Senin, 07 Juni 2010

SILENCE: KEBUNGKAMAN TUHAN dan KONFLIK RELIGIUS TIMUR-BARAT




Novel yang cukup kontroversial ini ditulis dengan latar belakang perkembangan kekristenan di Jepang di abad 17, periode Edo. Francis Xavier telah membawa kekristenan ke Jepang tahun 1549, mendarat di pantai Kagoshima, bersama dua orang Yesuit dan seorang penerjemah Jepang. Pada perkembangannya, pesatnya pertumbuhan kekristenan di Jepang ini sesungguhnya tak lain karena peran Alessandro Valignano. Dialah arsitek atas misi di Jepang. Pada masa itu, penganut Kristen (Kirishitan) tumbuh hingga 300.000 orang.

Namun, saat pemerintahan Ieyasu, Tokugawa pertama penerus Hideyoshi, dimana kekristenan di Jepang mengalami tekanan penganiayaan yang sangat kejam dan mengerikan. Seorang Yesuit Portugis, Sebastian Rodrigues, dikirim ke Jepang untuk membantu gereja setempat selain mencari tahu kondisi mantan gurunya, Ferreira, yang dikabarkan telah murtad karena tak tahan menanggung siksaan. Rodrigues sempat kucing-kucingan dengan para samurai penggeledah desa-desa yang dicurigai – atau diinformasikan – ada penganut Kristen. Yang menarik, Inoe, Gubernur Chikugo yang kejam dan pintar dalam melemahkan para pastor yang ditahan, sangat yakin bahwa kekristenan yang dianut penduduk Jepang tak memiliki jiwa yang mengakar kuat, hanya kerangka yang rapuh. Inoe dan Ferreira begitu yakin bahwa tunas-tunas muda kristianitas tak bisa tumbuh dalam rawa- rawa lumpur Jepang. Alasannya adalah karena Tuhan Kristen yang dianut oleh para penduduk Jepang sesungguhnya ‘berbeda’ dengan Tuhan Kristen yang diajarkan oleh para misionaris ini. Dan orang-orang Eropa atau Barat (para misionaris) dianggap tak mengenal kultur Jepang (Timur). Inoe dengan cerdas memanfaatkan konflik religius (Katolik dan Protestan) antara Spanyol, Inggris, Portugis dan Belanda pada zaman itu. Pada zaman kristianitas dilarang keras di Jepang, dan para penganutnya dikejar-kejar, dipaksa menjadi murtad, dan dibunuh, bukan hal mudah bagi para pastor, termasuk Rodrigues bertahan hidup. Rodrigues akhirnya tertangkap karena pengkhianatan seorang Kristen bernama Kichijiro, persis seperti Yudas yang mengkhianati Yesus dalam Alkitab.

Rodrigues, yang memimpikan bahwa tugasnya sebagai pastor di Jepang adalah juga melindungi dan mengorbankan dirinya untuk para petani miskin – penganut Kristen, justru merasa tak berdaya ketika yang terjadi adalah para petani miskin itu harus mengalami siksaan mengorbankan dirinya hingga Rodrigues – sang pastor – bersedia mengingkari imannya. Disaat-saat menyedihkan, terpojok, serta membuat letih jiwa-raga, Rodrigues mulai mempertanyakan Tuhan yang selama ini dianggapnya sumber kasih. Rodrigues, dengan mata kepalanya sendiri, menyaksikan dua orang penduduk Kristen ditangkap, dipaksa menginjak fumie, diikat pada tiang di tepi pantai, di tengah guyuran hujan dan pasang naik air laut, hingga mati lemas. Rodrigues yang tak berhenti berdoa, melihat kebungkaman Tuhan hingga ia akhirnya bergumul dengan pilihan sulit yang dihamparkan padanya. Bagi para penganut Kristen yang tumbuh dalam kenyamanan serta bebas dari tekanan - seperti yang dialami Ferreira dan Rodrigues – mungkin akan berkata bahwa mereka berdua ‘kurang iman’ dan memberi label ‘Paulus murtad’. Semudah itukah?
Pada bab-bab terakhir, Shusaku Endo, sang penulis, dengan sangat tajam menyuguhkan detil-detil masalah keimanan dan Tuhan, dosa dan pegngkhianatan, mati sebagai martir dan pengingkaran iman.

Pengikut