Senin, 22 Februari 2010

NABI JUGA MANUSIA


“Jiwa manusia, seperti halnya sungai dan tanaman, juga membutuhkan hujan,
meski dari jenis berbeda: harapan, keyakinan, alasan untuk hidup.”


Ciri khas dari novel-novel karya Paulo Coelho adalah keberadaan ayat-ayat Alkitab. Bukan sekali ini saja, Coelho mengutip ayat-ayat Alkitab dalam karyanya, entah pada pembukaan, penutup, maupun dalam rangkaian kisahnya. Dibeberapa karyanya seperti The Alchemist (Sang Alkemis), The Witch of Portobello (Sang Penyihir dari Potobello), atau The Devil and Miss Prym (Iblis dan Miss Prym), Coelho juga membubuhinya dengan ‘pas’ dalam alur cerita. Tidak kurang dan tidak lebih.

The Fifth Mountain (Gunung Kelima), novel karya Coelho, diadopsi dari kisah perjalanan seorang nabi berkebangsaan Israel bernama Elia, orang Tisbe-Gilead - yang tercatat dalam kitab Raja-Raja, bagian dari Kitab Perjanjian Lama (Old Testament). Paulo Coelho membuka karyanya ini - mungkin bagian inilah yang menjadi inspirasi tulisannya - dengan mengutip Injil Kristus versi Lukas pasal 4, ayat 24-26:

Dan kata-Nya lagi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri. Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon.

Dikisahkan pada masa pemerintahan raja Israel bernama Ahab, seorang nabi muda, berusia 23 tahun bernama Elia, yang juga tukang kayu, harus menyingkir dari wilayah Israel karena nyawanya terancam. Tidak ada pilihan bagi Elia, bahwa ia harus dibunuh. Peristiwa ini berawal ketika Tuhan memerintahkan Elia mengingatkan sekaligus menyampaikan teguran Tuhan kepada raja Ahab, bahwa akan ada kekeringan melanda seluruh negeri jika semua bangsa tidak berhenti menyembah dewa-dewa Fenisia. Izebel, perempuan cantik dari Lebanon yang mendampingi raja Ahab, menghasut sang raja bahwa para nabi adalah ancaman bagi perkembangan dan perluasan kerajaan Israel. Izebel bukanlah perempuan sembarangan, ia berhasil ‘menundukkan’ sang raja sehingga Allah Israel diganti dengan para dewa Lebanon. Izebel seorang pemuja Baal.
Dalam situasi demikian, Tuhan memerintahkan Elia untuk menyingkir ke tepi Sungai Kerit, di sebelah timur Sungai Yordan. Elia berstatus sebagai seorang pelarian. Dan celakanya, ia kesulitan mendapatkan makanan, sementara air sungai itu pun tengah mengering. Namun Tuhan memakai burung gagak yang membawakan potongan makanan kepada Elia. Lalu Elia diminta Tuhan untuk pergi ke sebuah kota bernama Sarfat di wilayah Sidon. Tak hanya itu, ia juga diminta menemui seorang janda yang tinggal bersama anaknya disana. Seorang janda…di Sarfat? Oh…tidak, bukankah ia adalah bagian dari masyarakat penyembah dewa-dewa Fenisia? Tidakkah Tuhan tahu dan hal ini berakibat resistensi terhadap kehadiran dirinya? Dan begitu banyak pertanyaan lain berkecamuk dalam benak Elia.

Dalam usianya yang masih muda, wajar jika Elia memimpikan masa depan yang indah, diantaranya: memperistri seorang perempuan cantik semodel Izebel. Oh, Elia berupaya tak menggubris perasaannya itu. Namun ketika dalam pelariannya di Sarfat, ia jatuh cinta pada perempuan yang janda itu. Perasaan itu baginya adalah hal yang tak pantas dan mengganggu hubungannya dengan Tuhan. Tetapi dalam keinginannya menyingkirkan perasaan itu, ucapan sang malaikat pun membuatnya harus bergumul:

“Tuhan mendengarkan doa-doa orang-orang yang minta dijauhkan dari kebencian. Tapi dia menulikan diri dari orang-orang yang hendak melarikan diri dari cinta.”


