Kamis, 11 Desember 2008

NATAL: 'Candu' Kekristenan?

Ada banyak peristiwa yang tercatat di bumi merupakan moment-moment penting bagi umat manusia. Baik dalam pergerakan perkembangan peradaban manusia, maupun noda-noda kebrutalan dan kebiadaban yang sayangnya juga dilakukan oleh manusia. Peristiwa kelahiran, jelas adalah peristiwa yang biasanya disambut dengan gembira dan rasa syukur.
Kelahiran Yesus Kristus, adalah salah satu moment penting – bahkan mungkin terpenting – dalam sejarah umat manusia. Salah satunya adalah pembagian tahun berdasarkan kalender Masehi (M). Kalender dunia dibuat dua bagian: BC (Before Christ = Sebelum Kristus) dan AD ( Anno Domine = Sesudah Kristus). Yang lainnya? Ya, hukum ‘gigi ganti gigi dan mata ganti mata’ di zaman Nabi Musa, diubah menjadi ‘kasihilah musuh-musuhmu dan berkatilah mereka’. Jika saja hukum Musa di atas masih terus dipraktikkan, maka akan banyak manusia yang anggota tubuhnya tak lengkap. Paling tidak, banyak yang ompong dan tak bermata. Bahkan kekerasan akan terus berbalas dengan kekerasan. Tentu saja, kehadiran Yesus Kristus yang singkat di muka bumi ini meninggalkan begitu banyak perubahan yang berarti bagi umat manusia setelah kenaikanNya ke surga. Lalu, apa sesungguhnya makna Natal bagi kita? Mengapa kita memperingatinya? Apakah ada hal-hal signifikan yang mengubah kehidupan kita dengan moment ini? Ataukah Natal hanya sebuah seremoni yang rutin kita lakukan?

Perayaan Natal: Sejarah Singkat

Kapan tepatnya Yesus lahir, masih juga menjadi semacam perdebatan bagi kita. Lalu mengapa kita memperingati Natal pada 25 Desember? Seperti kita ketahui bersama, bahwa 25 Desember pada mulanya adalah juga moment penting bagi sebagian besar masyarakat Romawi di zaman pemerintahan Kaisar Konstantinus Agung di abad ke-4 Masehi. Tanggal 25 Desember adalah hari dewa matahari (Mithra). Kaisar Konstantinus sendiri pada mulanya adalah penganut pagan yang ‘telah maju’ dan percaya pada satu tuhan yang maha tinggi: Sol Invictus, Matahari yang tidak terkalahkan. Namun Ia juga tertarik pada Kekritenan dan mengangkat seorang penasihat – yang juga menjadi sahabatnya – Uskup Hosius dari Kordoba (Richard Rubenstein, 1999). Pada zaman ini, juga terjadi perdebatan teologis di kalangan Kristen mengenai hubungan antara Allah Bapa, Yesus dan Roh Kudus. Ada banyak bidah bermunculan, Diantaranya: Sabelianisme dan Arianisme. Konstantinus juga tengah menghadapi situasi sosial-politis. Maka, pada 336 Masehi, natal dirayakan untuk pertama kalinya. Jadi singkatnya, peristiwa Natal 25 Desember adalah sebuah moment yang diadopsi dari peristiwa perayaan dewa matahari di zaman Kaisar Konstantinus Agung. Kita, sebagai orang Kristen, tentu percaya bahwa ini adalah juga bagian dari campur tangan Tuhan terhadap kekaisaran Romawi. Setidaknya peristiwa ini mengaminkan apa yang dikritik seorang filsuf, Karl Marx, bahwa agama mudah dimanfaatkan secara ideologis. (Marx on Religion, 2002).


Natal: Moment Pembebasan atau ‘Candu’?

Pertanyaan di atas bukan sekedar sebuah keisengan semata. Tapi cobalah kita tanyakan dengan jujur pada diri kita: Mengapa kita merayakan Natal? Apakah karena kita Kristen? Apakah karena rutinitas semata? Atau ada alasan-alasan lain yang lebih baik yang menyatakan bahwa: ‘Natal adalah penting bagi saya’?
Kita menghias gereja atau rumah kita dengan pohon natal dan pernak-perniknya. Kita membeli kado-kado natal untuk dipajang dibawah pohon natal atau bertukar kado. Kita menyiapkan kue-kue dan makanan natal. Kita juga menyiapkan pakaian terbaik guna menyambut hari yang menyenangkan ini. Tidak ada yang salah dengan segala persiapan dan kesibukan diatas. Tapi, jangan-jangan kita tengah ‘kecanduan’ merayakan natal? Natal tengah menjadi ‘candu’. Natal tak lagi memiliki makna yang membuat hidup kita menjadi lebih baik dan berkualitas. Kita hanya merayakannya saja. Sekedar sebuah formalitas sebagai orang Kristen. Harus ada kebaktian malam natal dan hari natal di gereja, namun tak ada lagi kekhidmatan di dalamnya. Kita lupa bahwa peristiwa kelahiran Kristus di dunia, adalah peristiwa yang berdarah-darah. Ada begitu banyak anak-anak kecil terbantai. Kita enggan menggumuli kesederhanaan yang Ia dekap dalam hidupNya. Kita lupa bahwa ada sebuah misi yang diemban oleh Yesus dalam hidupNya, yaitu: Pembebasan. Ya, pembebasan manusia dari kemiskinan spiritualitas. Pembebasan manusia dari perhambaan terhadap hukum-hukum agama yang membebani hidup manusia. Pembebasan manusia dari belenggu ketamakan, kesombongan, keegoisan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembebasan dari sikap-sikap tak manusiawi. Pembebasan dari ketidakadilan, diskriminasi, dan penindasan. Bahkan atas nama agama.
Ada begitu banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan ‘pembebasan’. Ada setumpuk permasalahan di negeri ini yang membelenggu gerak laju cita-cita luhur para pendiri bangsa ini. Misi pembebasan telah dimandatkan Kristus kepada kita. Akankah kita masih tetap terlelap dalam hingar-bingar perayaan natal, berhenti meneruskan misi tersebut? Akankah kita membiarkan diri kita terus ‘kecanduan’ akan hiruk-pikuk aktivitas yang mungkin hanya merupakan bentuk lain dari nafsu konsumtif kemanusiaan kita? Memperingati natal adalah satu hal. Memaknai natal dengan sebuah tindakan membumi - menyentuh kebutuhan umat manusia - adalah hal lain yang selayaknya kita praktikkan sejak dini. Dari diri kita. Dari tengah-tengah keluarga. Dari lingkup gereja kita. Dari ruang-ruang di mana kita beraktivitas. Dan akhirnya : apakah natal kali ini pun kita masih tak bisa menyediakan tempat bagi ‘kelahiran’ Kristus dalam hati serta kehidupan kita? Selamat menyambut dan memaknai natal. Selamat menjadi agen-agen ‘pembebas’ bagi sesama umat manusia.

Tidak ada komentar:

Pengikut