Jumat, 30 Januari 2009

GEREJA: SEBUAH KOMUNITAS ATAU SEKAWANAN GANGSTER?

“…Gereja bukanlah gedungnya dan bukan pula menaranya. Lihatlah pintunya, lihat di dalamnya, gereja adalah orangnya”. Begitu lirik yang sering kita dengar dari mulut anak-anak Sekolah Minggu. Kita, yang notabene lebih dewasa, begitu bersemangat mengajari (atau menjejalkan?) anak-anak kita dengan doktrin yang terdengar merdu, ringkas, gampang diingat dan sangat sederhana. Namun, dalam praktiknya, ketika anak-anak kita atau kita sendiri beranjak dewasa, lirik lagu itu menjadi tak jelas maknanya, pucat, bias, klise, bahkan mungkin bisa jadi basi. Maka wajar saja jika orang-orang di luar sana hanya tahu bahwa ‘gereja’ itu identik dengan hal ini: pendeta, pastor, majelis/penatua, kolekte, mimbar, paduan suara, dogma, doktrin, kekudusan, dosa, Kristen, rohani, lonceng, menara, gedung bahkan tak jarang…kemunafikan (hypocrite). Ironis memang, tapi itulah fakta yang sering kali muncul dalam kumpulan orang yang kita sebut gereja. Di Indonesia, kita bahkan disuguhkan dengan kenyataan bahwa orang-orang Kristen begitu sibuk berlomba membangun gedung-gedung gereja, bahkan sebuah menara (doa), yang konon menelan anggaran milyaran rupiah. Alasannya: “Inikan semua demi kemuliaan Tuhan”. Bernarkah demikian? Sudah saatnya kita mengubah pertanyaan awal dari ‘apa itu gereja’ menjadi ‘siapa itu gereja’. Ya, siapa itu gereja? Tentu saja, dengan cepat kita akan menjawabnya: “Saya” atau “Kita yang telah percaya pada Kristus, sebagai manusia berdosa yang telah ditebus oleh darah Kristus dan diutus ke dalam dunia untuk memberitakan kabar baik dan mendatangkan damai sejahtera”. Lalu, bagaimana jika terjadi sebaliknya, gereja justru menjadi batu sandungan, tidak memberitakan kabar baik? Alih-alih damai sejahtera, sebaliknya, gereja malah menjadi sumber bencana. Ya, hal demikian mungkin saja terjadi jika kita menjadikan gereja seperti sekawanan gangster, bukan sebuah komunitas. Apakah Anda pernah menyaksikan film “Gang of New York”? Coba kita perhatikan dan renungkan, apakah Anda (gereja) berparas gangster atau Kristus?

Secara historis, gereja mula-mula tak diawali oleh keberadaan sebuah gedung menjulang nan megah. Gereja mula-mula adalah sekelompok orang atau komunitas yang “bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2:42). Artinya, dalam konteks saat ini, gereja bukanlah sekelompok orang yang hanya duduk bersama-sama dalam sebuah angkot, berstatus sebagai penumpang toq. Tidak saling sapa, tak saling bersalaman, tak memberikan senyum, tak saling kenal, tak saling membangun, tak saling memperhatikan…Cuek abis! Sebodo amat! Kecuali mungkin Anda tengah naksir dengan salah satu penumpangnya. “Saya cuma ingin dapat berkat, hidup saya sukses, dan mati masuk sorga, titik”. Lalu bagaimana dengan orang lain, yang juga adalah anggota tubuh Kristus? Bagaimana kita, sebagai gereja, mengembangkang komunitas?

