Jumat, 11 Desember 2009

ARMY OF ROSES: PEREMPUAN, KONFLIK POLITIK DAN BOM BUNUH DIRI


MENGAPA HARUS PEREMPUAN? Itulah pertanyaan yang muncul ketika penulis membaca buku berlabel ARMY OF ROSES, karya Barbara Victor. Berbagai peristiwa bunuh diri dalam berbagai metode untuk mengungkapkan perlawanan terhadap penjajah, umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Namun bagaimana jika bom bunuh diri marak dilakukan oleh perempuan, terutama di Palestina? Apa yang mendorong mereka melakukan hal itu? Bagaimana mungkin perempuan bisa berubah dari penjaga kehidupan (karena melahirkan anak) menjadi mesin pembunuh? Inilah yang menjadi dasar bagi Barbara Victor mengungkap fenomena tersebut ke hadapan kita. Konflik Palestina-Israel yang berkepanjangan, kepentingan kelompok-kelompok politis (Hamas, Jihad Islam, Fatah, dan para politisi di pemerintahan Palestina), ditambah dengan kultur Palestina yang patriarkal, memposisikan perempuan menjadi pihak yang tertekan dan menjadi warga ‘kelas dua’, bahkan frustasi karena menghadapi jalan buntu. Meskipun menurut seorang psikiater Palestina, Dr. Iyad Sarraj, menyatakan bahwa “penghalang di dalam komunitas Palestina untuk bunuh diri sebenarnya sangat besar ...khususnya dalam budaya yang mereka miliki, yaitu prinsip bahwa bunuh diri itu dosa”. Hal ini digambarkan melalui kisah beberapa perempuan pelaku bom bunuh diri. Wafa Idris, pelopor kamikaze perempuan, juga seorang perempuan yang melanggar aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Ia disinyalir melakukan aksi tersebut karena tekanan psikologis situasi kultur masyarakatnya sendiri. Wafa, yang menikah dengan sepupunya, Ahmed, melahirkan bayi prematur, tetapi langsung meninggal. Seluruh keluarga kecewa. Ini merupakan aib bagi keluarga mereka, dan Ahmed merasa dipermalukan. Belum lagi keterangan seorang dokter yang bukan ahli kandungan memberitahukan pada Wafa, Ahmed dan keluarganya, bahwa Wafa tak akan bisa melahirkan anak. Seorang rekannya bahkan yakin bahwa Wafa mengalami apa yang disebut ‘inertia’ atau ‘apatis total’. Ketika kehilangan bayinya, ia pun kehilangan kemauan untuk hidup. Kemiskinan dan kebodohan, mungkin bisa menjadi alasan aksi yang dilakukannya. Namun bagaimana jika ditambahkan alasan bahwa dengan aksi demikian, maka perempuan akan sama derajatnya dengan laki-laki? Darine Abu Aisha, baru berumur dua puluh tahun ketika meninggal. Dia mahasiswi yang cerdas. Keluarganya mapan secara finansial. Keluarganya cukup terpandang di tengah masyarakat. Relatif tak terpengaruh oleh kerasnya pendudukan Israel. Namun seiring waktu, Darine semakin mengerti bahwa setinggi apa pun prestasinya di universitas, nasibnya sebagai perempuan Palestina telah dicap mati – perjodohan, punya anak enam atau tujuh, seorang suami yang mungkin tak punya harapan atau keingintahuan tentang kehidupan yang sebanding dengannya. Akhirnya ia menjadi nihilis. Tekanan orang tuanya agar ia menjadi istri yang taat, terus melahirkan anak dan mengasuh anak-anak itu dalam sebuah keluarga, sedangkan suami adalah yang paling berkuasa dan memiliki otoritas mutlak. Darine menentangnya. Dia lebih baik mati.
Dua contoh kontras di atas – dari sisi status sosial maupun pendidikan - memberikan gambaran kepada kita betapa perempuan Palestina dalam posisi yang tak menguntungkan. Celakanya, mereka baru dianggap setara dengan laki-laki, dianggap bisa ‘menebus’ kesalahan atau aib yang dilakukannya – dan hal ini dijustifikasi oleh para tokoh agama konservatif – jika ia bersedia melakukan sebuah aksi bom bunuh diri. Tindakan ini pun diaminkan sebagai tindak kepahlawanan oleh keluarga, masyarakat, bahkan oleh mereka yang berkepentingan secara politis di pemerintahan bangsanya. Meski pada kenyataannya, perempuan pelaku bom bunuh diri ini tetap tak mendapatkan ‘kesetaraan’ dengan kaum laki-laki yang melakukan aksi serupa. Keluarga yang mendapatkan bayaran dari pihak yang merekrutnya tidaklah mendapatkan jumlah uang yang sebanding jika pelakunya laki-laki.
Dengan tepat, Barbara Victor menuliskan posisi perempuan Palestina dalam sosial-kultur bangsanya sendiri demikian: saat ini, perempuan Palestina yang tidak menikah hidup di bawah serangkaian aturan sosial dan agama yang ketat: jika berpendidikan terlalu tinggi, ia dianggap abnormal; jika memandangi laki-laki, ia terancam dikucilkan; jika menolak menikah, ia dianggap lepas kendali; jika tidur dengan laki-laki, khususnya jika hamil, maka ia adalah aib bagi keluarga dan bisa mati di tangan kerabat laki-lakinya (hal. 257).

