Selasa, 02 November 2010

AWAS! AGAMA BISA MEMBUSUK!

“Agama adalah alat membunuh manusia yang paling berbahaya!” Sependapat atau tidak, ungkapan ini di satu sisi ada benarnya. Charles Kimball (When Religion Becomes Evil), merinci lima sebab yang membuat agama dapat berubah dari medium pembawa damai menjadi medium pembawa bencana (hal-hal yang jahat). Dalam perjalanan sejarah tradisi agama-agama, kelima hal tersebut adalah: (1) Kepatuhan buta (2) Klaim kebenaran mutlak (3) Membangun/memimpikan ‘zaman ideal’ (4) Tujuan menghalalkan segala cara, dan (5) Menyerukan perang suci.

Semangat kebangkitan agama-agama, seiring dengan mulai surutnya kapitalisme, cenderung ‘kebablasan’. Ada yang menolak sama sekali: penggunaan rasio, akal sehat manusia, budaya lokal, hukum positif yang berlaku dalam sebuah masyarakat/negara dan tafsir ulang sesuai konteks zaman. Yang sudah dari sono-nya didedahkan pada kita begitu dari abad ke abad…ya begitu saja, terima saja, dengar saja. Tak perlu dicerna, tak perlu ditelisik, tak boleh diusik, tak boleh disanggah! Telan saja bulat-bulat! Tekstual tanpa melihat konteks. Anda tinggal terima, selamat dan masuk surga…beres bukan?! Agama-agama mulai ngecap mengklaim yang nomor satu. Merasa paling benar, paling komplet, paling sah punya kunci surga-neraka dan bahkan paling berhak ber-Tuhan serta menentukan hidup-mati orang lain. Agama-agama kadang terlalu pongah dengan ‘bahasa langit’ yang tak kait-mengkait dengan pergulatan iman manusia di bumi dalam gelombang tantangan kehidupan. Sehingga, solusi yang ditawarkan agama dirasakan umat terlalu njelimet, membingungkan, tidak praktis, tak manjur. Bahkan, kalah cepat dengan deretan problematika sekaligus ragam solusi suguhan dunia. Agama cenderung bersikap ‘alergi’ serta mengambil jarak terhadap dunia sekuler. Padahal, saat agama mewujudkan jejaknya dalam rupa rumah-rumah ibadah (Sinagoga, Gereja, Mesjid, Vihara, dsb.), ketika itulah apa-apa yang sekuler merasuki agama. Agama hanya semacam kegiatan ritual dalam keterpesonaan terhadap mujizat/hal supranatural semata. Agama bahkan terkesan nyinyir, menjadi ‘penghalang’ bagi umat manusia untuk beriman pada Sang Khalik semesta alam. Sejarah pun mencatat kekristenan – dalam institusi gereja - pernah terjebak untuk mendaku bahwa “tak ada keselamatan tanpa melalui gereja”.
Jika semua hal yang disebutkan adalah ‘label’ yang cocok disematkan pada agama saat ini, maka itu tandanya agama sedang mengalami proses pembusukan!

Alfred North Whitehead (Religion in The Making), mengingatkan agar kita tak boleh terpana oleh ide bahwa agama itu pasti baik. Sebuah ilusi yang berbahaya. Yang perlu diperhatikan adalah makna transenden dari agama. Agama bisa mengalami degradasi. Ia tidak selalu baik. Ia bisa saja sangat buruk. Lalu apakah agama masih relevan dengan persoalan kontemporer dalam hidup kita di zaman ini? Apakah agama masih layak kita ‘pertahankan’ jika tanda-tanda pembusukan di atas mulai terlihat? Apakah agama masih penting buat kita? Ya, pertanyaan-pertanyaan tersebut memang terkesan menggugat dan provokatif. Tapi pada kenyataannya – diakui atau tidak – dengan semakin canggihnya teknologi dan tingkat aktivitas yang tinggi, kita mulai terasa kehilangan makna spiritualitas dalam hidup. Bahkan mungkin dalam keberagamaan kita. Namun demikian, agama juga masih diyakini sebagai solusi segala permasalahan hidup, meski kadang terkesan naïf atau hanya menyentuh ‘kulit’. Hanya sekedar pelengkap, aksesoris. Keith Ward (Is Religion Dangerous?) menyatakan bahwa meski agama bukan dan tak bisa menjadi sumber kejahatan, tetapi para penganutnya memungkinkan menjadikan agama itu sendiri ‘berwajah’ tak ramah. Pada kenyataannya, konflik antar agama tidaklah murni karena agama semata. Ada kelindan kepentingan politik, ekonomi, budaya, sosial, dan hal lainnya yang merusak dan merasuki agama, sehingga agama menjadi gersang dan garang.

