Jumat, 11 Desember 2009

Pacar Gue Ketuaan? Jika Cinta Itu Buta, Maka Nalar Harus Bicara


Ada sebuah pomeo yang menyatakan bahwa “cinta itu buta”. Pernyataan ini buat penulis memiliki makna bersayap yang perlu kita perjelas. Pertama, bisa jadi pomeo tersebut bermaksud kalau falling in love itu tidak memandang siapa, di mana, kapan dan kepada siapa. Terlepas pendapat psikologi perkembangan yang menyatakan adanya batasan usia pubertas bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Kedua, pomeo tersebut bisa diartikan bahwa seseorang yang mengalami jatuh cinta bisa mengalami ‘kebutaan’ akal sehat. Orang yang demikian cenderung memperturutkan perasaan hatinya tanpa diimbangi dengan penggunaan nalarnya. Ada yang bilang kalau jatuh cinta itu berjuta rasanya, susah digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya serba indah dan bikin hidup jadi lebih hidup. Apa seindah itu? Sebelum kita lanjutkan, dalam bahasan kali ini, penulis akan banyak menyoroti dari sisi feminim ketimbang sisi maskulin. Mengapa? Karena sudah terlalu lumrah ketika kita bicara dari sisi maskulin. Seakan apapun yang diperbuat dalam bingkai patriarkal, tak bisa digugat bahkan dipertanyakan oleh kaum hawa, yang sejatinya adalah partner dari laki-laki.

Kesetaraan: Sebuah Terobosan Paradigma?
Seiring dengan perkembangan pemikiran manusia, peradaban – yang juga diselingi dengan kebiadaban - pun mengalami perubahan. Apalagi dengan berkembang pesatnya dunia teknologi informasi yang memungkinkan perubahan paradigma di sebuah tempat merambah dan mempengaruhi pergulatan pemikiran di tempat lainnya. Dunia semakin kecil dan ‘didatarkan’, kata Thomas L. Friedman dalam The World is Flat. Sejarah telah membuktikan hal demikian dengan munculnya berbagai gerakan feminisme, yang akarnya adalah perempuan menuntut perlakuan yang setara dengan laki-laki, terutama terkait dengan hak-hak azasinya. Sampai munculnya gerakan feminisme di awal abad ke-18, dunia dengan segala sistem dan hukum yang ada, berjalan dengan wajah dan bingkai patriarkal. Bahkan kitab-kitab suci dan praktik ritual keagamaan pun tak luput dari maskulinitas.
Mary Wollstonecraft, seorang penulis dan pemikir Feminis Liberal Eropa, menyatakan bahwa masyarakat wajib memberikan pendidikan kepada perempuan, seperti juga kepada anak laki-laki, karena semua manusia berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya. Sehingga mereka dapat menjadi manusia utuh (Rosemarie Putnam Tong, 1998). Cara pandang demikian, mempengaruhi perilaku dan pola pikir perempuan di dunia Timur (Asia khususnya), yang terbiasa ‘tunduk’ pada tradisi patriarkal. Di Indonesia, kehadiran seorang R.A. Kartini (dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdas, merupakan cikal bakal pergerakan feminis Indonesia (emansipasi). Feminisme pun tak luput dari kritik dan membentuk cabang-cabang aliran dalam proses perkembangannya. Diakui atau tidak, perubahan paradigma yang baru – yang dicontohkan oleh feminisme – berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk alam demokrasi (politik). Namun, di sisi lain, kita bisa telusuri bahwa pada dasarnya budaya matriarkal lebih dulu ada sebelum ‘ditaklukan’ oleh budaya patriarkal. Hal ini diungkap oleh Erich Fromm dalam Cinta, Seksualitas dan Matriarki, mengenai Hak Ibu (Mother Right) yang diusung oleh Bachofen – seorang rekan Frued yang menganalisis mitos-mitos dan simbol-simbol bangsa Romawi, Yunani dan Mesir. Bachofen menyatakan bahwa struktur patriarkal dalam masyarakat yang kita kenal melalui sejarah peradaban dunia, adalah relatif baru sekarang ini, dan itu didahului sebelumnya oleh status kultural yang menempatkan sosok ibu dalam peran yang sangat penting. Menurut Anthony Giddens (Transformation of Intimacy), seorang pemikir sosial dari Inggris, kesetaraan yang digaungkan kaum perempuan juga telah mengubah realitas hubungan kaum perempuan dan laki-laki. Giddens bahkan seolah mengajak kita – kaum laki-laki dan perempuan – untuk menegosiasikan kembali bentuk ‘keintiman’ yang ingin dijalani oleh kedua pihak. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan , masih menjadi hal yang terus diperdebatkan sembari dikembangkan bentuknya dalam ruang-ruang diskusi bahkan praktik keseharian.
Dari paparan ini, penulis ingin memberi gambaran singkat, bahwa perubahan paradigma – amat mempengaruhi keputusan serta tindakan yang akan kita pilih dan lakukan. Demikian juga dengan sisi kehidupan sosial, seperti keputusan untuk memilih pacar. Dulu, secara umum, akan dianggap tabu jika seorang perempuan menyatakan lebih dulu perasaan cintanya kepada seorang laki-laki. Atau seorang perempuan mempunyai kekasih yang usianya terpaut jauh lebih muda dari dirinya. Orang lantas akan bergosip, bertanya-tanya, bahkan mungkin secara tak langsung memberi cap negatif pada si perempuan. Tapi sekarang? Ada berbagai cara, metode, bahkan argumen yang digunakan kaum hawa untuk bebas menyatakan rasa cintanya pada lawan jenisnya. Pertanyaannya, adakah konsekuensi bagi perempuan ketika memilih kekasih lebih muda? Atau sebaliknya, bagaimana dengan laki-laki yang usia kekasihnya terpaut jauh di atas dirinya? Bagaimana kelangsungan hubungan mereka?

