Rabu, 10 Maret 2010

Save By The Bell: After Dulmatin...What Next?


Pasca tewasnya Noordin M. Top - dalam penyergapan di Dukuh Beji, desa Kedu, Kab. Temanggung, Jawa Tengah - berita tentang penyergapan pelaku teroris yang tengah menjadi buronan berbagai negara kembali mencuat. Siapa tokohnya? Dialah Dulmatin, orang yang menurut Kapolri adalah otak dari peristiwa Bom Bunuh diri di Bali (Bom Bali I) tahun 2002.
Dulmatin akhirnya tewas dalam proses penyergapan Densus 88 di sebuah warnet di wilayah Pamulang, Tangerang Selatan.
Sebuah 'prestasi' bagi pihak kepolisian di negeri ini. Namun, jika saja kita sejenak menarik ingatan kita ke belakang (flash back), ternyata seperti ada kesamaan pola, dalam kedua moment penggerebekan teroris. Ya, antara penggerebekan Noordin M. Top dengan Dulmatin.
Pola yang bisa kita lihat adalah waktu (timming) dimana penggerebekan itu dilakukan (baca: terjadi).
Entah sebuah kebetulan atau tidak, tapi keduanya muncul di tengah hiruk pikuk kasus besar.
Dalam catatan kita, penggerebekan Noordin M. Top (September 2009) terjadi di tengah hiruk pikuk kasus Antasari Azhar, 'Cicak vs Buaya' dan Skandal Bail Out Bank Century. Lalu POLRI 'terselamatkan' dengan moment tewasnya Noordin M. Top.
Dan saat ini, POLRI kembali mengukir prestasi dimoment yang boleh dibilang tepat. Disaat polemik Bank Century sedang berada di puncaknya. Apakah ini hanya kebetulan, semacam 'save by the bell' bagi pihak-pihak tertentu? Atau memang semuanya sudah direncanakan sedemikian rupa dan rapih?
Kita tidak tahu. Tapi ada tiga hal yang patut kita pertanyakan terkait 'prestasi' POLRI dalam hal penggerebekan teroris:

1. Mengapa para pelaku teroris tersebut - khususnya yang dianggap sebagai gembong atau tokoh penting - tidak diupayakan untuk ditangkap hidup-hidup? Apakah POLRI tak memiliki penembak jitu (sniper)? Tidakkah dengan tertangkapnya mereka dalam kondisi hidup, akan memudahkan POLRI mengungkap jejaring teroris lainnya yang ada di Indonesia?

Terkait dengan pertanyaan di atas...

2. Jika para tokoh penting tersebut disepakati harus ditembak mati, lalu dari mana POLRI meyakini jejaring terorisme yang ada di Indonesia, beserta para kaki-tangannya? Okelah ada badan intelejen, tapi tidakkah itu berarti bahwa POLRI sebenarnya sudah tahu lebih dulu?

Atau...

3. Apakah ini hanya sebuah upaya 'menyelamatkan muka' pemerintah Indonesia di mata dunia, dalam hal ini terkait dengan AS (Obama) dan dialog politik dengan Australia?

Jawabannya: Bisa ya, bisa tidak. Tapi kemungkinan akan keterkaitan dari ketiganya bisa saja mungkin.
Lalu setelah tewasnya Dulmatin, isu apalagi yang akan menyeruak menjadi berita sehari-hari dan akan 'menguasai' telinga dan pikiran masyarakat kita? What next?

Senin, 08 Maret 2010

ANAK KOST vs ANAK RUMAHAN?

“Nasib anak kost…”, begitulah judul sebuah lagu parodi lawas yang diadaptasi dari sebuah lagu luar negeri. Liriknya terasa ‘nendang’ alias mewakili apa yang selalu dialami sebagian besar anak kost saat lagu itu populer. Pada kenyataannya isu seputar apa yang dialami oleh anak kost tak hanya diangkat dalam obrolan-obrolan antar sesama anak kost saja. Dalam ruang diskusi dan ceramah-ceramah ibadat keagamaan pun ‘anak kost’ menjadi bagian di dalamnya.

Namun sayangnya, yang diangkat hanya seputar kiriman uang dari orang tua dan pola makan (mie instan). Padahal, ada beragam perspektif yang bisa dicermati dari ‘nasib anak kost’. Bahkan menjadi bahan pembelajaran bagi para orang tua, anak kost, anak rumahan, institusi pendidikan, juga masyarakat. Tentu saja, anak kost sekitar abad ke-20 akan berbeda dengan anak kost abad ke-21. Entah dari sisi anggaran, tempat kost dan fasilitasnya, sosio-kultur lingkungan (trend and life style), perkembangan teknologi, maupun kebijakan-kebijakan pemilik kost, institusi pendidikan, serta pemerintahan setempat yang harus dipatuhi oleh anak kost dan juga pemilik kost. Memangnya kenapa dengan anak kost? Apakah ada perbedaan dasar dengan non anak kost alias anak rumahan?