Yesus, Agama dan Paradigma Baru

Anjuran Albert Einstein perlu kita cermati, bahwa “Problem-problem signifikan yang kita hadapi tak dapat kita selesaikan pada level pemikiran yang sama seperti ketika dahulu kita menciptakannya”. Artinya kita membutuhkan paradigma baru yang dapat membantu kita memahami dan menghayati hidup dalam konteks yang plural. Dan peristiwa ‘membuka paradigma baru’ itu pun pernah dipraktikkan oleh seorang tukang kayu dari Nazaret, di wilayah Palestina, sekitar dua milenium yang lalu. Siapa lagi kalau bukan Yesus yang ditemani oleh 12 murid utama serta puluhan murid lainnya. Dialah ‘pelanggar hukum’ Yudaisme yang membuat gelisah para imam dan ahli Taurat Yahudi di masa itu.
Yesus ‘gerah’ dengan ritual agama yang kehilangan makna (Matius 15:1-20). Yesus mengecam rutinitas ibadat yang hanya berbasiskan kepongahan rohani (Lukas 18: 9-14; Yohanes 8:2-11). Yesus marah pada para pemimpin agama yang hanya gila hormat dan membuat umat mentok spiritualitasnya (Matius 23:1-36). Yesus mengkritik dogma agama yang abai terhadap realitas kebutuhan umat manusia (Lukas 9:13; 13:10-17; 14:1-6). Yesus bahkan meminta agar setiap individu berperan aktif-positif dalam kehidupannya (Matius 5:13-16). Kita yang harus memberi makan mereka yang lapar, memberi minum yang haus, membebaskan orang-orang dari belenggu, memberi pakaian mereka yang telanjang, melawat mereka yang sakit, mengunjungi mereka yang terpenjara, memberi tumpangan pada mereka yang terasing (Matius 25:35-36). Dan kita harus meruntuhkan sekat-sekat perbedaan dalam bingkai paradigma bahwa kita adalah sesama umat manusia (Matius 7:12; Lukas 10:25-37). Yesus juga mengajarkan bahwa beriman kepada Allah identik dengan mengasihi sesama di lingkungan terdekat. Tanpa melihat perbedaan agama, status sosial, suku, ras, dsb.

Berdasarkan Alkitab, kita tahu, Yesus tak berupaya menggagas sebuah agama baru. Ia tak mengajak para murid-Nya menyingkirkan dan menghapus Yudaisme. Yang Ia ubah adalah paradigma umat beragama dalam praktik keberagamaan. Karena paradigma yang picik dan sempit dalam menginterpretasikan Kitab Suci, mempengaruhi perilaku kita dalam berelasi dengan sesama manusia. Juga akan menjadi cerminan bagaimana kita berelasi dengan Tuhan.
Bahwa kegelapan adalah karena ketiadaan terang. Maka Yesus menunjuk setiap kita sebagai terang dunia. Dan bahwa garam adalah bagian ‘penting’ (meski hanya secuil) di tiap dapur keluarga, sekaligus bahan pencegah pembusukan. Maka setiap kita adalah garam dunia. Setiap manusia adalah terang dan garam dunia. Di dunia ini, dalam konteks kekinian. Jika demikian, apakah kita telah menjalankan fungsi keduanya, atau kita meredup dan tawar?
Benar bahwa Tuhan tidak berubah - dulu, kini dan selamanya. Namun, apa jadinya jika institusi keagamaan dan umat beragama tak pernah berubah, gagap dan panik dalam menyikapi tantangan dan persoalan dunia? Jika Tuhan hanya dijadikan pelarian kemalasan kita untuk berubah (metamorphosis) seperti diingatkan oleh Paulus dalam Roma 12:2, untuk apa kita meyakini adanya Tuhan dan menyembah-Nya? Di tengah-tengah bencana yang mendera bangsa kita, dan ribuan korban yang terperangkap rasa ‘gelap’ dan ‘tawar hati’ dalam melanjutkan babak kehidupan selanjutnya, apakah kita pun meredup dan mulai menjadi tawar? Ingatlah, bahwa agama bisa membusuk!


Bandung, 28 Okt 2010
(Dibuat untuk artikel Kolom Bina pada Warta jemaat GKI MY, 7 Nop 2010)
Dommy Waas

Senin, 07 Juni 2010

SILENCE: KEBUNGKAMAN TUHAN dan KONFLIK RELIGIUS TIMUR-BARAT




Novel yang cukup kontroversial ini ditulis dengan latar belakang perkembangan kekristenan di Jepang di abad 17, periode Edo. Francis Xavier telah membawa kekristenan ke Jepang tahun 1549, mendarat di pantai Kagoshima, bersama dua orang Yesuit dan seorang penerjemah Jepang. Pada perkembangannya, pesatnya pertumbuhan kekristenan di Jepang ini sesungguhnya tak lain karena peran Alessandro Valignano. Dialah arsitek atas misi di Jepang. Pada masa itu, penganut Kristen (Kirishitan) tumbuh hingga 300.000 orang.

