Jumat, 28 Agustus 2009

cin(T)a : kala tuhan telah mati, dan kita membunuhnya

Berikut ini adalah sebuah notes dari facebook cin(T)a-the-movie yang ditulis oleh rekan Junanto Herdiawan.
Semoga bermanfaat.

salam,
Dommy Waas

---------------------------------------------------------------------------------

cin(T)a : kala tuhan telah mati, dan kita membunuhnya


Kenapa Allah menciptakan kita beda-beda kalau Allah cuma ingin disembah dengan satu cara?”

Cina dan Annisa mencintai Tuhan.
Tuhan juga mencintai mereka berdua.
Namun Cina dan Annisa tak bisa saling mencintai.
Karena mereka menyebut Tuhan dengan nama yang berbeda.



Cin(T)a adalah film yang sangat menarik untuk ditonton. Mungkin akhir pekan ini anda perlu meluangkan waktu untuk menontonnya. Ini adalah film indie yang berani membahas sebuah isu sensitif, yaitu isu tentang Tuhan. Di permukaan, film ini mengangkat kisah cinta antara Cina (diperankan oleh Sunny Soon) dengan Annisa (diperankan oleh Saira Jihan). Cina adalah pria etnis Batak Cina yang beragama Kristen. Sementara Annisa adalah wanita berdarah Jawa yang beragama Islam. Di balik kisah cinta mereka, tersembunyi pertanyaan filosofis yang dalam, siapakah Tuhan? Dan mengapa Tuhan menciptakan perbedaan?

Film ini berkisah seputar hubungan dua karakter yang berbeda ras dan agama. Cina yang taat dan rajin ke gereja, serta Annisa, seorang muslimah yang tak pernah meninggalkan sholat. Hubungan mereka bergulir dan diisi dengan berbagai diskusi tentang perbedaan antar mereka. Antara Islam dan Kristen. Berbagai hal yang terkesan tabu, secara berani diangkat dalam diskusi. Soal poligami, perayaan natal, surga, dan neraka, disajikan dengan santai dan tanpa memunculkan konflik. Ujung dari semua diskusi ini adalah mempertanyakan Tuhan. Apa yang ada dalam benak pikiran Tuhan saat menciptakan perbedaan? Mengapa banyak agama di dunia ini? Film yang mengambil setting pada tahun 2000, menggambarkan suasana konflik antar umat beragama di berbagai tempat. Agama telah menjadi alat propaganda yang paling murah untuk bunuh-bunuhan antar manusia sepanjang zaman.

Bagi Annisa, Tuhan adalah seorang Sutradara. Kehidupan diibaratkan putaran film. Manusia adalah pelakunya. Tapi bagi Cina, kalau Tuhan adalah sutradara, maka ia adalah sutradara yang basi. Kegelisahan Cina adalah kegelisahan Nietzsche saat mengatakan “tuhan telah mati, tuhan telah mati, dan kita semua membunuhnya.. (Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getötet!) ”. Nietzsche telah membunuh tuhan secara metafisik. Ia memang seorang atheis sejati. Tapi ini jugalah yang dikhawatirkan oleh Annisa saat mengatakan, “Dunia ini sudah kebanyakan agama, dunia ini sudah kebanyakan tuhan”.

Ketika nama Tuhan dibawa untuk berperang. Ketika nama Tuhan dibawa dalam setiap konflik. Dan ketika nama Tuhan memisahkan dua orang yang saling mencinta, Tuhan menjadi suatu yang asing. Cina dan Annisa mungkin mewakili satu dari sekian banyak kaum muda yang mempertanyakan Tuhan dan Agama. Di zaman ini, perbedaan nyaris bagai sebuah kutuk. Masing-masing kelompok berusaha memandang dan mendekati Tuhan dengan kebenarannya sendiri. Sementara pendekatan dan pandangan yang “liyan” tentang Tuhan, dianggap sesat atau salah. Yang terjadi kemudian adalah konflik. Fundamentalisme beragama, adalah cara pandang terhadap satu ajaran dan menganggap kebenaran adalah miliknya.

Lantas, apa itu kebenaran? Tuhan siapa yang benar? Annisa bertanya pada Cina, mungkinkah ia masuk surga dalam pandangan Tuhan-nya Cina? Film ini berusaha menampilkan caveat dalam memberi jawaban atas berbagai pertanyaan itu. Kebenaran, dibawa dalam perspektif historis, dalam konteks sosial maupun kultural. Manusia menggambarkan sesuatu dari perspektif yang ia tangkap. Kant menyebut hal ini dengan istilah Das Ding an Sich, bahwa kebenaran pada dirinya sendiri, kita tak pernah tahu. Manusia memiliki keterbatasan dalam melihat seluruh kenyataan.

Saat Monotheisme lahir, kita berharap monotheisme dapat mengatasi pertanyaan yang menggantung pada metafisika klasik, paganisme, maupun agama “primitif”. Levinas dengan taukhid Yudaismenya, telah menempatkan monotheisme agama Ibrahimi (Yahudi, Kristen, dan Islam) sebagai benchmark bagi paradigma keimanan. Levinas mengecam Heidegger yang mengingatkan kita tentang “Ada” dalam tradisi metafisika. “Ada” bukanlah Tuhan, tapi “Ada” mendahului aku yang berpikir. Ada adalah sebuah tafakur, yang menyiratkan kekuatan hati, anugerah, dan yang personal.

