Kamis, 18 Juni 2009

Pancasila: Tidak Laku, Sekarat atau Telah Mati?

Pancasila tidak laku? Mati? Ah, yang benar saja? Ya, paling tidak dalam kondisi sekarat, pingsan atau mati suri. Betapa tidak, dalam sebuah artikel di internet, berdasarkan hasil survei tahun 2006 diungkapkan bahwa 80% mahasiswa memilih agama sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Lalu, 15,5% responden memilih sosialisme, hanya 4,5% yang memilih Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.
Konon, penelitian ini dilakukan di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya. Semua perguruan tinggi tersebut merupakan basis pergerakan politik di negeri kita, Indonesia. Sejak peristiwa reformasi 1998, generasi muda maupun masyarakat sepertinya alergi serta sinis terhadap Pancasila.
Celakanya, pemerintah menghapus Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Bahkan sekitar 70% perguruan tinggi di Indonesia telah menanggalkan mata kuliah Pancasila dari bahan ajarannya. Cukup memperihatinkan bukan? Lalu, mengapa bisa demikian? Mereka yang ‘menolak’ Pancasila merasa kecewa karena tak ada perubahan yang berarti dalam hidup mereka. Terlalu dangkal memang, tapi inilah realitas yang tengah kita hadapi.
Di era Orde Baru, Pancasila menjadi bagian dari indoktrinasi penguasa (negara) terhadap masyarakat. Terkesan dijejalkan dan dipaksakan. Sisi positifnya, setidaknya kita hafal isi kelima sila Pancasila, bahkan mungkin butir-butirnya. Namun, perilaku tak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang dipraktikkan para pemimpin negeri ini membuat mual dan eneg generasi muda serta masyarakat kita. Dan akhirnya ketika reformasi tercetus, Pancasila yang merupakan spirit perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara kita, dimuntahkan sedemikian rupa, persis seperti pengidap Bulimia atau Anorexia.
Alih-alih Pancasila dijadikan landasan dalam memperbaiki peri kehidupan bangsa, diam-diam ataupun terang-terangan, Pancasila malah dianggap tak relevan lagi bahkan ada yang berkeinginan menggantinya dengan dasar negara berbasis agama tertentu. Bahkan menghalalkan segala cara, termasuk meraup kekuasaan politik, sambil mengharamkan pihak lain yang tak sepaham.
Bentrok pada peristiwa Monas 1 Juni 2008 lalu, merupakan rekam jejak penting sebagai indikasi bahwa ada pihak-pihak atau kelompok yang tak lagi acuh terhadap nilai-nilai luhur bangsanya sendiri. Kelompok ini menganggap bahwa Pancasila adalah produk asing (Barat). Sementara, seperti diungkapkan Gus Dur dalam pengantar buku “Ilusi Negara Islam”, kelompok ini pun memaksakan nilai-nilai/budaya asing lain dengan jubah agama. Lalu bagaimana dengan generasi muda kita, terutama kaum intelektual yang semestinya mengambil posisi netral serta menjadi corong pendidikan bagi masyarakat? Rupanya, dunia pendidikan pun tak kebal dari keberpihakan.
Tentu saja, geliat semangat memperbaiki kondisi bangsa Indonesia yang masih carut marut ini patut kita hargai. Namun amat disayangkan, jika kondisi ini justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang mengail di air keruh, memperkeruh suasana tak kondusifnya kehidupan umat beragama lima tahun terakhir ini. Masyarakat kita perlu tetap diingatkan agar senantiasa waspada. Tetap berusaha membuat simpul-simpul dialog sambil mencabut akar-akar kekerasan.
Sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa Indonesia, tak sepatutnya kita berpangku tangan, atau cuek bebek. Di tengah derasnya budaya urban yang menjangkiti masyarakat perkotaan, kita harus tetap mampu memilih dan memilah dengan bijak. Tak ayal, pilihan-pilihan yang disuguhkan memang begitu instan, beragam, menggiurkan, dan menjanjikan. Lihat saja, semua disajikan dengan serba fast and furious. Semua itu mengalir bersamaan dengan sifat alamiah manusia untuk bersaing satu sama lain.
Pola ini tentu akan terkesan bertubrukan dengan sifat tumbuh spiritual manusia yang membutuhkan proses non-instan. Agama tak kebal dari gempuran budaya urban tersebut. Justru, dalam pemikiran penulis, agama mesti diposisikan sebagai pengimbang, filter, sekaligus pengendali (bukan mengebiri atau mengkrangkeng) gerak laju derasnya budaya urban tersebut. Umat beragama pun harus memiliki fungsi mentransformasi perilaku bangsanya ke arah yang lebih baik, sambil mentransformasikan pandangan-pandangan keagamaannya dalam bingkai ke-Indonesiaan yang pluralis.
Mati tidaknya, atau laku tidaknya Pancasila tidaklah menjadi tanggung jawab bangsa asing, namun tanggung jawab kita, bangsa Indonesia. Pancasila sudah mati? Tentu saja jawabannya berpulang pada diri kita sebagai bagian dari bangsa ini. Selamat memilih!

Dommy Waas
*Aktivis Muda GKI
(Di muat di Majalah online: FOKAL
http://gratis-juegos.fokal.info/fokal1/index.php?option=com_content&view=article&id=20&Itemid=17)

Tidak ada komentar:

Pengikut