Jika Cinta Itu Buta, Maka Nalar Harus Bicara
Dari hasil jajak pendapat beberapa (25-30 orang) rekan perempuan di Facebook, penulis mendapatkan beberapa pernyataan yang nyaris senada, terkait dengan beberapa pertanyaan di atas. Umumnya perempuan saat ini tak begitu mempermasalahkan rentang usia laki-laki yang terpaut jauh dari usia mereka (7-10 tahun). Mereka justru cenderung melihat dari sisi positif, bahwa mereka akan memilih pacar yang lebih tua usianya ketimbang yang lebih muda. Mengapa? Beberapa alasan yang disampaikan adalah: lebih dewasa, bisa ngemong (membimbing), bisa bermanja-manja, bisa dijadikan teman, bisa berperan rangkap sebagai orang tua, lebih bisa nerima keadaannya (karakter), bisa mendidik, bisa berperan sebagai kakak, dan sebagainya. Alasan umum mengapa mereka tak memilih yang lebih muda, atau mungkin setara, adalah karena dianggap kurang atau tidak dewasa serta tak mampu mengambil peran-peran seperti yang lebih tua usianya. Namun demikian, mereka pun tak serta merta ‘menolak’ jika pacarnya berusia lebih muda, hal ini didasarkan oleh contoh-contoh dari pasangan yang berhasil membina hubungannya hingga ke jenjang pernikahan dan hidup bahagia. Jawaban atau pendapat yang disampaikan kepada penulis memang masih bersifat umum. Belum menyentuh hal-hal yang krusial seperti komunikasi, gap (perbedaan zaman – kultur, dsb.), permasalahan seksualitas, perbedaan latar belakang (pola didik, keluarga, lingkungan, jenjang pendidikan, suku-adat istiadat), bahkan kelanjutan masa depan mereka (uang, anak-anak, hukum yang berlaku). Sekali lagi, semuanya masih umum. Apakah karena memang cinta itu buta? Jika jawabnya “YA”, maka kita harus menggunakan nalar untuk dijadikan dasar pertimbangan memilih. Pertama, seperti yang juga diungkapkan oleh rekan-rekan penulis di Facebook, bahwa sepasang kekasih harus memiliki dasar iman (baca: agama) yang sama, sebagai fundasi hubungan mereka. Amat langka, meski saat ini tengah menjadi wacana urgent agama-agama, bahwa hubungan laki-laki dan perempuan yang beda agama bisa diterima oleh keluarga kedua belah pihak, bahkan masyarakat. Dalam praktiknya, hukum tertulis yang ada pun masih diperdebatkan, dan kalah kuat dengan hukum tak tertulis yang berlaku di tengah masyarakat. Dan dengan demikian, disarankan untuk cari jalan aman saja. Cari yang se-agama.
Hal kedua, masalah komunikasi. Konon, menurut beberapa konselor pernikahan, komunikasi adalah kunci dalam membangun dan mengembangkan sebuah hubungan. Biasanya saat dalam tahap penjajakan (pra pacaran), laki-laki maupun perempuan, keduanya akan merasakan nyambung – tidaknya dalam berkomunikasi. Celakanya, banyak yang keliru, menganggap bahwa nyambung-tidaknya komunikasi hanya ditentukan oleh kesamaan-kesamaan seperti: makanan, hobi, serta hal-hal yang tak prinsipil. Hal ini tidak bisa diabaikan, karena perbedaan usia, latar belakang, keluarga, kultur, lingkungan, status sosial, pendidikan serta paradigma bisa dijembatani dengan adanya komunikasi yang baik dan terus dibangun. Tak kenal maka tak sayang, begitulah kata pepatah. Kenal bukan hanya nama, alamat, nomor telepon atau handphone saja, tapi mengenal