Namun, saat pemerintahan Ieyasu, Tokugawa pertama penerus Hideyoshi, dimana kekristenan di Jepang mengalami tekanan penganiayaan yang sangat kejam dan mengerikan. Seorang Yesuit Portugis, Sebastian Rodrigues, dikirim ke Jepang untuk membantu gereja setempat selain mencari tahu kondisi mantan gurunya, Ferreira, yang dikabarkan telah murtad karena tak tahan menanggung siksaan. Rodrigues sempat kucing-kucingan dengan para samurai penggeledah desa-desa yang dicurigai – atau diinformasikan – ada penganut Kristen. Yang menarik, Inoe, Gubernur Chikugo yang kejam dan pintar dalam melemahkan para pastor yang ditahan, sangat yakin bahwa kekristenan yang dianut penduduk Jepang tak memiliki jiwa yang mengakar kuat, hanya kerangka yang rapuh. Inoe dan Ferreira begitu yakin bahwa tunas-tunas muda kristianitas tak bisa tumbuh dalam rawa- rawa lumpur Jepang. Alasannya adalah karena Tuhan Kristen yang dianut oleh para penduduk Jepang sesungguhnya ‘berbeda’ dengan Tuhan Kristen yang diajarkan oleh para misionaris ini. Dan orang-orang Eropa atau Barat (para misionaris) dianggap tak mengenal kultur Jepang (Timur). Inoe dengan cerdas memanfaatkan konflik religius (Katolik dan Protestan) antara Spanyol, Inggris, Portugis dan Belanda pada zaman itu. Pada zaman kristianitas dilarang keras di Jepang, dan para penganutnya dikejar-kejar, dipaksa menjadi murtad, dan dibunuh, bukan hal mudah bagi para pastor, termasuk Rodrigues bertahan hidup. Rodrigues akhirnya tertangkap karena pengkhianatan seorang Kristen bernama Kichijiro, persis seperti Yudas yang mengkhianati Yesus dalam Alkitab.

Rodrigues, yang memimpikan bahwa tugasnya sebagai pastor di Jepang adalah juga melindungi dan mengorbankan dirinya untuk para petani miskin – penganut Kristen, justru merasa tak berdaya ketika yang terjadi adalah para petani miskin itu harus mengalami siksaan mengorbankan dirinya hingga Rodrigues – sang pastor – bersedia mengingkari imannya. Disaat-saat menyedihkan, terpojok, serta membuat letih jiwa-raga, Rodrigues mulai mempertanyakan Tuhan yang selama ini dianggapnya sumber kasih. Rodrigues, dengan mata kepalanya sendiri, menyaksikan dua orang penduduk Kristen ditangkap, dipaksa menginjak fumie, diikat pada tiang di tepi pantai, di tengah guyuran hujan dan pasang naik air laut, hingga mati lemas. Rodrigues yang tak berhenti berdoa, melihat kebungkaman Tuhan hingga ia akhirnya bergumul dengan pilihan sulit yang dihamparkan padanya. Bagi para penganut Kristen yang tumbuh dalam kenyamanan serta bebas dari tekanan - seperti yang dialami Ferreira dan Rodrigues – mungkin akan berkata bahwa mereka berdua ‘kurang iman’ dan memberi label ‘Paulus murtad’. Semudah itukah?
Pada bab-bab terakhir, Shusaku Endo, sang penulis, dengan sangat tajam menyuguhkan detil-detil masalah keimanan dan Tuhan, dosa dan pegngkhianatan, mati sebagai martir dan pengingkaran iman.

Rabu, 10 Maret 2010

Save By The Bell: After Dulmatin...What Next?


Pasca tewasnya Noordin M. Top - dalam penyergapan di Dukuh Beji, desa Kedu, Kab. Temanggung, Jawa Tengah - berita tentang penyergapan pelaku teroris yang tengah menjadi buronan berbagai negara kembali mencuat. Siapa tokohnya? Dialah Dulmatin, orang yang menurut Kapolri adalah otak dari peristiwa Bom Bunuh diri di Bali (Bom Bali I) tahun 2002.
Dulmatin akhirnya tewas dalam proses penyergapan Densus 88 di sebuah warnet di wilayah Pamulang, Tangerang Selatan.
Sebuah 'prestasi' bagi pihak kepolisian di negeri ini. Namun, jika saja kita sejenak menarik ingatan kita ke belakang (flash back), ternyata seperti ada kesamaan pola, dalam kedua moment penggerebekan teroris. Ya, antara penggerebekan Noordin M. Top dengan Dulmatin.
Pola yang bisa kita lihat adalah waktu (timming) dimana penggerebekan itu dilakukan (baca: terjadi).
Entah sebuah kebetulan atau tidak, tapi keduanya muncul di tengah hiruk pikuk kasus besar.
Dalam catatan kita, penggerebekan Noordin M. Top (September 2009) terjadi di tengah hiruk pikuk kasus Antasari Azhar, 'Cicak vs Buaya' dan Skandal Bail Out Bank Century. Lalu POLRI 'terselamatkan' dengan moment tewasnya Noordin M. Top.
Dan saat ini, POLRI kembali mengukir prestasi dimoment yang boleh dibilang tepat. Disaat polemik Bank Century sedang berada di puncaknya. Apakah ini hanya kebetulan, semacam 'save by the bell' bagi pihak-pihak tertentu? Atau memang semuanya sudah direncanakan sedemikian rupa dan rapih?
Kita tidak tahu. Tapi ada tiga hal yang patut kita pertanyakan terkait 'prestasi' POLRI dalam hal penggerebekan teroris:

1. Mengapa para pelaku teroris tersebut - khususnya yang dianggap sebagai gembong atau tokoh penting - tidak diupayakan untuk ditangkap hidup-hidup? Apakah POLRI tak memiliki penembak jitu (sniper)? Tidakkah dengan tertangkapnya mereka dalam kondisi hidup, akan memudahkan POLRI mengungkap jejaring teroris lainnya yang ada di Indonesia?