TUJUANKU ADALAH MENYELAMATKAN NYAWA
Barbara Victor juga mengungkapkan bagaimana para dokter serta perawat dalam sebuah rumah sakit, yang beragam latar belakang agama dan bangsa, berupaya dan tetap bersikap objektif dalam menolong para korban konflik. Mekipun sang dokter adalah seorang ayah dari anak yang tewas akibat serangan bom bunuh diri. Mereka tak boleh mencampuradukan antara pandangan politik dengan pengobatan. Seorang perawat berasal dari sebuah desa kecil Palestina mengungkapkannya saat ditanya bagaimana perasaannya ketika harus menangani pasien dari pihak lawan dalam konflik: “Kutinggalkan politik di rumah ketika aku pergi bekerja. Yang kini kutemui adalah orang-orang yang sangat membutuhkan keahlianku dan perawatanku, dan aku akan melaksanakannya tanpa keraguan. Tujuanku adalah menyelamatkan nyawa. Pasienku tak mengenal kebangsaan ataupun agama.” Tentu saja, ini adalah bagian yang jarang kita dengar di media-media informasi kita. Dari paparan Barbara Victor, kita bisa lebih obyektif melihat bahwa persaudaraan, rasa kemanusiaan serta cinta kasih kepada sesama masih bisa tumbuh dan mekar di tengah-tengah hiruk pikuk peperangan. Informasi yang kita dengar, terima dan cari, lebih sering memihak serta hanya untuk menyenangkan telinga kita. Aksi-aksi yang mengatasnamakan solidaritas kemanusiaan bahkan berbasis agama malah sering menambah parah konflik dan penderitaan. Kita lebih sering memungut ‘sepotong’ informasi, bahkan informasi yang keliru, dengan emosional, tanpa dicerna dan melihat dengan imbang.

