Selasa, 16 Desember 2008

MENABUR KEKERASAN, MENUAI DENDAM [Budaya Praktik Kekerasan di Indonesia]

“Tiap-tiap masyarakat memiliki mekanisme
yang mengabsahkan, mengaburkan, mengelakkan, dan,
oleh karena itu, mengabadikan kekerasan.”
(L. L. Heise, 1994)

17 September 2007 di GKI MY, di ruang tamu/ruang baca,
sebuah diskusi yang sifatnya mungkin bisa dibilang sekular berjalan dengan dihadiri oleh 10 orang. Di tengah hilir mudik dan hingar bingar mereka yang tengah mempersiapkan diri untuk HUT GKI MY ke-40 esoknya, diskusi ini berjalan cukup seru. Meski kadang ‘tersendat’ karena beberapa pertanyaan yang boleh dibilang tidak kena mengena dengan tema dan tujuan diskusi, dilontarkan seorang peserta yang kalau saya bilang agak nyentrik. Tapi di luar itu semua, ada dua hal dalam catatan saya, yang akan saya bagikan bagi para pembaca:

Pertama, bahwa kekerasan atau praktik kekerasan itu tidak muncul di ruang hampa. Artinya, kekerasan yang muncul dalam suatu tempat dan waktu, itu tidak sekonyong-konyong terjadi begitu saja secara tiba-tiba. Lebih sering, tindak kekerasan itu adalah sebuah akumulasi atau klimaks dari sebuah perseteruan sembunyi-sembunyi atau konflik/perang dingin, juga gencarnya tayangan kekerasan di media-media. Atau bisa juga karena sebuah rekayasa untuk mempertahankan sesuatu yang dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu, yang dalam hal ini memiliki power (baca: kekuasaan), dengan menggerakan, memanfaatkan, membayar, memprovokator massa tertentu untuk melakukan tindak kekerasan (perusakan, pembunuhan, pembakaran, dsb.).
Kedua, kekerasan yang terjadi sejak 1965 hingga saat ini, entah atas nama agama (kerusuhan Ambon, Poso, kasus Playboy, tindakan represif terhadap kelompok Ahmadiyah), politik (G30S, GAM, Timor Timur, Mei 1998), ekonomi (kenaikan harga sembako, kelangkaan minyak tanah, konversi minyak tanah ke LPG), etnis (Dayak-Madura), hukum (penggusuran, penambangan, kasus LAPINDO), pendidikan (kasus STPDN, kasus bunuh diri siswa), dsb., disinyalir bahkan bisa dipastikan adalah rentetan upaya-upaya yang dilakukan untuk melanggengkan dua hal berikut:
1. Kekuasaan. Mereka yang berkuasa dan menguasai hajat hidup orang banyak, dengan power-nya, berusaha membuat skenario-skenario yang membuat mereka tetap eksis, dengan menggerakan massa dalam episode-episode kekerasan.
2. Kapitalisme. Mengutip Greg Soetomo, SJ., seorang penulis dalam ‘Hermawan Kartajaya on Church’, bahwa kata ‘pembangunan’ di negeri ini memang berarti ‘menyengsarakan rakyat’. Negara-negara berkembang (baca: miskin) yang berhutang pada negara-negara kapitalis (AS & Eropa), cenderung dibuat/dikondisikan terus menggantungkan hidupnya, kalau bukan diperbudak, pada negara-negara kapitalis tersebut. Hal terbaru adalah rencana akan dibangunnya PLTN (Pusat Listrik Tenaga Nuklir) di Indonesia.
Siapa yang akan diuntungkan? Tentu saja, orang-orang Indonesia (kaum elit, politisi, spekulan) yang tak tahu malu yang selalu mengail keuntungan di tengah keruhnya air mata kaum jelata yang meregang nasib. Dan praktis negara-negara kapitalis yang senantiasa berfoya-foya di atas penderitaan (atau kebodohan?) negara-negara dunia ke tiga, seperti Indonesia. Hmm..bisa jadi apa yang diungkapkan oleh L. L. Heise di atas benar adanya, entah lokal maupun global. Perlu jadi action kita: apa dan bagaimana sikap serta peran kita sebagai the people of God called together dan sekaligus sebagai bagian dari bangsa ini?
Dalam diskusi tanggal 17 September 2007 kemarin, cukup mendorong saya dan beberapa rekan ingin mendiskusikan lebih lanjut tema ‘kekerasan’ ini dalam sebuah forum yang lebih besar. Ada usulan dari seorang aktivis LSM ‘Rumah Kiri’, Mas Sadikin, yang juga hadir di tengah-tengah kami. Bahwa lebih baik lagi jika diadakan sebuah forum diskusi yang menghadirkan nara sumber semacam George Aditjondro.

Salam,
Dommy Waas

Tidak ada komentar:

Pengikut