Selasa, 13 Januari 2009

Tentang ‘Kehidupan’ dan ‘Daya Hidup’.


Kau Memanggilku Malaikat. Satu lagi karya Arswendo Atmowiloto setebal 272 halaman ini, sarat dengan perenungan. Setidaknya perenungan terhadap kehidupan yang telah dan tengah kita jalani. Di dalamnya ada penggalan-penggalan kisah yang sebenarnya begitu akrab dalam keseharian kita. Bahkan mungkin begitu sederhana. Sangat biasa, bahkan nyaris tak menjadi perhatian kita. Kita diajak penulis – melalui malaikat penjemput – ‘berkunjung’ pada sudut-sudut kehidupan yang mungkin sering kita abaikan keberadaannya, realitasnya.
Seperti yang tertuang di bagian belakan sampul novel ini:
• Seorang istri yang setia, tulus, mengabdi pada suami, anak, serta menantunya, ingin mengetahui keberadaan suaminya. Suami yang mempermalukan, merendahkan dengan mengawini adik menantunya ini, apakah selalu gembira seperti sebelumnya?
• Seorang preman yang dibakar hidup-hidup, pelan-pelan, dikeroyok, dan tak mau dikasihani.
• Seorang gadis penuh pesona, ditembak polisi karena menolak diperkosa.
• Seorang pengemudi bis yang tahu kendaraannya kurang layak jalan, serta anak-anak sekolah yang menumpang.
• Juga, hampir saja, seekor ayam.
Ya, bagi sang malaikat penjemput, hal ini menjadi sesuatu yang hanya ia ‘tahu’ tanpa ia merasakannya atau bahkan ia mengerti. Sudah begitu sejak awalnya. Hingga ia bertemu dengan sosok anak kecil yang ‘dijemputnya’ bernama Di. Sang Malaikat pun mulai bisa merasakan rasa kehilangan. Ia mulai mengerti bahwa ‘kehidupan’ yang dijalani oleh para manusia dan mahluk hidup lainnya di dunia ini semestinya bisa memiliki arti. Tentu saja, jika tidak di sia-siakan. Dan bagi sang malaikat, kehidupan seperti yang dijalani manusia, begitu ‘menggoda’. Ya, sama seperti manusia yang selalu tergoda terhadap kematian dan segala yang terkait dengannya, termasuk nafsu berebut surga. Mungkin kita bisa tengok kembali bagaimana ketergodaan malaikat pada kehidupan manusia dalam film "City of Angel" atau film "Wings of Desire". Pada dasarnya setiap mahluk hidup diberi apa yang disebut sebagai Daya Hidup. Daya hidup inilah yang membuat manusia kadang membuat seseorang kita anggap bersikap ekstrim, padahal itu alamiah (nature).
Hidup di dunia (di bumi) jelas hanya satu kali, jangan disia-siakan. Mengapa begitu? Karena jiwa kita bukannya berhenti hidup nantinya, namun melanjutkan kehidupan di alam yang lain.

Salam,
DW

Tidak ada komentar:

Pengikut