Dan pergumulanpun dimulai. Elia sama sekali tak meragukan eksistensi Tuhan, namun eksistensi dirinyalah yang menjadi taruhan. Elia senantiasa merasa berdiri dipersimpangan jalan. Ia harus memilih. Dan karena itulah ia menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai manusia. Itulah kelebihan manusia, keberanian untuk memilih. Ada begitu banyak hal yang tak ia mengerti menjadi pertanyaan yang muncul, namun tak lekas terjawab. Itu kadang membuat dirinya meragukan kebijakan Tuhan. Kegundahan, kegusaran, kegelisahan dan keragu-raguan seperti: Mengapa harus aku? Mengapa ini terjadi? Mengapa tidak orang lain saja yang lebih kuat, lebih baik dariku yang dipilih Tuhan? Kapan Tuhan? Dan sesekali kita seolah sengaja ditempatkan oleh Tuhan dalam posisi dilematis. Uugh...posisi yang membutuhkan hikmat dalam mengambil keputusan sekaligus memilih. Itu semua juga dialami seorang nabi. Pertanyaan-pertanyaan yang terkesan seolah meragukan eksistensi Tuhan itu pun menjadi bagian dari kehidupan kita. Bukan hal yang baru dan asing, tapi jauh sebelumnya, bahkan para nabi pun begitu manusiawi.

Sisi lain dari kisah ini adalah betapa tak terduganya dan melampaui akal manusia, apa-apa yang menjadi rencana dan rancangan Sang Pencipta, kepada siapa pun yang dipilihNya untuk menjalankan misi dalam kehidupannya. Tuhan tak selalu mengajak kita pada kelokan-kelokan yang halus dan mulus, namun sesekali Ia menunjukkan pada kita betapa tajam dan kasarnya kelokan-kelokan kehidupan dihadapan kita. Dan lebih sering kita bisa memetik pelajaran berharga dari yang demikian.
Seperti Elia, sang nabi itu, kita lebih banyak berdiri dipersimpangan jalan. Kita harus memilih, meneruskan perjalanan hidup dalam harapan dan iman atau kita diam ditempat dalam kekosongan dan mati tanpa berdaya guna apa-apa. Ya, mungkin disanalah keterbatasan kita – secerdas dan sehebat apapun manusia – tak sanggup melihat sedetikpun apa yang pasti akan terjadi pada dirinya. Seperti apa yang dikatakan oleh malaikat dalam novel ini, bahwa: “Untuk segala sesuatu di bawah matahari ada alasannya.”

“Alasan apa?” Begitulah mungkin, kita menanyakannya dalam ekspresi yang berbeda. Entah dalam bentuk tangis, duka, tertawa, marah, diam, ragu, cinta, ketakpedulian, atau mungkin fanatisme dan fatalistik.

“Pertanyaan itu tidak bisa kita jawab sebelum, atau bahkan selama kita mengalami cobaan-cobaan itu. Setelah berhasil mengatasinya, barulah kita mengerti, mengapa kita diberi cobaan-cobaan tersebut.”
Ya, mungkin itu yang dimaksud dengan beriman. Toh jika kita sudah lebih dulu tahu maksudnya, kecenderungannya adalah kita tak bisa merasakan nilai spiritualitasnya. Kita anggap sebagai rutinitas yang remeh-temeh semata.