Rick Warren dalam “The Purpose Driven Life”, mengemukakan empat hal yang dibutuhkan untuk mengembangkan komunitas. Apa saja? Pertama, adalah kejujuran. Kejujuran atau keterusterangan tidak berarti kita bebas mengatakan apapun yang kita inginkan. Kita tak segegabah itu. Banyak persekutuan berantakan karena kita begitu sungkan atau takut untuk berbicara terus terang pada waktu seorang anggota berantakan kehidupannya. Dengan segera masalah tersebut disembunyikan untuk memelihara rasa damai sejahtera yang palsu. Persekutuan yang sejati, entah dalam sebuah pernikahan, persahabatan, atau gereja, bergantung pada keterusterangan. Kedua, kerendahan hati. Kerendahan hati bukan menganggap diri rendah; kerendahan hati berarti sedikit saja memikirkan diri sendiri. Pusat perhatiannya adalah melayani orang lain, bukan hanya memikirkan diri sendiri. Dalam setiap gereja atau kelompok selalu ada satu orang yang “sulit”, biasanya lebih dari satu. Anda mungkin menyebut mereka orang-orang yang MAE – “Membutuhkan Anugerah Ekstra”. Sebenarnya, kita semua memiliki sifat-sifat yang khusus dan menjengkelkan. Tapi komunitas tak ada hubungannya dengan kecocokan. Dasarnya adalah hubungan kita dengan Allah: Kita adalah keluarga. Ketiga, sikap bisa memegang rahasia. Ini bukan berarti kita tetap diam ketika saduara kita berbuat dosa. Sikap ini artinya bahwa apa yang disampaikan di dalam kelompok kita harus hanya untuk kelompok kita, dan kelompok tersebut harus menanggulanginya, bukan menggosipkannya dengan kelompok lain. Mungkin ada orang-orang yang berperan sebagai penggosip dan pemecah belah, dan bisa saja mereka jengkel atas penentangan terhadap tindakan mereka yang bersifat memecah belah. Persekutuan gereja lebih penting daripada individu manapun. Keempat, frekuensi atau kekerapan. Hubungan memerlukan waktu. Perlu ada kontak yang sering dan tetap dengan kelompok Anda. Komunitas dibangun bukan atas dasar kesenangan (“kami akan berkumpul bisa saya merasa ingin berkumpul”) tetapi atas dasar keyakinan bahwa saya membutuhkannya untuk kesehatan rohani.
Rick Warren bahkan menyarankan adanya perjanjian kelompok yang meliputi sembilan karakteristik dari persekutuan yang alkitabiah: Kita akan berbagi perasaan-perasaan kita yang sebenarnya (otentisitas), saling memberi dorongan (kebersamaan), saling mendukung (simpati), saling mengampuni (belas kasihan), mengatakan kebenaran dalam kasih (kejujuran), mengakui kelemahan-kelemahan kita (kerendahan hati), menghargai perbedaan-perbedaan kita (sikap hormat), tidak bergosip (bisa memegang rahasia), dan memprioritaskan kelompok (frekuensi).
Nah, akhirnya pilihan ada di tangan kita (gereja): mau menghadirkan paras gereja menjadi sebuah komunitas yang alkitabiah atau yang garang bak gangster?

Tabik,
DW

2 komentar:

Erick S. mengatakan...

Biasanya persekutuan atau perkumpulan terbentuk dari sekelompok individu yg memiliki kesamaan. Masalahnya adalah, jika sudah dilembagakan, akan muncul pola pikir datang karena harus, lalu kegiatan tertentu harus memiliki target yang bisa diukur. Bagi para founding fathers suatu komunitas, ini bukan masalah. Tapi bagi para anggota baru yang datang karena diajak,dan tidak mengetahui apa-apa, akan cukup syok dan menarik diri. Apalagi jika ternyata para anggota baru itu menemukan komunitas yang menumbuhkan suatu kebutuhan untuk datang. Gimana tanggapan Anda, bro?

Dommy Waas mengatakan...

Sori, baru masuk lagi bro :)
Ya, dari pengalaman dan pemikiran saya biasanya hal tersebut terjadi karena kurangnya relasi (relationship) antara founding fathers dengan anggota baru. Yang kurang disentuh adalah 'hati' mereka. Biasanya mereka belum 'ngeh' bahwa mereka butuh hadir di sana. Ini terjadi juga dalam gereja, termasuk dalam kemajelisan :) Itu sebabnya kenapa kelompok/komunitas yg non-formal di MY lebih cepat bertumbuh atau berkembang ketimbang yg formal (di-birokratisasikan). Saya setuju bahwa memaksakan seseorang untuk datang itu tidak mudah, apalagi untuk orang luar/baru, hanya saja biasanya dari pihak kita/di dalam yg juga kurang bertanggungjawab terhadap pentingnya kehadiran dalam sebuah acara. Sederhananya...(meski tidak sesederhana yg diucapkan) berilah teladan dan bangun relasi maka ke depan kita akan melihat buahnya.

Pengikut