Terkait dengan pertanyaan di atas...

2. Jika para tokoh penting tersebut disepakati harus ditembak mati, lalu dari mana POLRI meyakini jejaring terorisme yang ada di Indonesia, beserta para kaki-tangannya? Okelah ada badan intelejen, tapi tidakkah itu berarti bahwa POLRI sebenarnya sudah tahu lebih dulu?

Atau...

3. Apakah ini hanya sebuah upaya 'menyelamatkan muka' pemerintah Indonesia di mata dunia, dalam hal ini terkait dengan AS (Obama) dan dialog politik dengan Australia?

Jawabannya: Bisa ya, bisa tidak. Tapi kemungkinan akan keterkaitan dari ketiganya bisa saja mungkin.
Lalu setelah tewasnya Dulmatin, isu apalagi yang akan menyeruak menjadi berita sehari-hari dan akan 'menguasai' telinga dan pikiran masyarakat kita? What next?

Senin, 08 Maret 2010

ANAK KOST vs ANAK RUMAHAN?

“Nasib anak kost…”, begitulah judul sebuah lagu parodi lawas yang diadaptasi dari sebuah lagu luar negeri. Liriknya terasa ‘nendang’ alias mewakili apa yang selalu dialami sebagian besar anak kost saat lagu itu populer. Pada kenyataannya isu seputar apa yang dialami oleh anak kost tak hanya diangkat dalam obrolan-obrolan antar sesama anak kost saja. Dalam ruang diskusi dan ceramah-ceramah ibadat keagamaan pun ‘anak kost’ menjadi bagian di dalamnya.

Namun sayangnya, yang diangkat hanya seputar kiriman uang dari orang tua dan pola makan (mie instan). Padahal, ada beragam perspektif yang bisa dicermati dari ‘nasib anak kost’. Bahkan menjadi bahan pembelajaran bagi para orang tua, anak kost, anak rumahan, institusi pendidikan, juga masyarakat. Tentu saja, anak kost sekitar abad ke-20 akan berbeda dengan anak kost abad ke-21. Entah dari sisi anggaran, tempat kost dan fasilitasnya, sosio-kultur lingkungan (trend and life style), perkembangan teknologi, maupun kebijakan-kebijakan pemilik kost, institusi pendidikan, serta pemerintahan setempat yang harus dipatuhi oleh anak kost dan juga pemilik kost. Memangnya kenapa dengan anak kost? Apakah ada perbedaan dasar dengan non anak kost alias anak rumahan?

Jika kita membandingkan kehidupan anak kost dengan anak rumahan sebenarnya ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Anak kost memiliki kecenderungan untuk menjadi mandiri. Hal ini disebabkan keterpisahan dirinya dengan keluarga (orang tua), sehingga suka-tidak suka, mereka harus mencari cara, dalam arti kreatif, bagaimana menghadapi berbagai tantangan serta persoalan yang ada seorang diri. Tentu saja, mereka memiliki ‘keluarga baru’ seperti rekan-rekan satu kost, teman kuliah atau orang-orang yang akrab dengan mereka (pacar, dsb.) Keluarga baru inilah yang biasanya menjadi tempat sharing mereka, walhasil mereka pun ‘belajar’ memecahkan persoalan dengan cara mereka sendiri.

Namun tak semua anak kost berhasil menjadi mandiri, karena pola asuh dan pola didik orang tua atau lingkungan asal mereka yang kelewat memanjakan sehingga mereka cenderung menjadi ketergantungan pada keluarga dan mengandalkan orang lain. Kelompok ini biasanya membawa kebiasaan-kebiasaan dari tempat asal mereka dan kurang bisa beradaptasi. Kecenderungan yang muncul antara lain: malas bersih-bersih, pakaian kotor yang menumpuk, bergaya nge-bos (maunya dihargai tapi tak mau menghargai orang lain), bahkan naif dalam praktik keberagamaannya.


Sisi lain dari ‘nasib anak kost’ adalah pola makan yang kurang terjaga. Ini biasanya menjadi tragedi manakala mereka berada pada fase kesibukan dengan tugas kuliah atau masa-masa tugas akhir. Umumnya makanan anak kost cenderung dikaitkan dengan mie instant, yang memang dalam soal kecukupan gizi tak memadai bahkan tak layak untuk dikonsumsi para mahasiswa yang notabene adalah generasi penerus bangsa ini. Risiko mengalami buruknya kesehatan diri pun menjadi taruhan dalam kehidupan mereka. Apalagi jika pasokan uang dari orang tua tersendat, maka lengkaplah penderitaan mereka.