Misteri? Ya, itulah bagian dimana Tuhan menguasainya. Melampaui segala akal manusia, tetapi bukan berarti Tuhan tak mau membagi apa maksudNya kepada manusia. Setidaknya, dari karya Coelho yang satu ini, kita diingatkan bahwa...."Hai, nabi juga manusia". Tidak perlu didewa-dewakan amat, merasa malu, tersinggung dan ditutup-tutupi jika dalam diri seorang nabi ada cacat celanya. Tengoklah nabi-nabi selain Elia seperti Daud, Salomo (Sulaiman), Abraham (Ibrahim), Nuh, Musa, dan sebagainya. Semua punya titik lemah dan sangat manusiawi.

Senin, 15 Februari 2010

DICULIK LEWAT FACEBOOK?!



Di tengah maraknya berita penanganan kasus Bank Century atau Century Gate serta persidangan Antasari CS, marak juga berita tentang berita kehilangan anak usia belia hingga yang sudah kuliah. Beberapa peristiwa ‘hilang’ ini uniknya dialami oleh kaum perempuan. Dan lebih anehnya judul berita seolah memojokkan sebuah jejaring sosial tertentu, yaitu Facebook.
Berita itu antara lain:
'Penculik Kenalan dengan Korbannya Melalui Facebook'

'Trauma Korban Penculikan Via Facebook; Histeris Kala Ingat Kejadian'

'Pelaku Perkosaan di Makasasr Mahir Merayu Wanita'

Istilah ‘diculik lewat Facebook’ saya pikir terlalu berlebihan. Bagaimana bisa Facebook melakukan penculikan? Bagaimana mungkin seorang mahasiswi dengan mudah ‘diculik’ oleh seseorang?
Bahkan dibeberapa kesmpatan muncul wacana semacam ‘mengharamkan’ penggunaan Facebook. Memang, ini jadi fenomena menarik bagi kita di tengah kehadiran jejaring sosial tersebut. Apakah benar Facebook-lah yang menjadi biang keladi kasus penculikan seperti yang marak diberitakan? Atau ada agenda lain yang tersembunyi untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap hal-hal lebih urgent? Jika tidak, apakah judul yang dibuat hanya untuk menyedot perhatian para pembaca semata?

Pada harian Tribun Jabar, 13 Februari 2010, justru judulnya lain: “Kiki Ditemukan Lewat Facebook”. Kiki (18), siswi SMK ICB kelas dua, yang dikabarkan hilang diculik sejak sebulan silam, telah kembali. Ternyata Kiki menghilang ketika ia ke Jakarta untuk menemui saudaranya namun tersesat (alamatnya salah dan tidak bisa dihubungi lewat telepon). Dan tidak hanya itu, Kiki ternyata kabur karena ada masalah uang yang belum dibayar ke sekolah. Proses ditemukannya Kiki, karena ia menulis pesan lewat Facebook.

Saya pikir, media pun harus cerdas dalam mencerdaskan masyarakat. Tidak serta merta memuat berita yang menggiring opini masyarakat menjadi negatif, terhadap jejaring sosial semodel Facebook. Saya akui bahwa ada juga para pengguna jejaring sosial ini yang memanfaatkan untuk pelampiasan emosional semata, serta hal-hal negatif lainnya.
Ditemukannya Kiki seperti cerita di atas, hanyalah satu dari banyak hal positif yang bisa digunakan pengguna Facebook. Saya sendiri bisa terhubung lagi dengan rekan-rekan sewaktu SD, SMP dan SMU lewat Facebook. Bahkan membuat rencana reuni, mengundang untuk hadir dalam sebuah acara diskusi/seminar, serta ada juga yang membuat kerjasama usaha antar teman lewat Facebook. Positif bukan?
Saya yakin, bagi si pembuat Facebook, Mark Elliot Zuckerberg, ia bertujuan baik. Facebook hanyalah alat (tool). Dan patut kita sadari serta akui, bahwa Facebook juga seperti dua sisi mata uang, tergantung niat si pemakai, mau digunakan pada hal negatif atau positif. Jadi, tugas kita bersama sebagai masyarakat pengguna teknologi lah yang harus lebih bijak dan cerdas dalam menggunakan teknologi tersebut.



