Senin, 03 Agustus 2009

Zionisme, Anti-Zionisme, dan Pasca-Zionisme

Ini makalah yang di tulis oleh Akhmad Sahal dalam diskusi:
DISKUSI JIL BULAN JULI
Zionisme, Anti-Zionisme, dan Pasca-Zionisme
Narasumber: Akhmad Sahal & Hamid Basyaib
Moderator: Ihsan Ali Fauzi
Waktu: Kamis, 30 Juli 2009, Jam 19.00-21.30 WIB,
Tempat: Teater Utan Kayu Jl. Utan Kayu 68 H Jakarta Timur

Semoga kita mendapatkan pencerahan.
-----------------------------------------------------------------------
Zionisme, Antizionisme dan Pascazionisme
Akhmad Sahal*)

Di kalangan Yahudi di luar maupun di dalam Israel, kritik terhadap zionisme belakangan ini tampaknya sama sulitnya dengan telaah yang “simpatik” terhadapnya di kalangan Muslim. Contohnya adalah artikel kontroversial Tony Judt bertajuk “Israel: The Alternative” di The New York Review of Books pada 2003. Dalam artikel tersebut, ahli sejarah Eropa berdarah Yahudi yang kini mengajar di New York University itu berargumen bahwa ide negara Yahudi yang mendasarkan dii pada nasionalisme etnis tak bisa lagi dipertahankan karena ia adalah suatu anakronisme. Oleh sebab itu Judt mengusulkan agar negara Israel menanggalkan identitas keYahudiannya dan menerapkan “negara dua bangsa” (Yahudi dan Arab) agar betul-betul demokratis. Gara-gara tulisan itu, Tony Judt langsung dicap antisemit dan disebut self-hating Jew. Namanya dicoret dari masthead The New Republic, dan ia sempat “dibredel” untuk tampil sebagai pembicara dalam suatu diskusi di New York.

Usulan Judt sebenarnya tidak baru. Martin Buber, Judah Magnes (pendiri Hebrew University) dan sejumlah intelektual Israel yang tergabung dalam Shir Shalom pada juga penganjur gagasan “negara dua bangsa.” Usulan itu juga tidak “galak” jika dibandingkan dengan pemikiran antizionisme dan pascazionisme di kalangan Yahudi.