Meski demikian, jika kita memantau kondisi anak kost zaman ini akan jauh berbeda. Dulu, dalam ruang kost-kostan mereka yang kecil, hanya ada meja belajar, lemari pakaian, tumpukan buku dan berkas fotocopy, radio kaset serta beberapa album kaset favorit, dan sebuah ranjang tidur, itupun sangat sederhana. Orang tua mereka pun membekali uang saku secukupnya dan mengirimkan uang kuliah dan biaya hidup melalui wesel yang kadang terlambat karena kesulitan ekonomi. Dan bekal paling berharga bagi mereka adalah doa yang tak putus-putusnya agar si anak berhasil menyelesaikan studinya dengan memuaskan serta menjadi kebanggan keluarga.

Kini semuanya berubah dalam sebuah ruang agak luas yang lumayan harga sewanya, bisa kita dapati seperangkat PC/laptop/netbook beserta koneksi internetnya, tumpukan compact disc (CD/VCD/DVD), hand phone, dispenser, TV, portable player, dalam merek dan model yang up-date. Pola konsumsinya pun gaya American Style alias fast food. Dan tak tanggung-tanggung, si orang tua membekali mereka tak hanya dengan transfer uang sesuai permintaan via ATM, jika perlu memiliki credit card pribadi, juga sebuah mobil baru dengan alasan supaya tak kepanasan dan kehujanan. Nyaris seperti para anggota DPR di negeri ini yang serba difasilitasi, meski kinerjanya dipertanyakan. Tipe anak kost seperti ini tak beda jauh dengan perilaku anak rumahan. Tak sedikit juga anak rumahan yang mandiri, hidup sederhana, serta lulus beradaptasi dengan lingkungan dan mampu menghadapi situasi sulit.

Jadi, masalahnya bukan apakah dia anak kost atau rumahan, melainkan bagaimana pola asuh dan pola didik serta sosio-kultur lingkungan yang membentuk karakter mereka. Itu yang penting menjadi perhatian para orang tua, masyarakat serta pemerintah. Semoga.

Telah dimuat di FOKAL INFO Edisi X

Senin, 22 Februari 2010

NABI JUGA MANUSIA


“Jiwa manusia, seperti halnya sungai dan tanaman, juga membutuhkan hujan,
meski dari jenis berbeda: harapan, keyakinan, alasan untuk hidup.”


Ciri khas dari novel-novel karya Paulo Coelho adalah keberadaan ayat-ayat Alkitab. Bukan sekali ini saja, Coelho mengutip ayat-ayat Alkitab dalam karyanya, entah pada pembukaan, penutup, maupun dalam rangkaian kisahnya. Dibeberapa karyanya seperti The Alchemist (Sang Alkemis), The Witch of Portobello (Sang Penyihir dari Potobello), atau The Devil and Miss Prym (Iblis dan Miss Prym), Coelho juga membubuhinya dengan ‘pas’ dalam alur cerita. Tidak kurang dan tidak lebih.

The Fifth Mountain (Gunung Kelima), novel karya Coelho, diadopsi dari kisah perjalanan seorang nabi berkebangsaan Israel bernama Elia, orang Tisbe-Gilead - yang tercatat dalam kitab Raja-Raja, bagian dari Kitab Perjanjian Lama (Old Testament). Paulo Coelho membuka karyanya ini - mungkin bagian inilah yang menjadi inspirasi tulisannya - dengan mengutip Injil Kristus versi Lukas pasal 4, ayat 24-26:

Dan kata-Nya lagi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri. Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon.

Dikisahkan pada masa pemerintahan raja Israel bernama Ahab, seorang nabi muda, berusia 23 tahun bernama Elia, yang juga tukang kayu, harus menyingkir dari wilayah Israel karena nyawanya terancam. Tidak ada pilihan bagi Elia, bahwa ia harus dibunuh. Peristiwa ini berawal ketika Tuhan memerintahkan Elia mengingatkan sekaligus menyampaikan teguran Tuhan kepada raja Ahab, bahwa akan ada kekeringan melanda seluruh negeri jika semua bangsa tidak berhenti menyembah dewa-dewa Fenisia. Izebel, perempuan cantik dari Lebanon yang mendampingi raja Ahab, menghasut sang raja bahwa para nabi adalah ancaman bagi perkembangan dan perluasan kerajaan Israel. Izebel bukanlah perempuan sembarangan, ia berhasil ‘menundukkan’ sang raja sehingga Allah Israel diganti dengan para dewa Lebanon. Izebel seorang pemuja Baal.
Dalam situasi demikian, Tuhan memerintahkan Elia untuk menyingkir ke tepi Sungai Kerit, di sebelah timur Sungai Yordan. Elia berstatus sebagai seorang pelarian. Dan celakanya, ia kesulitan mendapatkan makanan, sementara air sungai itu pun tengah mengering. Namun Tuhan memakai burung gagak yang membawakan potongan makanan kepada Elia. Lalu Elia diminta Tuhan untuk pergi ke sebuah kota bernama Sarfat di wilayah Sidon. Tak hanya itu, ia juga diminta menemui seorang janda yang tinggal bersama anaknya disana. Seorang janda…di Sarfat? Oh…tidak, bukankah ia adalah bagian dari masyarakat penyembah dewa-dewa Fenisia? Tidakkah Tuhan tahu dan hal ini berakibat resistensi terhadap kehadiran dirinya? Dan begitu banyak pertanyaan lain berkecamuk dalam benak Elia.