Ketika agama menjadi besar, ia tumbuh bagai struktur yang kaku, jauh melampaui makna “Ada”. Kemegahan masjid, gereja, kuil, maupun sinagog, dan kegemerlapan serta hiruk pikuk umat beragama, telah mengambil ruang-ruang sepi dalam relung tafakur. Makna “Ada” telah bergeser pada kerucut perbedaan. Saat itu, agama tak lebih dari sekedar tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Tak heran Karl Marx menyebut agama adalah candu. Agama dianggapnya sebagai candu bagi masyarakat yang mampu membuat lupa akan realitas kehidupan.

Film ini sungguh layak ditonton. Dari sisi sinematografi, penyajiannya sungguh apik. Adegan-adegannya enak dilihat. Musik pengiringnya begitu indah dan tepat dalam menggambarkan suasana hati. Setiap adegan ditampilkan penuh arti. Setiap detil, setiap sudut gambar, pada akhirnya memiliki arti dan perannya masing-masing. Bahkan gerak gerik seekor semut, buah apel, hingga gerak lembut seruas jari pun memegang peranan penting di film ini.

Dalam desah lirihnya, Cina berkata, “apabila tak ada tuhan, tak ada agama, mungkin tak ada perang”. Sebuah pertanyaan cerdas yang sangat berani diangkat di tengah masyarakat kita.

Pada ujungnya, film ini tidak berpretensi memberi jawaban. Namun apalah artinya jawaban. Karena yang dibutuhkan bukan itu. Yang dibutuhkan adalah keberanian mengajukan pertanyaan. Agama, dimanapun ia diturunkan, adalah tentang pertanyaan.

Esensi bulan Ramadhan ini adalah kekosongan. Ramadhan bukan tentang gegap gempita. Ramadhan adalah momen bertafakur. Di dalamnya, memuat pertanyaan-pertanyaan pada diri dan pada Tuhan. Mengapa saya ada, dan hendak ke mana saya menuju.

Film ini, mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu.

Selamat Menonton.

Kamis, 20 Agustus 2009

KEMERDEKAAN

Pasang naik dan surut perjuangan negeri ini
Dalam jejak ukir kaki tangan kita,
Terjajah atau merdeka…
Semua mengalir silih berganti,
Kemerdekaan?
Mengapa?
Manusia butuh kemerdekaan,
Jika tidak ada kemerdekaan
Apalah bedanya dengan mesin?

Di sudut-sudut sana,
Di persimpangan-persimpangan jalan,
Masih ada jiwa-jiwa yang terbelenggu…
Di ruang-ruang yang sacral
Masih ada belenggu kekerasan,
Menari-nari dalam kuasa-kuasa dogma.

Tangan-tangan keadilan merapuh
Tak kuasa melindungi yang lemah,

Kemerdekaan?
Yang terlupakan manakala kita berkuasa
Memperbudak dan menindas sesame anak bangsa
Atas nama ego dan prestise.

Kita lupa bahwa negeri ini anugerah dari Sang Pencipta,
Dalam warna-warni kultur,
Agama,
Suku bangsa,
Dan bahasa.

Kita angkuh mencoba-coba…
Atas nama Tuhan yang beragam sebutan itu,
Menafikan keberbedaan yang ada,
Dengan mimpi-mimpi liar tak humanis,
Menyingkirkan apa-apa yang beda.

Kemerdekaan?
Ideologi?
Agama?
Ah….di bumi ini…
Ketika kita mengaminkan Tuhan,
Bukankah kemerdekaan manusia
Yang mesti kita pertahankan?

Indonesia bukan milik segelintir konglomerat!
Indoensia bukan punya sekelompok orang kemaruk!
Indonesia bukan tanah garapan para penjahat berseragam bejabat!
Indoenesia tak boleh lagi diberangus kebebasannya!
Indonesia tak lahir dari rahim agama tertentu!
Indonesia dibangun oleh tangan-tangan
Yang mengerti apa itu kebhinekaan,
Yang menghormati apa itu perbedaan.

Perbedaan ada, maka Indonesia ada
Dirgahayu Indonesiaku…
Satu nusa,
Satu bangsa,
Satu bahasa…Indonesia…
Merdeka!!!


Dommy Waas
16 Agust 2009

Sabtu, 15 Agustus 2009

ARTIKEL BERIKUTNYA....

1. SISI LAIN BOM BUNUH DIRI (Sebuah telaah terhadap buku "Army of Roses" karya Barbara Victor)
2. MEDIA INFORMASI dan TOKOH GARIS KERAS?
3. BILIK-BILIK IMAN (Sebuah telaah terhadap novel 'Horeluya' karya Arswendo Atmowiloto)
4. ILUSI NEGARA ISLAM (Sebuah telaah terhadap buku 'Ilusi Negara Islam : Gerakan Transnasional di Indonesia')
5. TUHAN vs ELIA? (Telaah terhadap buku 'The Fifth Mountain' karya Paulo Coelho)
6. KERAGUAN: BAGIAN DARI PROSES BERIMAN? (Telaah terhadap novel 'Silence' karya Susako Endo)
7. etc.

