Senin, 13 Juli 2009

KISAH AROK dan KONFLIK SOSIAL di INDONESIA

“….Cause we are live under the same sun,
we are walk under the same moon, but why can we live as one?”
(Under the same sun, Scorpions)



Siapa tak ingat Arok (Ken Arok)? Namanya tercatat dalam sejarah tanah Jawa sebagai seorang Akuwu Tumapel dari wangsa Isana. Ia menghabisi nyawa Ametung, merebut Dedes dan meraih kekuasaan, tanpa lumuran darah di tangannya. Kebo Ijo-lah yang menjadi kambing hitam, karena kecerobohan atau mungkin kebodohannya “bermain-main” dengan keris setengah jadi, pesanan Arok pada seorang empu bernama Gandring. Arok telah dikutuk tujuh turunan saat ia tengah merebut keris yang belum selesai dari tangan empu Gandring. Konflik tak berhenti setelah Ametung tewas. Kelak putra Ametung, Anusapati, menuntut balas pada Arok atas kematian sang ayah.

Pola perebutan kekuasaan serta konflik semacam kisah Arok di atas masih sering terjadi dalam kehidupan sosial-masyarakat kita. Malah menghasilkan varian yang saling tumpang tindih, dari sisi motif, sasaran, pelaku, maupun ”kambing hitam”. Tentu saja konflik tak muncul sekonyong-konyong tanpa sebab, baik secara terang-terangan (manifest) maupun sembunyi-sembunyi (laten). Pada akhirnya, kedua wajah konflik tersebut – jika tidak ada upaya untuk menyelesaikannya, akan memiliki tipe katup pelepasan yang sama, yaitu kekerasan. Konflik sosial bisa terjadi karena pelbagai pertentangan antar kelompok sosial dalam masyarakat atas dasar suku, agama, ras, status ekonomi, gender, bahasa, status sosial, dan keyakinan politik, dalam sebuah interaksi sosial yang sifatnya dinamis.

Kisah Arok merupakan gambaran lugas bagaimana pertentangan keyakinan politik – yang berkelindan dengan agama – menjadi sebuah dasar yang menggerakan seseorang atau kelompok masyarakat menafikan sisi-sisi kemanusiaannya. Jika kita melihat dan mengingat kembali berbagai peristiwa berdarah yang pernah terjadi di negeri ini, siapakah sebenarnya masyarakat kita?

Masih ingat peristiwa 27 Juli, saat kantor pusat PDI diserang sekelompok massa? Atau kita menelusuri jauh ke belakang, bagaimana konflik yang sifatnya tertutup (laten) berakhir dengan konflik terbuka (manifest) dalam peristiwa berdarah G30S 1965? Keduanya memang konflik keyakinan politik (atau murni kekuasaan), namun imbasnya tak berhenti dalam ruang sidang dan debat para politisi, melainkan tumpah ruah dalam aksi-aksi kelompok masyarakat yang mudah diprovokasi.

Faktanya bisa kita catat saat tragedi Mei 1998. Pertentangan politik dengan basis sejarah masa lalu bernuansa etnis (pribumi – non pribumi) dan agama sejak zaman kolonisasi Belanda di Indonesia; polemik seputar proses pembuatan konstitusi UUD 1945; ketimpangan status ekonomi dan sosial; kebijakan-kebijakan pemerintah yang memihak (ber-KKN) kelompok tertentu; kesemuanya itu berakumulasi dan silang sengkarut menjadi sebuah bom waktu yang menunggu pemicu, apa pun wujudnya. Inilah yang biasa disebut sebagai prasangka sosial (social prejudice). W. A. Gerungan dalam Psycology Social, menyatakan bahwa prasangka sosial terjadi karena: (a) kurangnya pengetahuan dan pengertian akan hidup pihak yang lain; (b) kepentingan perseorangan dan golongan; (c) ketidakinsyafan akan kerugian yang dialami masing-masing apabila prasangka dipupuk.

Korelasi antara konflik kekinian dengan konflik dalam sejarah masa lampau – bahkan yang dilegitimasi klaim-klaim agama – memang semestinya diakhiri. Entah melalui konsensus maupun rekonsiliasi yang memungkinkan terjadinya proses integrasi. Jika tidak, cepat atau lambat, konflik akan membuahkan disintegrasi (contoh: balkanisasi yang terjadi pada Uni Soviet). Tentu saja proses integrasi tak bisa dilakukan dengan cepat. Integrasi, menurut Ogburn dan Nimkoff, dalam A handbook of Sociology, adalah proses yang mengalami fase: akomodasi, kooperasi (kerja sama dalam waktu lama), koordinasi (harapan/kesediaan bekerjasama) dan asimilasi (mengakhiri kebiasaan lama sekaligus mempelajari dan menerima kehidupan yang baru).

Peran pemerintah sebagai pemegang kebijakan sekaligus yang diberi mandat kekuasaan oleh rakyatnya sangatlah vital. Pendekatan agresif dan represif tanpa kesediaan untuk saling mendengar dan menerima bukanlah jalan yang arif, sebab akan melahirkan konflik baru di masa mendatang. Seperti kisah Arok, yang keturunannya saling mendendam, dan kedua pihak kehilangan kemanusiaannya. Mengutip lirik lagu ’Satanic Verses’ (God Bless): Perdamaian memang masih pagi, perang belum berhenti...hanya saja, jangan lagi kita siram dengan api. Perdamaian harus tetap diupayakan oleh kita sebagai umat manusia, karena itulah semestinya yang menjadi suatu misi keberadaan kita di muka bumi. Peace!

Dommy Waas
*Aktivis Muda GKI

Tidak ada komentar:

Pengikut