Dalam usianya yang masih muda, wajar jika Elia memimpikan masa depan yang indah, diantaranya: memperistri seorang perempuan cantik semodel Izebel. Oh, Elia berupaya tak menggubris perasaannya itu. Namun ketika dalam pelariannya di Sarfat, ia jatuh cinta pada perempuan yang janda itu. Perasaan itu baginya adalah hal yang tak pantas dan mengganggu hubungannya dengan Tuhan. Tetapi dalam keinginannya menyingkirkan perasaan itu, ucapan sang malaikat pun membuatnya harus bergumul:

“Tuhan mendengarkan doa-doa orang-orang yang minta dijauhkan dari kebencian. Tapi dia menulikan diri dari orang-orang yang hendak melarikan diri dari cinta.”


Dan pergumulanpun dimulai. Elia sama sekali tak meragukan eksistensi Tuhan, namun eksistensi dirinyalah yang menjadi taruhan. Elia senantiasa merasa berdiri dipersimpangan jalan. Ia harus memilih. Dan karena itulah ia menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai manusia. Itulah kelebihan manusia, keberanian untuk memilih. Ada begitu banyak hal yang tak ia mengerti menjadi pertanyaan yang muncul, namun tak lekas terjawab. Itu kadang membuat dirinya meragukan kebijakan Tuhan. Kegundahan, kegusaran, kegelisahan dan keragu-raguan seperti: Mengapa harus aku? Mengapa ini terjadi? Mengapa tidak orang lain saja yang lebih kuat, lebih baik dariku yang dipilih Tuhan? Kapan Tuhan? Dan sesekali kita seolah sengaja ditempatkan oleh Tuhan dalam posisi dilematis. Uugh...posisi yang membutuhkan hikmat dalam mengambil keputusan sekaligus memilih. Itu semua juga dialami seorang nabi. Pertanyaan-pertanyaan yang terkesan seolah meragukan eksistensi Tuhan itu pun menjadi bagian dari kehidupan kita. Bukan hal yang baru dan asing, tapi jauh sebelumnya, bahkan para nabi pun begitu manusiawi.

Sisi lain dari kisah ini adalah betapa tak terduganya dan melampaui akal manusia, apa-apa yang menjadi rencana dan rancangan Sang Pencipta, kepada siapa pun yang dipilihNya untuk menjalankan misi dalam kehidupannya. Tuhan tak selalu mengajak kita pada kelokan-kelokan yang halus dan mulus, namun sesekali Ia menunjukkan pada kita betapa tajam dan kasarnya kelokan-kelokan kehidupan dihadapan kita. Dan lebih sering kita bisa memetik pelajaran berharga dari yang demikian.
Seperti Elia, sang nabi itu, kita lebih banyak berdiri dipersimpangan jalan. Kita harus memilih, meneruskan perjalanan hidup dalam harapan dan iman atau kita diam ditempat dalam kekosongan dan mati tanpa berdaya guna apa-apa. Ya, mungkin disanalah keterbatasan kita – secerdas dan sehebat apapun manusia – tak sanggup melihat sedetikpun apa yang pasti akan terjadi pada dirinya. Seperti apa yang dikatakan oleh malaikat dalam novel ini, bahwa: “Untuk segala sesuatu di bawah matahari ada alasannya.”

“Alasan apa?” Begitulah mungkin, kita menanyakannya dalam ekspresi yang berbeda. Entah dalam bentuk tangis, duka, tertawa, marah, diam, ragu, cinta, ketakpedulian, atau mungkin fanatisme dan fatalistik.

“Pertanyaan itu tidak bisa kita jawab sebelum, atau bahkan selama kita mengalami cobaan-cobaan itu. Setelah berhasil mengatasinya, barulah kita mengerti, mengapa kita diberi cobaan-cobaan tersebut.”
Ya, mungkin itu yang dimaksud dengan beriman. Toh jika kita sudah lebih dulu tahu maksudnya, kecenderungannya adalah kita tak bisa merasakan nilai spiritualitasnya. Kita anggap sebagai rutinitas yang remeh-temeh semata.