Sekolah Gratis, Kualitas dan BHP

“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
(UUD 1945, pasal 31, ayat 1)


“Mulai tahun 2009, sekolah gratis!”
, isi sebuah ‘kampanye’ yang sering tayang di televisi. Digambarkan dengan seorang anak yang putus harapan untuk bersekolah menjadi berbinar penuh harapan, bersama orang tuanya. Masyarakat menengah ke bawah, tentu saja akan menggantungkan harapan agar anaknya bisa mengenyam pendidikan. Namun, iklan memang cenderung penuh bumbu dan berbeda dengan realitas.
Ketidakjelasan sosialisasi sekolah gratis membuat masyarakat bingung dan memadamkan harapannya. Kenapa? Program sekolah gratis seolah muncul sebagai upaya politis mendongkrak citra pemerintah incumbent dalam masa-masa pemilu legislatif dan pilpres 2009. Diakui atau tidak, faktanya berbagai ketidakjelasan muncul ketika program ini digelontorkan.

Beberapa hal yang patut dicatat (atau dipertanyakan) oleh semua pihak terkait sekolah gratis: (1) Bagaimana mutu atau kualitas sekolah gratis tersebut? (2) Siapa sasaran program sekolah gratis? (3) Fasilitas minimal apa yang disediakan oleh sekolah gratis bagi para siswanya? (4) Bagaimana dengan biaya operasional sekolah? (5) Bagaimana dengan pembiayaan (gaji) para guru? (6) Bagaimana peran aktif pemerintah daerah maupun pusat dalam program ini? Dan mungkin masih banyak hal yang masih buram dalam benak para orang tua yang akan menyekolahkan anak-anaknya. Sebagian masyarakat justru berpendapat agar pemerintah bukan mengadakan pendidikan gratis, melainkan pendidikan murah dan terjangkau namun bermutu.

Berdasarkan Buku Pedoman Bantuan Operasional Sekolah 2009, dana BOS digunakan untuk biaya penerimaan siswa baru, buku referensi, buku teks pelajaran, pembelajaran (remedial, pengayaan, olahraga, kesenian), ujian, pembelian bahan-bahan habis pakai, pembiayaan langganan daya listrik/air, pembiayaan perbaikan sekolah, pembayaran honorarium, pengembangan profesi guru dan pelatihan, biaya transport siswa miskin, pembiayaan pengelolaan bantuan operasional sendiri, serta pembelian perangkat komputer. Apakah mungkin dalam kondisi perekonomian bangsa yang masih labil ini, program sekolah gratis itu diterapkan di seluruh Indonesia? Beberapa sekolah alternatif, murah dan berkualitas telah didirikan oleh mereka yang concern terhadap dunia pendidikan. Mereka memodifikasi – bahkan mengubah – kurikulum nasional, dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Berbasis Kebutuhan (KBK).

Dalam sebuah diskusi pendidikan di GKI Jl. Maulana Yusuf – Bandung bulan Juni 2009 lalu, Ahmad Bahruddin (pelopor sekaligus kepala SLTP alternatif Qaryah Thayyibah Kalibening, Salatiga) menekankan bahwa, “Sekolah bermutu tidak hanya menekankan peringkat tinggi, namun yang lebih penting adalah memberdayakan para peserta didik dalam menghadapi kehidupan sekitar” Dan yang lebih penting adalah “jangan menyamakan dunia pendidikan dengan dunia industri”.
Dunia pendidikan di Indonesia telah lari dari cita-cita bangsa yang tertuang dalam Preambule UUD 1945. Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, dunia pendidikan kita justru menjadi bagian subsistem neoliberalisme, dengan adanya liberalisasi pendidikan. Hadirnya UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) – yang merupakan turunan dari UU Sisdiknas (pasal 53 ayat 4) – tak pelak mengaburkan peran negara terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional serta secara teknis mempersulit masyarakat untuk mengakses pendidikan yang diselenggarakan negara. Jika ini menjadi tujuannya, maka negara telah melakukan pelanggaran konstitusi. Namun, jika UU BHP memang ditujukan agar badan pendidikan menjadi mandiri, lantas dimana tanggungjawab negara terhadap penyelenggaraan dunia pendidikan nasional kita?

Disisi lain, dunia pendidikan nasional kita dihadapkan dengan keberadaan dunia maya (cyberworld) yang merupakan dampak dari globalisasi. Dunia pendidikan pun tak luput dari teknologi yang satu ini. Cybereducation, istilah untuk menggambarkan penggunaan internet sebagai media pembelajaran atau edukasi. Cybereducation bisa menjadi alternatif bagi dunia pendidikan nasional kita, jika negara ‘belum kuat’ menyediakan anggaran pendidikan nasional yang harus dipenuhi.

