Kamis, 18 Juni 2009

TUHAN DAN SEGALA HAL YANG MENYUSAHKAN

17 Desember 2006, saat saya bersama istri yang tengah hamil tua, seusai kami beribadah Minggu di gereja, kami terkena musibah. Motor kami terserempet sebuah mobil pick-up. Entah kenapa, saat kami tengah berada pada jalur yang pas, sebuah mobil tiba-tiba menerobos, menyalip motor kami yang masih dalam kecepatan lambat. Mungkin ia terburu-buru. Sesaat, saya mendengar teriakan istri saya. Tak lama kemudian saya tersadar bahwa tubuh kami sudah menghempas di aspal jalan. Saya cepat berdiri, menghampiri istri saya yang dalam posisi tersungkur seakan tengah berusaha menahan benturan perutnya dengan aspal. Tak pelak, hati saya mulai menciut, takut, kuatir, sedih dan bingung. Sementara, si bapak pemilik mobil tengah ‘ditahan’ oleh orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu. Saya kuatir terhadap kandungan istri saya yang tinggal menunggu hari. Ah, kalau boleh Tuhan, jangan biarkan kami kehilangan anak kami lagi. Itu yang ada dalam benak saya. Ya, saat istri saya hamil anak pertama, diusia tiga bulan mengalami keguguran. Saya masih ingat, karena bertepatan dengan peristiwa Bom Bali II dan naiknya harga BBM, pukul 00 WIB, 1 Oktober 2005. Dan peristiwa keguguran itu sempat membuat shock istri saya dalam beberapa hari. Tentu saja, kecelakaan saat itu membuat saya bertanya “Apa yang Engkau kehendaki dari kami, Tuhan?” Sambil dipapah ke sisi jalan, istri saya menangis. Saya tahu pasti, dia sangat takut kehilangan sang jabang bayi yang tengah dinanti-nantikan kehadirannya. Bagaimana tidak, setiap hari, kami selalu mengajak ‘bermain’ dan ‘berbicara’. Dan di tengah keterbatasan dan kekurangan, kami berupaya mempersiapkan yang terbaik untuk menyambut kehadirannya. Setiap keputusan dan tindakan yang kami ambil, kami awali dengan menyerahkannya pada kehendak Tuhan, Sang Pemilik hidup dan kehidupan.
Bersyukur bahwa istri saya rupanya dengan reflek telah berupaya ‘menyelamatkan’ sang jabang bayi dari benturan dengan aspal jalan. Meski hal itu berakibat tangannya luka-luka dan bahkan sempat kami kira patah. Hmm…naluri seorang ibu. Dan bersyukur lagi ketika kami periksa kondisi kehamilan istri saya masih relatif baik, meski kami masih perlu terus memeriksakannya lebih intensif. Istri saya sempat gusar, ketika ia tak merasakan pergerakan jabang bayinya beberapa saat lamanya. Dalam keadaan masih lusuh, kami pulang. Motor yang kami kendarai tak bisa dipakai, si pemilik mobil rupanya mau bertanggung jawab, dan mengantarkan kami. Hari itu saya ingat, bahwa saya telah berjanji untuk mengambil bagian melayani dalam sebuah acara Natal Dewasa Junior (Dewajun). Dalam kondisi jari kaki kiri yang masih sakit, mungkin terjepit bagian motor, saya pun bertekad untuk tetap datang. Saya masih ingat, hujan pun tak kalah derasnya turun sore itu. Dan dari apa yang masih hangat kami alami, saya mendapatkan inspirasi untuk berbagi bersama teman-teman di Dewajun malam itu. Apakah semua itu kebetulan semata? Saya berani menjawab: TIDAK!
Dalam hidup kita, mungkin ada banyak peristiwa yang menyusahkan. Mungkin apa yang telah saya alami di atas masih tak seberapa dibandingkan apa yang saudara-saudara alami. Namun buat saya pribadi, peristiwa itu - diantara peristiwa yang kita anggap menyusahkan lainnya - adalah bagian dari proses bagaimana saya memahami keberadaan Tuhan di tengah-tengah kehidupan saya (kami). Memang tak sesederhana kita membuka program komputer atau membaca teks-teks Alkitab. Tak sesederhana ketika kita menuturkan ‘Pengakuan Iman Rasuli’ tiap hari Minggu di gereja. Juga tak semudah mengkalkulasi angka-angka 2+2=4. Saya pikir, demikianlah proses beriman, tak berhenti dan beku dalam teks-teks kitab suci. Karena pemikiran dan rancangan Tuhan tak akan muat ‘dibukukan’ dalam sebuah buku yang oleh para pemeluk agama disebut ‘kitab suci’. “BapaKu masih bekerja sampai hari ini”, kalimat itu pernah diucapkan Kristus ketika mengkritik dan menampik paradigma para ahli Taurat yang serta merta membatasi Tuhan Yang Tak Terbatasi oleh dogma, agama, syariah, dan hegemoni kekuasaan. Bahwa Allah masih terus menyatakan ‘firmanNya’ dalam tiap-tiap zaman hingga saat ini bahkan nanti.
Kesusahan, tak selamanya membuat kita susah, manakala kita tak membatasi kuasa Allah yang ‘menerobos’ keterbatasan kita dalam memahami dan merasakan kehadiranNya. Mengutip Ahmad Wahib, seorang tokoh ‘reformis‘ Islam Indonesia, “…bahwa Tuhan menemui manusia dalam akal budi dan iman manusia, tapi Dia sendiri jauh lebih agung daripada akal budi dan iman itu sendiri. Tuhan sendiri bukan iman. Iman sekedar medium pertemuan. Karena itu konsep iman bisa berubah sesuai dengan dataran pengalaman manusia yang akan mempergunakannya.” Dalam Alkitab kita mengenal apa yang dikatakan Paulus bahwa Tuhan “…melampaui segala akal”. Kesusahan, kesulitan, jalan sempit dan terjal, bahkan penderitaan seyogyanya tak kita tuduhkan sebagai keterbatasan Tuhan, namun kita patut bertanya…apakah jadinya jika kehidupan kita baik-baik saja?

Dommy Waas
*Aktivis Muda GKI

Tidak ada komentar:

Pengikut