14 Feb 2010
Dommy Waas

Huff...Valentine Day's Effect ?!

Tulisan ini terinspirasi dengan maraknya 'penolakan' terhadap perayaan hari Valentine di beberapa tempat di Indonesia. Gaung penolakan itu kian terdengar kencang sejak pecahnya moment reformasi 1998. Dulu adem-ayem saja.
Tapi seiring waktu, dan munculnya kelompok-kelompok berbasis agama tertentu yang menganggap bahwa segala hal yang berasal dari barat seolah haram dan tidak compatible dengan kultur serta ajaran agama di Indonesia, maka harus ditolak.
Lahirnya pelarangan atau penolakan terhadap perayaan hari Valentine bukan tanpa alasan. Selain alasan yang ekstrim seperti diatas, juga memang ada alasan-alasan logis yang bisa kita cerna.

Pertama, masyarakat kita - terutama kaum muda - tidak semuanya mengerti dan paham apa itu sesungguhnya hari Valentine itu dan bagaimana sebaiknya mengekspresikannya. Masyarakat kita dalam kondisi labil, apalagi kaum muda yang secara psikologis masih mudah dipengaruhi dan cenderung minta disuapi.

Kedua, moment ini dimanfaatkan dengan baik oleh para pebisnis, baik lokal maupun internasional. Semua hal dikaitkan dengan Valentine day dan bisa menghasilkan uang. Apalagi ini setahun sekali.

Ketiga, khusus di Indonesia, moment ini juga 'dimanfaatkan' oleh pihak-pihak atau kelompok berbasis keagamaan untuk mencari massa guna menimbulkan kesan bahwa mereka didukung oleh banyak pihak.
Contohnya berita "Pelajar Semarang Tolak Valentine", dikatakan bahwa moment ini jauh dari budaya nusantara dan ajaran Islam.

Pernyataan seperti itu menafikan kenyataan bahwa kasih sayang adalah bagian dari tumbuh kembang peradaban manusia di mana pun keberadaannya. Kasih sayang meruntuhkan batas-batas yang mengerdilkan kemanusiaan. Bahkan kasih sayang itu compatible dengan agama Islam - juga agama-agama lainnya di dunia. Jika yang dimaksud dengan kata 'jauh' itu adalah perayaan yang sifatnya hura-hura dan cenderung konsumtif, sebaiknya diperjelas, sehingga masyarakat pun dididik untuk bisa memilah sebuah pernyataan atau statement dengan baik dan benar. Bukan karena label agama semata, namun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan logis yang sebenarnya bisa kita lakukan.
Menurut saya, merayakan moment Valentine day ini bisa diekspresikan dengan banyak cara positif.
Bahwa kemungkinan adanya hal-hal negatif yang dilakukan, itu kembali kepada manusianya sendiri.

Mari kita ajak, ingatkan dan didik masyarakat serta generasi muda kita dengan cara yang benar, tidak sekedar memberi label moment ini 'barat', 'produk Yahudi', 'haram', 'sesat', dsb.
Agama itu adalah rambu-rambu lalu lintas kehidupan kita.
Membangung kesadaran masyarakat/umat akan konsekuensi melanggar rambu-rambu yang ada itulah yang harusnya menjadi tanggungjawab kita bersama, terutama institusi keagamaan.
Umat tidak akan menjadi dewasa dalam keberagamaannya ketika agama hanya menjadi rujukan undang-undang guna memberi hukuman semata, tanpa adanya pencerahan logis kepada mereka.
Jadi...agama untuk manusia dan bukan manusia untuk agama
Valentine day untuk manusia dan bukan manusia untuk Valentine day.


Selamat merayakan hari Valentine dengan hal-hal positif dan membangun kehidupan bagi yang merayakannya.



Bandung, 12 Feb 2010
Dommy Waas

Pengikut