Namun, perlu dikaji lebih jauh dampak psiko-sosial cybereducation terhadap siswa, guru, dosen, dan proses pembelajaran dalam realitas sosial. Mengapa? Seperti diungkap oleh Yasraf Amir Piliang (2004), pertama, terdapat potensi terjadinya alienasi antara pengguna internet yang sudah masuk dalam cyberworld dengan dengan realworld, dunia ini. Ketika seseorang menjadi pengguna internet (netter) dan mereka masuk dalam cyberworld, maka mereka pada hakikatnya telah lahir dan membentuk identitas lain di dunia maya, mereka membentuk komunitas, relasi sosial, dan tatanan sosial baru, yang lepas dari hukum fisika Newton, dan dengan demikian sama sekali berbeda dari bentuk komunitas, relasi sosial, tatanan sosial yang ada dalam alam fisik ini.

Lalu, apa yang mesti dilakukan? Apakah karena uang (anggaran pendidikan)? Singapura mengeluarkan uang lebih sedikit untuk pendidikan dasar dibandingkan negara maju lainnya. Apakah waktu belajar anak yang lebih panjang? Di Finlandia, anak tidak memulai sekolah sebelum berumur tujuh tahun. Mereka hanya menghabiskan empat sampai lima jam sehari di sekolah. Belajar dari negara-negara yang pendidikannya di peringkat atas: pilih kandidat guru dengan selektif dan sesuai kebutuhan. Setelah masuk seleksi, beri pelatihan agar bisa menjadi pengajar yang efektif. Namun hal ini perlu diiringi dengan perbaikan status. Guru harus menjadi profesi dengan status yang tinggi. Dan terakhir, memastikan setiap anak meraup manfaat dari pendidikan yang diselenggarakan negara (Indonesia Anonymus, 2009).

Realitas dunia pendidikan kita, tepat seperti diutarakan Michael W. Apple, bahwa ”Pengetahuan telah menjadi sejenis modal yang dikelola dan didistribusikan oleh institusi pendidikan kepada anak didik sebagaimana institusi ekonomi mengelola modal finansial” Quo Vadis pendidikan nasional kita?

Dommy Waas
(telah dimuat di http:\\fokal.info\ edisi III)

Senin, 03 Agustus 2009

Zionisme, Anti-Zionisme, dan Pasca-Zionisme

Ini makalah yang di tulis oleh Akhmad Sahal dalam diskusi:
DISKUSI JIL BULAN JULI
Zionisme, Anti-Zionisme, dan Pasca-Zionisme
Narasumber: Akhmad Sahal & Hamid Basyaib
Moderator: Ihsan Ali Fauzi
Waktu: Kamis, 30 Juli 2009, Jam 19.00-21.30 WIB,
Tempat: Teater Utan Kayu Jl. Utan Kayu 68 H Jakarta Timur

Semoga kita mendapatkan pencerahan.
-----------------------------------------------------------------------
Zionisme, Antizionisme dan Pascazionisme
Akhmad Sahal*)

Di kalangan Yahudi di luar maupun di dalam Israel, kritik terhadap zionisme belakangan ini tampaknya sama sulitnya dengan telaah yang “simpatik” terhadapnya di kalangan Muslim. Contohnya adalah artikel kontroversial Tony Judt bertajuk “Israel: The Alternative” di The New York Review of Books pada 2003. Dalam artikel tersebut, ahli sejarah Eropa berdarah Yahudi yang kini mengajar di New York University itu berargumen bahwa ide negara Yahudi yang mendasarkan dii pada nasionalisme etnis tak bisa lagi dipertahankan karena ia adalah suatu anakronisme. Oleh sebab itu Judt mengusulkan agar negara Israel menanggalkan identitas keYahudiannya dan menerapkan “negara dua bangsa” (Yahudi dan Arab) agar betul-betul demokratis. Gara-gara tulisan itu, Tony Judt langsung dicap antisemit dan disebut self-hating Jew. Namanya dicoret dari masthead The New Republic, dan ia sempat “dibredel” untuk tampil sebagai pembicara dalam suatu diskusi di New York.

Usulan Judt sebenarnya tidak baru. Martin Buber, Judah Magnes (pendiri Hebrew University) dan sejumlah intelektual Israel yang tergabung dalam Shir Shalom pada juga penganjur gagasan “negara dua bangsa.” Usulan itu juga tidak “galak” jika dibandingkan dengan pemikiran antizionisme dan pascazionisme di kalangan Yahudi.

