sering menambah parah konflik dan penderitaan. Kita lebih sering memungut ‘sepotong’ informasi, bahkan informasi yang keliru, dengan emosional, tanpa dicerna dan melihat dengan imbang.

KONFLIK POLITIK DAN BOM BUNUH DIRI
Masyarakat dunia, termasuk Indonesia, penting untuk menelusuri perilaku bom bunuh diri yang muncul dan marak sejak tercetusnya konflik Palestina-Israel di wilayah Timur Tengah. Tepatnya 11 Desember 1987, ketika peristiwa Intifadah meletus di seluruh wilayah Tepi Barat dan Gaza. Perilaku bom bunuh diri ini sepertinya janggal jika terjadi di wilayah Palestina, bahkan ketika menyebar hingga ke wilayah Eropa (peristiwa di London), Amerika (peristiwa 11 September 2001), hingga wilayah Asia Tenggara seperti Indonesia. Karena yang kita tahu perilaku tersebut cenderung menjadi trade mark bangsa Jepang yakni yang disebut kamikaze. Namun benarkah demikian? Ternyata, perilaku bom bunuh diri ini mungkin saja telah berembrio sejak 2000 tahun silam. Menurut Robert A. Pape, perlawanan dengan melakukan bunuh diri dahulu kala pernah terjadi di Tanah Palestina. Ketika tanah Palestina masih diduduki oleh Kekaisaran Romawi, aksi itu pernah terjadi. Aksi tersebut dilakukan oleh dua kelompok revolusioner Yahudi militan yakni Zealot dan Sicarii, sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa Romawi serta memrovokasi pecahnya perlawanan rakyat. Dan menurut sejarah, pada tahun 66, pecahlah “Perang Yahudi”. Perang ini berakhir di Masada, namun mereka tak menyerahkan diri kepada penguasa Romawi, melainkan memilih bunuh diri massal, yang dilakukan oleh 980 anggota kelompok itu. Tak hanya itu, Joshepus, seorang sejarahwan pada masa itu menulis bahwa kelompok Zealot Yahudi tidak ragu-ragu melakukan - dan mengakui ketika tertangkap – aksi penyerangan kepada Herodes, penguasa Yudea dengan menggunakan pisau belati yang disembunyikan di balik jubah mereka. Tentu saja, risiko yang akan mereka hadapi ketika ditangkap adalah dijatuhi hukuman mati, entah disalib atau dibakar hidup-hidup. Oleh karenanya, aksi penyerangan ini disebut sebagai misi bunuh diri. Menurut penuturan Mazin B. Qumsiyeh, Israel di zaman modern ini yang memperkenalkan terorisme di Timur Tengah. Kaum Zionis lah yang pertama menggunakan cara teror di Palestina. Tercatat, pada 22 Juli 1946, sebuah truk bermuatan bom milik kaum Zionis meledak di Hotel King David di Jerusalem, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan sipil Inggris. Ini adalah bom mobil pertama di Timur Tengah, menewaskan 28 orang Inggris, 41 orang Arab, 17 orang Yahudi, dan lima orang lainnya, serta melukai lebih dari 200 orang. Tak hanya itu, kaum Zionis juga merupakan kelompok yang pertama kali menggunakan bom surat yang dikirimkan ke kantor kementerian Inggris, di Jerusalem. Apakah bom bunuh diri di zaman ini terinspirasi oleh peristiwa di masa lalu tersebut? Belum bisa dipastikan. Tapi keduanya memiliki sebuah pesan yang sama, yakni perlawanan terhadap penjajah dan semuanya dalam konteks politik. Kalaupun dalam aksi-aksi bom bunuh diri ini terkesan kental dengan nuansa agama, maka pada kenyataannya agama hanyalah sebagai alat legitimasi serta tameng dari hasrat (Iibido) para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya semata. Barbara Victor, dalam bukunya ini, ingin mengajak kita melihat lebih dekat dari sisi kultur-sosial fenomena bom bunuh diri yang justru dilakukan oleh kaum perempuan di Palestina. Sebuah fenomena yang bukan saja menarik, tetapi juga membuka paradigma kita untuk memandang secara objektif bagaimana posisi para perempuan Palestina, bom bunuh diri, dan kultur-sosial yang berkelindan dengan justifikasi agama itu nyata adanya di tengah-tengah konflik politik yang memakan banyak korban.

Daftar Pustaka Rujukan:
Trias Kuncahyo, Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Desember 2008.
Trias Kuncahyo, Gaza: Tanah Terjanji, Intifada dan Pembersihan Etnis, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Agustus 2009.
Karen Armstrong, Perang Suci: Dari Perang Teluk Hingga Perang Salib, Serambi, Jakarta, Oktober 2003.

Rabu, 02 Desember 2009

DISKUSI SASTRA: NAGABUMI I : Jurus Tanpa Bentuk



SENIN, 14 DESEMBER 2009, pkl. 17.30 WIB
Nara Sumber(2 sastrawan):
1. SENO GUMIRA AJIDARMA
2. ACEP ZAMZAM NOOR
Tempat:
GSG Ruang A-C
GKI Jl. MAULANA YUSUP 20 BANDUNG

Informasi/Pendaftaran (Gratis):
Sekretariat GKI Jl. Maulana Yusup 20 Bandung (022 4265130 - 4232907)
SMS 081320082544 / 0818217797
e-mail: Sekretariatgkimy@gmail.com

Terbuka untuk umum + Doorprize


design poster by: Dommy Waas

Pengikut