Jika kita membandingkan kehidupan anak kost dengan anak rumahan sebenarnya ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Anak kost memiliki kecenderungan untuk menjadi mandiri. Hal ini disebabkan keterpisahan dirinya dengan keluarga (orang tua), sehingga suka-tidak suka, mereka harus mencari cara, dalam arti kreatif, bagaimana menghadapi berbagai tantangan serta persoalan yang ada seorang diri. Tentu saja, mereka memiliki ‘keluarga baru’ seperti rekan-rekan satu kost, teman kuliah atau orang-orang yang akrab dengan mereka (pacar, dsb.) Keluarga baru inilah yang biasanya menjadi tempat sharing mereka, walhasil mereka pun ‘belajar’ memecahkan persoalan dengan cara mereka sendiri.

Namun tak semua anak kost berhasil menjadi mandiri, karena pola asuh dan pola didik orang tua atau lingkungan asal mereka yang kelewat memanjakan sehingga mereka cenderung menjadi ketergantungan pada keluarga dan mengandalkan orang lain. Kelompok ini biasanya membawa kebiasaan-kebiasaan dari tempat asal mereka dan kurang bisa beradaptasi. Kecenderungan yang muncul antara lain: malas bersih-bersih, pakaian kotor yang menumpuk, bergaya nge-bos (maunya dihargai tapi tak mau menghargai orang lain), bahkan naif dalam praktik keberagamaannya.


Sisi lain dari ‘nasib anak kost’ adalah pola makan yang kurang terjaga. Ini biasanya menjadi tragedi manakala mereka berada pada fase kesibukan dengan tugas kuliah atau masa-masa tugas akhir. Umumnya makanan anak kost cenderung dikaitkan dengan mie instant, yang memang dalam soal kecukupan gizi tak memadai bahkan tak layak untuk dikonsumsi para mahasiswa yang notabene adalah generasi penerus bangsa ini. Risiko mengalami buruknya kesehatan diri pun menjadi taruhan dalam kehidupan mereka. Apalagi jika pasokan uang dari orang tua tersendat, maka lengkaplah penderitaan mereka.

Meski demikian, jika kita memantau kondisi anak kost zaman ini akan jauh berbeda. Dulu, dalam ruang kost-kostan mereka yang kecil, hanya ada meja belajar, lemari pakaian, tumpukan buku dan berkas fotocopy, radio kaset serta beberapa album kaset favorit, dan sebuah ranjang tidur, itupun sangat sederhana. Orang tua mereka pun membekali uang saku secukupnya dan mengirimkan uang kuliah dan biaya hidup melalui wesel yang kadang terlambat karena kesulitan ekonomi. Dan bekal paling berharga bagi mereka adalah doa yang tak putus-putusnya agar si anak berhasil menyelesaikan studinya dengan memuaskan serta menjadi kebanggan keluarga.

Kini semuanya berubah dalam sebuah ruang agak luas yang lumayan harga sewanya, bisa kita dapati seperangkat PC/laptop/netbook beserta koneksi internetnya, tumpukan compact disc (CD/VCD/DVD), hand phone, dispenser, TV, portable player, dalam merek dan model yang up-date. Pola konsumsinya pun gaya American Style alias fast food. Dan tak tanggung-tanggung, si orang tua membekali mereka tak hanya dengan transfer uang sesuai permintaan via ATM, jika perlu memiliki credit card pribadi, juga sebuah mobil baru dengan alasan supaya tak kepanasan dan kehujanan. Nyaris seperti para anggota DPR di negeri ini yang serba difasilitasi, meski kinerjanya dipertanyakan. Tipe anak kost seperti ini tak beda jauh dengan perilaku anak rumahan. Tak sedikit juga anak rumahan yang mandiri, hidup sederhana, serta lulus beradaptasi dengan lingkungan dan mampu menghadapi situasi sulit.

Jadi, masalahnya bukan apakah dia anak kost atau rumahan, melainkan bagaimana pola asuh dan pola didik serta sosio-kultur lingkungan yang membentuk karakter mereka. Itu yang penting menjadi perhatian para orang tua, masyarakat serta pemerintah. Semoga.

Telah dimuat di FOKAL INFO Edisi X

Pengikut