Cinta Sepihak Terhadap Eropa
Kelahiran zionisme di mata para pendukungnya tidak lain merupakan kisah cinta kaum Yahudi yang tak terbalas terhadap Eropa Pencerahan. Dua pendiri utama gerakan ini, wartawan Yahudi kelahiran Hungaria Theodor Herzl yang menulis pamflet yang tersohor, Negara Yahudi pada 1896, dan Leo Pinsker, Yahudi asal Rusia yang menulis buku Auto-Emancipation pada 1882, pada awalnya adalah para asimilasionis yang kemudian berbalik arah menjadi penentang asimilasi, pembauran Yahudi ke dalam masyarakat Eropa modern.
Mereka berdua, sebagaimana sebagian besar Yahudi Eropa saat itu, meyakini bahwa satu-satunya jalan menuju emansipasi buat Yahudi adalah dengan mengikuti seruan Napoleon Bonaparte seabad sebelum kelahiran zionisme. Penaklukan Napoleon di pelbagai penjuru Eropa pada abad 18 membantu penyebaran ide-ide Revolusi Perancis yang didasarkan pada proyek Pencerahan, terutama tentang kesetaraan “Hak-Hak Manusia dan Warga Negara.” Tawaran Napoleon kepada komunitas Yahudi di Eropa Barat saat itu, jika mereka mendapatkan hak-hak hukum dan politik yang setara dengan warga Kristen dan sekular, apakah mereka bersedia keluar dari ghettonya yang eksklusif dan melepaskan identitas primordial keYahudian untuk menjadi individu-individu modern? Bisakah mereka melepaskan diri dari loyalitas mereka kepada otoritas rabi dan sepenuhnya loyal kepada negara Perancis yang sekular?
Dengan tawarannya itu, Napoleon mungkin saja punya maksud melenyapkan identitas keYahudian dengan cara melebur mereka ke dalam masyarakat Eropa entah dengan menjadi sepenuhnya sekular atau berkonversi ke Kristen. Akan tetapi, respon kaum Yahudi justru sangat antusias. Buat mereka, Napoleon telah membuka jalan bagi emansipasi untuk kaum Yahudi. Mereka meyakini Pencerahan bukan hanya tidak bertentangan dengan keYahudian, melainkan justru menguntungkan Semboyan mereka yang terkenal: lihyot yahudi ba bait, wa adam ba khutz (menjadi Yahudi di rumah dan manusia di luar). Kaum Yahudi di Perancis, misalnya, memberikan justifikasi peleburan identitas keYahudian dan kePerancisan dengan melihat Revolusi Perancis 1789 sebagai peristiwa mesianik dalam sejarah Yahudi modern; semboyan “liberty, egality, and fraternity” sebagai hukum Sinai kedua. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai “Israelites de France.” Hal yang sama juga terjadi di Jerman, tempat di mana gerakan Pencerahan Yahudi (haskalah) yang dipelopori oleh Moses Mandelssohn justru tumbuh dengan subur. Para pemimpin Reform Judaism di Jerman yang berupaya memposisikan agama Yahudi sebagai kredo etika universal begitu loyal terhadap tanah kelahirannya dan menyebut berlin sebagai Jerusalem baru, “tanah air tempat di mana kita menautkan diri dengan ikatan cinta yang keras kepala.” Le shanah ha-baah be Yerushalaim (tahun depan ke Yerusalem) dilihat hanya sebagai bagian dari ungkapan ritual yang sama sekali tidak memuat program politik untuk merestorasi tatanan politik Israel.
Dengan menjadi pemeluk teguh ide-ide Pencerahan seperti individualisme, rasionalisme dan sekularisme, mereka meyakini bisa memecahkan “persoalan Yahudi” yang menghantui mereka sejak hidup dalam diaspora di Eropa. Identitas keYahudian mereka definisikan tidak dalam kerangka tradisional, yakni berdasar pada kepatuhan kepada halakhah (hukum Yahudi), melainkan dalam kerangka liberal, yakni sebagai individu dengan kebebasan dan kekhasannya sendiri.
Theodor Herzl dan Leo Pinsker turut menyokong integrasi Yahudi ke dalam masyarakat Eropa sampai kasus Dreyffus mencuat pada 1882. Sebagai koresponden harian Wina, Neue Freie Presse, Herzl meliput kasus Dreyfus, kapten berdarah Yahudi yang sepenuhnya asimilasionis seperti dirinya, yang dituduh menjadi mata-mata bagi Jerman hanya karena ia Yahudi, dan kemudian dipecat secara tidak hormat dari dinas militer Perancis. Yang membuat Herzl masygul, kasus Dreyfus justru terjadi di Paris, ibukota Pencerahan. Padahal tidak lama sebelum itu, progrom dalam skala masif terjadi di Rusia, yang oleh Pinsker dipahami sebagai bukti masih bercokolnya antisemitisme. Dua kasus itulah yang dalam narasi zionisme dianggap sebagai pemicu lahirnya zionisme.
Pada titik inilah terletak asumsi pertama zionisme tentang kegagalan asimilasi Yahudi ke dalam Eropa, lantaran cinta mereka ternyata bertepuk sebelah tangan. Bagi Herzl, Pencerahan tidak hanya membawa solusi melainkan juga problem baru buat kaum Yahudi, karena selain melahirkan individualisme, Pencerahan juga memunculkan nasionalisme. Di sinilah letak masalahnya: ketika orang-orang Yahudi di pelbagai negara Eropa bertransformasi menjadi individu-individu modern dengan identitas berdasarkan ide-ide kosmopolitan dan universal dari Pencerahan, masyarakat Eropa justru sibuk membangun identitas nasionalnya sendiri-sendiri, sesuatu yang kalangan Yahudi tidak punya. Meskipun orang Yahudi sudah berusaha sepenuh hati menjadi bagian dari Eropa, ia tetaplah the other, sang liyan di mata publik Eropa. Ini karena, menurut Herzl, kaum Yahudi hidup dalam dunia eksil tanpa punya negara yang menjadi “rumah” mereka sendiri. Menurut Herzl, diaspora menjadikan Yahudi terus menerus hidup dalam abnormalitas yang rentan terhadap serangan antisemitisme. Karena itulah Herzl menyerukan agar kaum Yahudi mengakhiri abnormalitasnya dengan keluar dari tanah eksil Eropa dan membangun identitas nasionalnya sendiri. Dari sinilah bertolak asumsi kedua zionisme: identitas keyahudian niscaya bersifat nasional. Masyarakat Yahudi yang terpencar-pencar adalah satu kesatuan yang tidak hanya diikat oleh agama melainkan terutama oleh sentimen kolektif sebagai suatu bangsa.
Tapi harap diingat, zionisme lahir pada akhir abad 19, saat di mana dataran Eropa diwarnai dengan maraknya nasionalisme romantik atau folkish a la Rousseau dan Herder, yang mengidentikkan nasionalisme dengan identitas kolektif berdasar kesatuan etnik atau ras yang homogen, seakan-akan etnisitas adalah sesuatu yang terberi, yang cenderung mengeksklusikan sang liyan. Paham semacam inialh yang oleh Tony Judt disebut sebagai anakronisme.