karakter, keinginan, visi, pandangan tentang hidup, pandangan tentang pernikahan, dan sebagainya. Bahkan kelemahan atau kekurangan pasangannya pun sebaiknya dikomunikasikan sejak dini, guna terbentuknya saling pengertian satu dengan lainnya. Entah itu kebiasaan-kebiasaan buruk atau hal-hal yang cenderung berakibat negatif serta akan memicu pertikaian dalam hubungan keduanya di masa mendatang. Sakit penyakit yang diidap kita pun hendaknya dikomunikasikan sedemikian rupa, sebijaksana mungkin, kepada pasangan kita. Persoalan keuangan pun, jika tak dikomunikasikan, bisa menjadi pemicu rusaknya sebuah hubungan, baik dalam tahap pacaran maupun pernikahan. Maksudnya tidak untuk dijadikan objek pelampiasan kesalahan ketika terjadi konflik, melainkan masing-masing bisa saling melengkapi, saling menginspirasi, saling menjaga dan saling membangun, serta bersama-sama memperbaiki perilaku atau karakter yang tak sedap jika terus dibiarkan. Dalam hal komunikasi, umumnya laki-laki berusia lebih tua lebih bisa mengendalikan sekaligus memahami pasangannya yang lebih muda, disebabkan banyaknya perbendaharaan ‘pengalaman’ (bisa pengetahuan, komunikasi, pengenalan karakter, dan sebagainya) yang lebih dulu dikuasainya. Sebaliknya, ketika memiliki pacar yang lebih muda usianya, perempuan cenderung merasakan dan mengalami keterbalikan peran-peran yang semestinya diterima dari pasangannya. Meski tak semuanya demikian. Melalui komunikasi (dialog), yang tentu saja berkualitas, maka perbedaan latar belakang, karakter, budaya, pola didik, jenjang pendidikan, bahkan status sosial, akan bisa meminimalisasi jurang (gap) dalam memahami masing-masing pasangannya. Hal yang tak kalah penting adalah perlu adanya kepercayaan serta keterbukaan satu dengan lainnya.
Sejak dini, kita perlu mempertimbangkan hal-hal yang mungkin terjadi. Tentu saja, banyaknya pertimbangan bukan untuk menghambat langkah anda dan pasangan anda untuk terus membangun hubungan ke jenjang yang lebih serius, yakni pernikahan. Pomeo ‘cinta itu buta’ tak boleh kita serap begitu saja. Perlu kita revisi, kita kaji ulang, agar tak menjadi bumerang atau bom waktu yang membunuh dan menghancurkan hubungan antara anda dan pasangan anda. Landasan atau fundasi iman (agama) masih menjadi hal yang primer dalam membina dan membangun hubungan. Inilah yang memberi nilai lebih dalam membentuk karakter laki-laki maupun perempuan sepanjang hubungan itu terjalin, terbangun dan berkembang. Nah, jika cinta itu buta, maka gunakanlah nalar kita untuk bicara. Untuk mempertanyakan kembali apa yang sedang dan akan kita cari, harapkan dan akan berikan dalam membina sebuah hubungan dengan si dia. Semoga.


Daftar Pustaka Rujukan:
Thomas L. Friedman, The World is Flat : Sejarah Ringkas Abad Ke-21, Dian Rakyat, Oktober 2006, .
Rosemarie Putnam Thong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, Jalasutra, 2008, Yogyakarta.
Erich Fromm, Cinta, Seksualitas dan Matriarki: Kajian Komprehensif Tentang Gender, Jalasutra, April 2007, Yogyakarta & Bandung.
Anthony Giddens, Transformation of Intimacy, Fresh Book, Januari 2004, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Pengikut