Misteri? Ya, itulah bagian dimana Tuhan menguasainya. Melampaui segala akal manusia, tetapi bukan berarti Tuhan tak mau membagi apa maksudNya kepada manusia. Setidaknya, dari karya Coelho yang satu ini, kita diingatkan bahwa...."Hai, nabi juga manusia". Tidak perlu didewa-dewakan amat, merasa malu, tersinggung dan ditutup-tutupi jika dalam diri seorang nabi ada cacat celanya. Tengoklah nabi-nabi selain Elia seperti Daud, Salomo (Sulaiman), Abraham (Ibrahim), Nuh, Musa, dan sebagainya. Semua punya titik lemah dan sangat manusiawi.

Senin, 15 Februari 2010

DICULIK LEWAT FACEBOOK?!



Di tengah maraknya berita penanganan kasus Bank Century atau Century Gate serta persidangan Antasari CS, marak juga berita tentang berita kehilangan anak usia belia hingga yang sudah kuliah. Beberapa peristiwa ‘hilang’ ini uniknya dialami oleh kaum perempuan. Dan lebih anehnya judul berita seolah memojokkan sebuah jejaring sosial tertentu, yaitu Facebook.
Berita itu antara lain:
'Penculik Kenalan dengan Korbannya Melalui Facebook'

'Trauma Korban Penculikan Via Facebook; Histeris Kala Ingat Kejadian'

'Pelaku Perkosaan di Makasasr Mahir Merayu Wanita'

Istilah ‘diculik lewat Facebook’ saya pikir terlalu berlebihan. Bagaimana bisa Facebook melakukan penculikan? Bagaimana mungkin seorang mahasiswi dengan mudah ‘diculik’ oleh seseorang?
Bahkan dibeberapa kesmpatan muncul wacana semacam ‘mengharamkan’ penggunaan Facebook. Memang, ini jadi fenomena menarik bagi kita di tengah kehadiran jejaring sosial tersebut. Apakah benar Facebook-lah yang menjadi biang keladi kasus penculikan seperti yang marak diberitakan? Atau ada agenda lain yang tersembunyi untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap hal-hal lebih urgent? Jika tidak, apakah judul yang dibuat hanya untuk menyedot perhatian para pembaca semata?

Pada harian Tribun Jabar, 13 Februari 2010, justru judulnya lain: “Kiki Ditemukan Lewat Facebook”. Kiki (18), siswi SMK ICB kelas dua, yang dikabarkan hilang diculik sejak sebulan silam, telah kembali. Ternyata Kiki menghilang ketika ia ke Jakarta untuk menemui saudaranya namun tersesat (alamatnya salah dan tidak bisa dihubungi lewat telepon). Dan tidak hanya itu, Kiki ternyata kabur karena ada masalah uang yang belum dibayar ke sekolah. Proses ditemukannya Kiki, karena ia menulis pesan lewat Facebook.

Saya pikir, media pun harus cerdas dalam mencerdaskan masyarakat. Tidak serta merta memuat berita yang menggiring opini masyarakat menjadi negatif, terhadap jejaring sosial semodel Facebook. Saya akui bahwa ada juga para pengguna jejaring sosial ini yang memanfaatkan untuk pelampiasan emosional semata, serta hal-hal negatif lainnya.
Ditemukannya Kiki seperti cerita di atas, hanyalah satu dari banyak hal positif yang bisa digunakan pengguna Facebook. Saya sendiri bisa terhubung lagi dengan rekan-rekan sewaktu SD, SMP dan SMU lewat Facebook. Bahkan membuat rencana reuni, mengundang untuk hadir dalam sebuah acara diskusi/seminar, serta ada juga yang membuat kerjasama usaha antar teman lewat Facebook. Positif bukan?
Saya yakin, bagi si pembuat Facebook, Mark Elliot Zuckerberg, ia bertujuan baik. Facebook hanyalah alat (tool). Dan patut kita sadari serta akui, bahwa Facebook juga seperti dua sisi mata uang, tergantung niat si pemakai, mau digunakan pada hal negatif atau positif. Jadi, tugas kita bersama sebagai masyarakat pengguna teknologi lah yang harus lebih bijak dan cerdas dalam menggunakan teknologi tersebut.



14 Feb 2010
Dommy Waas

Huff...Valentine Day's Effect ?!

Tulisan ini terinspirasi dengan maraknya 'penolakan' terhadap perayaan hari Valentine di beberapa tempat di Indonesia. Gaung penolakan itu kian terdengar kencang sejak pecahnya moment reformasi 1998. Dulu adem-ayem saja.
Tapi seiring waktu, dan munculnya kelompok-kelompok berbasis agama tertentu yang menganggap bahwa segala hal yang berasal dari barat seolah haram dan tidak compatible dengan kultur serta ajaran agama di Indonesia, maka harus ditolak.
Lahirnya pelarangan atau penolakan terhadap perayaan hari Valentine bukan tanpa alasan. Selain alasan yang ekstrim seperti diatas, juga memang ada alasan-alasan logis yang bisa kita cerna.

Pertama, masyarakat kita - terutama kaum muda - tidak semuanya mengerti dan paham apa itu sesungguhnya hari Valentine itu dan bagaimana sebaiknya mengekspresikannya. Masyarakat kita dalam kondisi labil, apalagi kaum muda yang secara psikologis masih mudah dipengaruhi dan cenderung minta disuapi.