Kosmopolitanisme Kontra Zionisme.

Tapi betulkah asimilasi Yahudi adalah ihtiar yang sia-sia dalam pandangan mereka sendiri? Betulkah diaspora merupakan kehidupan abnormal buat Yahudi? Amos Elon, sejarawan Israel yang melacak kiprah Yahudi di Jerman dari awal abad 18 sampai naiknya Hitler pada 1933 dalam The Pity of it All, dengan tegas membantah klaim Herzl tersebut. Menurut Elon, masyarakat Yahudi Jerman sam sekali tidak menganggap diri mereka sebagai imigran atau tamu di negeri asing. Bahkan, emansipasi politik yang mereka nikmati sebagai buah dari Pencerahan menghasilkan lonjakan prestasi yang mencengangkan dalam ranah budaya, sains, seni, dan jurnalisme. Kerekatan antara identitas Yahudi dan Jerman ini baru putus setelah Hitler berkuasa pada 1933.
Karena itu, sejumlah intelektual Yahudi melihat kehidupan diaspora lebih sebagai berkah ketimbang kutukan, karena situasi itu justru memungkinkan mereka memainkan peran sebagai kekuatan kritis di masyarakat. Dalam kerangka semacam inilah kita bisa memahami mengapa Hannah Arendt merayakan marjinalitas peran Yahudi sebagai kelomopk pariah, dan mengapa Isaac Deutscher menyuarakan pembelaannya terhadap apa yang ia sebut sebagai “the Non-Jewish Jew” ketika ia berbicara tentang sejumlah pemikir dan seniman Yahudi heretik semacam Spinoza, Heinrich Heine, Karl Marx, Sigmund Freud dan Leon Trotsky.
Menarik untuk dicatat, mereka yang menampik aksioma Zionisme yang menegasikan diaspora (Shelilat Hagalut) umumnya adalah kalangan Yahudi kosmopolit, dari kiri maupun kanan, sosialis maupun liberal. Mereka inilah yang juga menolak klaim zionisme bahwa Yahudi adalah bangsa yang tunggal. Pertentangan antara kaum zionis dan Yahudi kosmopolitan ini sekaligus menunjukkan perbedaan mereka dalam menyikapi persoalan Yahudi.
Kalangan Yahudi sosialis seperti Rosa Luxemburg dan Leon Trotsky, yang oleh Stalin dikecam sebagai rootless cosmopolitans, mengakui bahwa ancaman semitisme memang nyata-nyata ada. Akan tetapi mereka menolak solusi zionis untuk mengatasi antisemitisme, yaitu dengan mendirikan negara Yahudi di Eretz Yisrael. Alasannnya, hal ini justru membawa Yahudi kembali terjebak dalam nasionalisme etnis yang sempit, yang nyaris tidak ada bedanya dengan ghetto-ghetto yang mereka huni sebelum era Pencerahan.
Kalangan Yahudi sosialis menyerukan agar perjuangan melawan antisemitisme diintegrasikan dengan perjuangan kaum proletar melawan kapitalisme karena di mata mereka, persoalan Yahudi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan suatu gejala sosial yang terkait erat dengan kapitalisme. Begitu kapitalisme runtuh dan sosialisme berdiri, antisemitisme akan hilang dengan sendirinya.