KONFLIK POLITIK DAN BOM BUNUH DIRI
Masyarakat dunia, termasuk Indonesia, penting untuk menelusuri perilaku bom bunuh diri yang muncul dan marak sejak tercetusnya konflik Palestina-Israel di wilayah Timur Tengah. Tepatnya 11 Desember 1987, ketika peristiwa Intifadah meletus di seluruh wilayah Tepi Barat dan Gaza. Perilaku bom bunuh diri ini sepertinya janggal jika terjadi di wilayah Palestina, bahkan ketika menyebar hingga ke wilayah Eropa (peristiwa di London), Amerika (peristiwa 11 September 2001), hingga wilayah Asia Tenggara seperti Indonesia. Karena yang kita tahu perilaku tersebut cenderung menjadi trade mark bangsa Jepang yakni yang disebut kamikaze. Namun benarkah demikian? Ternyata, perilaku bom bunuh diri ini mungkin saja telah berembrio sejak 2000 tahun silam. Menurut Robert A. Pape, perlawanan dengan melakukan bunuh diri dahulu kala pernah terjadi di Tanah Palestina. Ketika tanah Palestina masih diduduki oleh Kekaisaran Romawi, aksi itu pernah terjadi. Aksi tersebut dilakukan oleh dua kelompok revolusioner Yahudi militan yakni Zealot dan Sicarii, sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa Romawi serta memrovokasi pecahnya perlawanan rakyat. Dan menurut sejarah, pada tahun 66, pecahlah “Perang Yahudi”. Perang ini berakhir di Masada, namun mereka tak menyerahkan diri kepada penguasa Romawi, melainkan memilih bunuh diri massal, yang dilakukan oleh 980 anggota kelompok itu. Tak hanya itu, Joshepus, seorang sejarahwan pada masa itu menulis bahwa kelompok Zealot Yahudi tidak ragu-ragu melakukan - dan mengakui ketika tertangkap – aksi penyerangan kepada Herodes, penguasa Yudea dengan menggunakan pisau belati yang disembunyikan di balik jubah mereka. Tentu saja, risiko yang akan mereka hadapi ketika ditangkap adalah dijatuhi hukuman mati, entah disalib atau dibakar hidup-hidup. Oleh karenanya, aksi penyerangan ini disebut sebagai misi bunuh diri. Menurut penuturan Mazin B. Qumsiyeh, Israel di zaman modern ini yang memperkenalkan terorisme di Timur Tengah. Kaum Zionis lah yang pertama menggunakan cara teror di Palestina. Tercatat, pada 22 Juli 1946, sebuah truk bermuatan bom milik kaum Zionis meledak di Hotel King David di Jerusalem, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan sipil Inggris. Ini adalah bom mobil pertama di Timur Tengah, menewaskan 28 orang Inggris, 41 orang Arab, 17 orang Yahudi, dan lima orang lainnya, serta melukai lebih dari 200 orang. Tak hanya itu, kaum Zionis juga merupakan kelompok yang pertama kali menggunakan bom surat yang dikirimkan ke kantor kementerian Inggris, di Jerusalem. Apakah bom bunuh diri di zaman ini terinspirasi oleh peristiwa di masa lalu tersebut? Belum bisa dipastikan. Tapi keduanya memiliki sebuah pesan yang sama, yakni perlawanan terhadap penjajah dan semuanya dalam konteks politik. Kalaupun dalam aksi-aksi bom bunuh diri ini terkesan kental dengan nuansa agama, maka pada kenyataannya agama hanyalah sebagai alat legitimasi serta tameng dari hasrat (Iibido) para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya semata. Barbara Victor, dalam bukunya ini, ingin mengajak kita melihat lebih dekat dari sisi kultur-sosial fenomena bom bunuh diri yang justru dilakukan oleh kaum perempuan di Palestina. Sebuah fenomena yang bukan saja menarik, tetapi juga membuka paradigma kita untuk memandang secara objektif bagaimana posisi para perempuan Palestina, bom bunuh diri, dan kultur-sosial yang berkelindan dengan justifikasi agama itu nyata adanya di tengah-tengah konflik politik yang memakan banyak korban.

Daftar Pustaka Rujukan:
Trias Kuncahyo, Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Desember 2008.
Trias Kuncahyo, Gaza: Tanah Terjanji, Intifada dan Pembersihan Etnis, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Agustus 2009.
Karen Armstrong, Perang Suci: Dari Perang Teluk Hingga Perang Salib, Serambi, Jakarta, Oktober 2003.

Tidak ada komentar:

Pengikut