Senin, 28 September 2009

INSTITUSI KEAGAMAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK


Rancangan Undang Undang (RUU) Perfilman telah disahkan menjadi Undang Undang (UU) Perfilman yang baru. Sebuah situs (entertainment.kompas.com) menyatakan: para insan perfilman sepakat akan kembali ‘melanggar’ UU tersebut. Dalam tayangan TVOne (Kabar Pagi, 9 September 2009), Mira Lesmana dan Christin Hakim menyayangkan UU Perfilman yang telah jadi tersebut justru lebih buruk dari UU sebelumnya. Sebagian besar isinya – meski berisi kata-kata yang indah – justru membatasi gerak dan kreatifitas dunia perfilman di Indonesia. Tak hanya itu, UU ini begitu didominasi oleh pemikiran-pemikiran atau konsep-konsep dari sudut pandang sekelompok orang atau institusi keagamaan tertentu. Hal ini diperkuat dengan tak diundangnya institusi keagamaan lain, selain dari agama Islam, dalam diskursus RUU Perfilman dan pengesahannya menjadi UU Perfilman. Mira Lesmana telah menyinggung juga persoalan ini. Kenapa institusi keagamaan lain yang ada di Indonesia – yang juga berhak ‘mewarnai’ kebijakan publik di negeri ini – tak dilibatkan dalam proses tersebut? Pertanyaan itu sempat dijawab oleh moderator TVOne, dalam mindset yang tak semestinya dimiliki oleh seorang jurnalis, bahwa hal tersebut wajar karena ‘mayoritas masyarakat kita adalah Muslim’.

Pernyataan atau kebijakan-kebijakan publik yang ditetapkan dengan cara hanya berdasarkan kacamata institusi keagamaan tertentu, dalam praktiknya akan berakibat bias dalam penegakan hukum. Dalam kasus ini, jelas siapa yang berperan besar dalam mewarnai isi UU Perfilman tersebut, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang anggota-anggotanya belum tentu memahami dunia perfilman. Negara ini dibangun dan tengah menjalani proses demokratisasi. Tujuan yang baik saja belumlah cukup jika tak kita jalankan dengan cara yang baik dan benar. Kebebasan berekspresi melalui media film atau media lainnya semestinya diwadahi dan didukung oleh pemerintah dalam bingkai kebijakan berdasarkan budaya Indonesia, bukan dikerangkeng dengan berbagai kebijakan yang memihak dan bias. Apalagi kebijakan itu digelontorkan dan disetujui hanya didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan institusi keagamaan tertentu.

Tradisi pengambilan kebijakan yang demikian seyogyanya dihentikan. Mengapa? Negara Indonesia adalah negara yang demokratis, bukan berdasarkan agama tertentu. Demokratis bukan berarti segala kebijakan hanya mengacu pada suara mayoritas semata, namun juga dengan melihat kepentingan bersama. Jika tradisi tersebut dipertahankan dan diwariskan atau ditularkan turun temurun, maka ini akan menghambat jalannya proses transformasi demokrasi bangsa kita sendiri. Jika di bagian awal UU Perfilman tersebut dicantumkan ‘…berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’, semestinya kalimat itu dipahami – seperti juga dalam Pancasila – tak hanya agama tertentu atau agama mayoritas yang berhak berperan aktif dalam membuat kebijakan (UU).

Kemayoritasan umat beragama tertentu (atau kelompok apapun) tidaklah menjadi dasar untuk menomorduakan hak-hak pihak minoritas. Mengakomodir berdasarkan hukum agama, boleh-boleh saja, karena dalam sejarah, agama memang punya peran terhadap perkembangan peradaban manusia. Namun, patut kita ingat, bahwa kecerobohan dan kekeliruan mengakomodir hukum-hukum agama – dengan mengabaikan pihak lain – adalah sebuah bentuk penindasan atas nama hukum.

video RUU Perfilman

Tidak ada komentar:

Pengikut