Pada tingkat tertentu, argumen kaum sosialis ini bertolak dari esai Karl Marx tentang persoalan Yahudi, Zur Judenfrage yang ia tulis hampir setengah abad sebelum zionisme lahir, yakni pada 1843. Dalam esai tersebut, Marx sebenarnya menolak pandangan asimilasionis Bruno Bauer yang berpendapat, emansipasi kaum Yahudi baru bisa tercapai kalau mereka menanggalkan identitas keagamaannya yang partikular dan menerima prinsip-prinsip liberalisme: mejadi individu yang otonom dan mengakui legitimasi negara sekuler. Dalam pandangan Marx, emansipasi semacam ini adalah emansipasi semu, karena hanya terjadi pada ranah suprastruktur, hanya emansipasi legal dan politik, bukan emansipasi kemanusiaan secara utuh. Menurut Marx, kaum Yahudi baru mengalami emansipasi kalau mereka dibebaskan dari apa yang oleh Marx disebut sebagai “Judaisme praktis,” yakni kepentingan-diri, huckstering, dan uang. Dengan kata lain, kapitalisme. Tulis Marx, “emansipasi Yahudi adalah emansipasi seluruh masyarakat dari Judaisme.”
Selain dari sayap kiri, penolakan terhadap zionisme atas dasar kosmopolitanisme juga dating dari kaum Yahudi liberal, seperti Hermann Cohen dan Karl Popper. Hermann Cohen (1842-1918), misalnya, adalah seorang filosof Yahudi Jerman yang secara sistematis merumuskan agama Yahudi sebagai agama akal, sebagai monoteisme murni dalam bentuk hukum-hukum moral yang universal. Di sini pengaruh konsep kategori imperatif dan otonomi moral Immanuel Kant kuat terasa. Tapi Cohen menolak klaim Kant bahwa agama Yahudi tidak bisa menjadi dasar bagi moralitas universal hanya karena dia bersumber dari luar manusia (heteronom). Menurut Cohen, justru posisi agama Yahudi sebagai monoteisme murni sejalan dengan universalisme Kantian.
Cohen menafsirkan keterpilihan bangsa Yahudi sebagai tugas ketimbang privilese, sebagai bangsa par a nabi. Cohen melihat sejarah agama Yahudi sebagai proses “spiritualisasi” yang bergerak dari partikularisme ke universalisme. Hancurnya kedualatan politik Yahudi, kondisinya sebagai wandering Jews yang tak bernegara dan tak berumah menunjukkan bahwa identitas keyahudian bukanlah dimaksudkan sebagai identitas eksklusif untuk etnik tertentu saja, melainkan sebagai etika universal. Atas dasar itulah Cohen menolak zionisme apapun bentuknya.
Sementara itu,Karl Popper, filosof liberal berdarah Yahudi yang terkenal dengan bukunya The Open Societies and Its Enemies, menolak nasionalisme etnis yang menjadi dasar zionisme, yang menurutnya bertentangan dengan prinsip-prinsip masyarakat terbuka yang kosmopolitan. Popper mengakui kegagalan asimilasi Yahudi di Eropa yang berpuncak pada tragedi Holocaust. Akan tetapi baginya, kegagalan itu mestinya membawa kaum Yahudi untuk melampaui identitas kebangsaan yang partikular dan bersandar pada identitas kosmopolitan.
Memang tidak semua kaum Yahudi liberal atau sosialis serta merta menganut kosmopolitanisme dan menolak zionisme. Harap diingat, sebagian founding fathers negara Israel adalah juga penganut sosialisme yang ingin merealisasikan prinsip-prinsip sosialisme dan mengkombinasikannya dengan mesianisme sekular seperti tercermin dalam kibbutzim. Sementara pemikir liberal semacam Isaiah Berlin mendukung zionisme bukan atas dasar menegasikan diaspora Yahudi atau menghentikan antisemitisme seperti dikemukakan Herzl, melainkan karena bagi Berlin, realisasi kebebasan mengandaikan adanya “rumah” sebagai tempat berpijak. (Menurut saya, argumen ini mestinya berlaku tidak hanya untuk bangsa Yahudi melainkan juga bangsa Palestina).