Kedua, moment ini dimanfaatkan dengan baik oleh para pebisnis, baik lokal maupun internasional. Semua hal dikaitkan dengan Valentine day dan bisa menghasilkan uang. Apalagi ini setahun sekali.

Ketiga, khusus di Indonesia, moment ini juga 'dimanfaatkan' oleh pihak-pihak atau kelompok berbasis keagamaan untuk mencari massa guna menimbulkan kesan bahwa mereka didukung oleh banyak pihak.
Contohnya berita "Pelajar Semarang Tolak Valentine", dikatakan bahwa moment ini jauh dari budaya nusantara dan ajaran Islam.

Pernyataan seperti itu menafikan kenyataan bahwa kasih sayang adalah bagian dari tumbuh kembang peradaban manusia di mana pun keberadaannya. Kasih sayang meruntuhkan batas-batas yang mengerdilkan kemanusiaan. Bahkan kasih sayang itu compatible dengan agama Islam - juga agama-agama lainnya di dunia. Jika yang dimaksud dengan kata 'jauh' itu adalah perayaan yang sifatnya hura-hura dan cenderung konsumtif, sebaiknya diperjelas, sehingga masyarakat pun dididik untuk bisa memilah sebuah pernyataan atau statement dengan baik dan benar. Bukan karena label agama semata, namun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan logis yang sebenarnya bisa kita lakukan.
Menurut saya, merayakan moment Valentine day ini bisa diekspresikan dengan banyak cara positif.
Bahwa kemungkinan adanya hal-hal negatif yang dilakukan, itu kembali kepada manusianya sendiri.

Mari kita ajak, ingatkan dan didik masyarakat serta generasi muda kita dengan cara yang benar, tidak sekedar memberi label moment ini 'barat', 'produk Yahudi', 'haram', 'sesat', dsb.
Agama itu adalah rambu-rambu lalu lintas kehidupan kita.
Membangung kesadaran masyarakat/umat akan konsekuensi melanggar rambu-rambu yang ada itulah yang harusnya menjadi tanggungjawab kita bersama, terutama institusi keagamaan.
Umat tidak akan menjadi dewasa dalam keberagamaannya ketika agama hanya menjadi rujukan undang-undang guna memberi hukuman semata, tanpa adanya pencerahan logis kepada mereka.
Jadi...agama untuk manusia dan bukan manusia untuk agama
Valentine day untuk manusia dan bukan manusia untuk Valentine day.


Selamat merayakan hari Valentine dengan hal-hal positif dan membangun kehidupan bagi yang merayakannya.



Bandung, 12 Feb 2010
Dommy Waas

Sabtu, 23 Januari 2010

Diskusi Buku: "HOT, FLAT & CROWDED" (Thomas L. Friedman), 8 FEB 2010



Bumi menjadi Panas (Hot) karena kemajuan teknologi yang telah mempercepat laju peningkatan emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfer yang menghambat pelepasan hawa panas dari bumi ke ruang angkasa.

Bumu menjadi Rata (Flat) karena kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi memungkinkan siapa pun, di mana pun, dapat saling berhubungan dan saling bersaing dalam segala hal dengan mudah sehingga seolah-olah bumi seperti berada di atas sebuah pinggan yang datar.

Bumu menjadi Penuh Sesak (Crowded) karena penduduk yang makin banyak, akibat keberhasilan upaya menekan angka kematian, dan industrialisasi, bertumpuk di kawasan perkotaan dan sekitarnya tanpa upaya yang seimbang dalam pembenahan sarana dan prasarana.

Adakah yang bisa kita lakukan agar dunia tetap menjadi tempat di mana burung bisa terbang dan menyanyi, tempat kita bisa menghirup udara yang bersih, tempat kita tidak takut tenggelam atau takut mengalami kekeringan yang membakar, tempat kita bisa membangun keluarga yang berkecukupan?

GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA
bekerjasama dengan
MAJELIS JEMAAT GKI JL. MAULANA YUSUP 20 BANDUNG
mempersembahkan:

DISKUSI BUKU
"HOT, FLAT and CROWDED"
(Thomas L. Friedman)

Nara Sumber:
1. M. Ridwan Kamil (Principal, Senior Architect, Senior Urban Designer)
2. Budiarto Zhambazy (wartawan senior Kompas)

Waktu:
Senin, 8 FEBRUARI 2010
pukul 18.00 WIB

Tempat:
GSG Ruang A-C
GKI Jl. Maulana Yusup 20 Bandung

informasi/pendaftaran:
Sekretariat GKI Jl. Maulana Yusup 20 Bandung
(022 4265130) atau
SMS 081320082544 - 0818217797

GRATIS & Terbuka untuk umum.
+ Doorprize berupa buku-buku (Gramedia) dan film-film (Jive colection)



Salam,
MJ Bid. Pembinaan GKI MY / MYCinema

Dommy Waas
(Sekretaris)

Pengikut