Politik versus Kultural

Skisma yang terjadi di kalangan Yahudi dalam kaiatannya dengan zionisme tidak hanya terjadi antara kaum zionis dan para penentangnya. Bahkan di kalangan zionise sendiri terjadi pertentangan yang tajam antara mereka yang mengedepankan pendekatan politik dan yang memilih jalur kultural. Yang pertama dan lebih dominan bisa kita lihat pada Theodor Herzl, dan versi ekstrimnya pada Vladimir Jabotinsky, ideololog partai Likud. Sedangkan yang kedua diwakili oleh Ahad Haam dan Martin Buber.
Seperti sudah disinggung di atas, persoalan Yahudi muncul karena bangsa Yahudi hidup secara abnormal. Zionisme bagi Herzl tidak lain adalah proyek menormalkan kehidupan mereka dengan cara mengumpulkannya dalam satu ikatan kebangsaan (ingathering of the exiles). Misi ini tidak akan tercapai kecuali dengan mendirikan negara Yahudi. Dengan cara itulah zionisme hendak menciptakan “Yahudi baru,” yakni Yahudi yang hidup normal seperti bangsa-bangsa lain. Tidak heran kalau kemudian kaum zionis mazhab ini begitu terobsesi dengan otot dan kejantanan, yang oleh karib Herzl bernama Max Nordau disebut sebagai muscular Jewry.
Tapi pada saat yang sama, Herzl juga melihat zionisme sebagai proyek pemberadaban. Ini terlukis dalam novel utopianya, Old-New Land (1902). Novel ini berkisah tentang Friedrich Loewenberg, Yahudi asal Wina yang melancong ke Macedonia dan mampir ke Yerusalem. Di sana ia menemukan betapa Yerusalem adalah tanah yang tandus tak terurus, dengan perkampungan Arab yang kumal. Namun betapa takjub Loewenberg ketika ia singgah sekian puluh tahun lagi, karena Yerusalem berhasil disulap oleh kaum zionis sebagai metropolitan yang bersih, dan makmur. Yang ada di benak Herzl, negara Israel akan menjadi seperti Swis. Israel, kata Herzl, akan menjadi “bagian dari benteng Eropa berhadapan dengan Asia, markas peradaban Barat untuk menangkal barbarisme Timur.
Di tanah yang baru ini, masih menurut Herzl, Yahudi tidak lagi menjadi target serangan antisemitisme seperti terjadi di Eropa, di mana Yahudi ditampilkan sebagai sosok yang “kotor, licik, parasit, lembek.” Karena “Yahudi baru” ini tampil sebagai sosok yang “rasional, kuat, beradab.” Dengan kata lain, di Eropa, Yahudi diperlakukan sebagai “yang lain.” Namun di tanah Israel, Yahudi bermetamorfosis menjadi Eropa yang memosisikan Arab sebagai sebagai “yang lain.” Untuk menghapus identitas ke-“yang lain” annya di Eropa, Yahudi eskit dari Eropa. Di luar Eropa is menjadi Eropa. Jika di “Barat” Yahudi adalah “Timur,” maka di Timur ia menjadi “Barat.”
Dua unsur utama zionisme politik ini (pemujaan terhadap supremasi kekuatan fisik dan persepsi diri sebagai pembawa peradaban Barat) pada akhirnya menyebabkan absennya bangsa Arab Palestina dalam narasi zionisme. Lihat saja semboyan mereka tentang Palestina, “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah.” Atau simak ungkapan Golda Meir, mantan perdana mentri Israel, “tidak ada yang namanya rakyat palestina.” Di sinilah letak ironi zionisme: ia lahir sebagai respon terhadap “persoalan Yahudi” di Eropa, tetapi ia memunculkan “persoalan Arab, ” atau meminjam istilah Edward Said, the question of Palestine.
Berbeda halnya dengan zionisme kultural yang dipelopori oleh Ahad Haam, tokoh zionis asal Rusia seangkatan Herzl, yang mengartikan kembali ke tanah zion lebih dalam kerangka spiritual ketimbang politik, yakni sebagai manifestasi dari renaisans kultural Yahudi. Di mata Haam, pertautan bangsa Yahudi dengan Zion sesungguhnya berada pada level moral dan spiritual, sebagai jalan untuk merealisasikan nilai utama keYahudian, yakni Tikkun Olam (memperbaiki dunia). Inilah yang menjelaskan kenapa sejak awal Haam bersebarangan dengan Herzl. Bahkan dalam Kongres Zionis pertama pada 1898 mereka berdua tidak saling menyapa.
Sejalan dengan Haam, Martin Buber juga menolak zionisme politik Herzl dan Nordau. Penolakan Buber bertolak dari penghargaannya terhadap eksistensi bangsa Arab di Palestina dan hasratnya menjalin relasi yang otentik dengan mereka, dalam kerangka relasi I-Thou. Bagi Buber, berdirinya negara Israel tidak akan menyelesaikan persoalan Yahudi manakala kaum Yahudi mengabaikan fakta bahwa tanah Israel pada dasarnya milik dua bangsa, masing-masing dengan klaimnya sendiri. Negara yang berdiri di atsa tanah tersebut mestilah berbentuk negara dwi-bangsa, bukan negara Yahudi, suatu gagasan yang dimunculkan kembali oleh Tony Judt dalam artikelnya di NYRB. Atas dasar itulah Buber menentang The Law of Return dan upaya pemerintah Israel untuk mendatangkan imigran Yahudi secara besar-besaran untuk mencapai status mayoritas.
Dengan paparan di atas, saya sebenarnya ingin menunjukkan betapa sejak kelahirannya, zionisme menjadi salah satu sumber masalah pertengkaran di kalangan Yahudi, juga di kalangan internal zionis sendiri. Bahkan setelah Perang Enam Hari atau Perang 1967, medan pertengkaran bergeser atau berkembang dengan masuknya “pemain baru”seperti kelompok zionis ultra-Orthodox yang tergabung dalam Gush Emunim yang mayoritasnya tinggal di wilayah Pendudukan dan menjadi tulang punggung gerakan zionisme relijius. Berbeda dengan Yahudi ultra-Orthodoz (Haredim) yang umumnya menentang zionisme lantaran, satu berwatak sekular, dan dua, dianggap bertentangan dengan doktrin Yahudi mengenai mesianisme di Eret Yisrael, Gush Emunim justru menganggap proyek sekuler zionisme sebagai sarana yang diperlukan untuk merealiskan munculnya sang Mesiah di Israel. Pada saat yang sama, pasca Perang 1967 juga menyaksikan kemunculan gerakan pascazionisme di kalangan akademisi dan seniman di Israel yang mendekonstruksi narasi resmi zionisme, mengapresiasi pandangan piahk Arab sebagai korban zionisme, dan menuntut agar negara Israel menanggalkan identitas keYahudiannya agar betul-betul demokratis.
Tapi mengingat komplesitas persoalan zionisme dan Israel pasca Perang 1967, saya kira kita perlu diskusi tersendiri di lain waktu. Wallahu A’lam.

Pengikut