Cinta Sepihak Terhadap Eropa
Kelahiran zionisme di mata para pendukungnya tidak lain merupakan kisah cinta kaum Yahudi yang tak terbalas terhadap Eropa Pencerahan. Dua pendiri utama gerakan ini, wartawan Yahudi kelahiran Hungaria Theodor Herzl yang menulis pamflet yang tersohor, Negara Yahudi pada 1896, dan Leo Pinsker, Yahudi asal Rusia yang menulis buku Auto-Emancipation pada 1882, pada awalnya adalah para asimilasionis yang kemudian berbalik arah menjadi penentang asimilasi, pembauran Yahudi ke dalam masyarakat Eropa modern.
Mereka berdua, sebagaimana sebagian besar Yahudi Eropa saat itu, meyakini bahwa satu-satunya jalan menuju emansipasi buat Yahudi adalah dengan mengikuti seruan Napoleon Bonaparte seabad sebelum kelahiran zionisme. Penaklukan Napoleon di pelbagai penjuru Eropa pada abad 18 membantu penyebaran ide-ide Revolusi Perancis yang didasarkan pada proyek Pencerahan, terutama tentang kesetaraan “Hak-Hak Manusia dan Warga Negara.” Tawaran Napoleon kepada komunitas Yahudi di Eropa Barat saat itu, jika mereka mendapatkan hak-hak hukum dan politik yang setara dengan warga Kristen dan sekular, apakah mereka bersedia keluar dari ghettonya yang eksklusif dan melepaskan identitas primordial keYahudian untuk menjadi individu-individu modern? Bisakah mereka melepaskan diri dari loyalitas mereka kepada otoritas rabi dan sepenuhnya loyal kepada negara Perancis yang sekular?
Dengan tawarannya itu, Napoleon mungkin saja punya maksud melenyapkan identitas keYahudian dengan cara melebur mereka ke dalam masyarakat Eropa entah dengan menjadi sepenuhnya sekular atau berkonversi ke Kristen. Akan tetapi, respon kaum Yahudi justru sangat antusias. Buat mereka, Napoleon telah membuka jalan bagi emansipasi untuk kaum Yahudi. Mereka meyakini Pencerahan bukan hanya tidak bertentangan dengan keYahudian, melainkan justru menguntungkan Semboyan mereka yang terkenal: lihyot yahudi ba bait, wa adam ba khutz (menjadi Yahudi di rumah dan manusia di luar). Kaum Yahudi di Perancis, misalnya, memberikan justifikasi peleburan identitas keYahudian dan kePerancisan dengan melihat Revolusi Perancis 1789 sebagai peristiwa mesianik dalam sejarah Yahudi modern; semboyan “liberty, egality, and fraternity” sebagai hukum Sinai kedua. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai “Israelites de France.” Hal yang sama juga terjadi di Jerman, tempat di mana gerakan Pencerahan Yahudi (haskalah) yang dipelopori oleh Moses Mandelssohn justru tumbuh dengan subur. Para pemimpin Reform Judaism di Jerman yang berupaya memposisikan agama Yahudi sebagai kredo etika universal begitu loyal terhadap tanah kelahirannya dan menyebut berlin sebagai Jerusalem baru, “tanah air tempat di mana kita menautkan diri dengan ikatan cinta yang keras kepala.” Le shanah ha-baah be Yerushalaim (tahun depan ke Yerusalem) dilihat hanya sebagai bagian dari ungkapan ritual yang sama sekali tidak memuat program politik untuk merestorasi tatanan politik Israel.
Dengan menjadi pemeluk teguh ide-ide Pencerahan seperti individualisme, rasionalisme dan sekularisme, mereka meyakini bisa memecahkan “persoalan Yahudi” yang menghantui mereka sejak hidup dalam diaspora di Eropa. Identitas keYahudian mereka definisikan tidak dalam kerangka tradisional, yakni berdasar pada kepatuhan kepada halakhah (hukum Yahudi), melainkan dalam kerangka liberal, yakni sebagai individu dengan kebebasan dan kekhasannya sendiri.
Theodor Herzl dan Leo Pinsker turut menyokong integrasi Yahudi ke dalam masyarakat Eropa sampai kasus Dreyffus mencuat pada 1882. Sebagai koresponden harian Wina, Neue Freie Presse, Herzl meliput kasus Dreyfus, kapten berdarah Yahudi yang sepenuhnya asimilasionis seperti dirinya, yang dituduh menjadi mata-mata bagi Jerman hanya karena ia Yahudi, dan kemudian dipecat secara tidak hormat dari dinas militer Perancis. Yang membuat Herzl masygul, kasus Dreyfus justru terjadi di Paris, ibukota Pencerahan. Padahal tidak lama sebelum itu, progrom dalam skala masif terjadi di Rusia, yang oleh Pinsker dipahami sebagai bukti masih bercokolnya antisemitisme. Dua kasus itulah yang dalam narasi zionisme dianggap sebagai pemicu lahirnya zionisme.
Pada titik inilah terletak asumsi pertama zionisme tentang kegagalan asimilasi Yahudi ke dalam Eropa, lantaran cinta mereka ternyata bertepuk sebelah tangan. Bagi Herzl, Pencerahan tidak hanya membawa solusi melainkan juga problem baru buat kaum Yahudi, karena selain melahirkan individualisme, Pencerahan juga memunculkan nasionalisme. Di sinilah letak masalahnya: ketika orang-orang Yahudi di pelbagai negara Eropa bertransformasi menjadi individu-individu modern dengan identitas berdasarkan ide-ide kosmopolitan dan universal dari Pencerahan, masyarakat Eropa justru sibuk membangun identitas nasionalnya sendiri-sendiri, sesuatu yang kalangan Yahudi tidak punya. Meskipun orang Yahudi sudah berusaha sepenuh hati menjadi bagian dari Eropa, ia tetaplah the other, sang liyan di mata publik Eropa. Ini karena, menurut Herzl, kaum Yahudi hidup dalam dunia eksil tanpa punya negara yang menjadi “rumah” mereka sendiri. Menurut Herzl, diaspora menjadikan Yahudi terus menerus hidup dalam abnormalitas yang rentan terhadap serangan antisemitisme. Karena itulah Herzl menyerukan agar kaum Yahudi mengakhiri abnormalitasnya dengan keluar dari tanah eksil Eropa dan membangun identitas nasionalnya sendiri. Dari sinilah bertolak asumsi kedua zionisme: identitas keyahudian niscaya bersifat nasional. Masyarakat Yahudi yang terpencar-pencar adalah satu kesatuan yang tidak hanya diikat oleh agama melainkan terutama oleh sentimen kolektif sebagai suatu bangsa.
Tapi harap diingat, zionisme lahir pada akhir abad 19, saat di mana dataran Eropa diwarnai dengan maraknya nasionalisme romantik atau folkish a la Rousseau dan Herder, yang mengidentikkan nasionalisme dengan identitas kolektif berdasar kesatuan etnik atau ras yang homogen, seakan-akan etnisitas adalah sesuatu yang terberi, yang cenderung mengeksklusikan sang liyan. Paham semacam inialh yang oleh Tony Judt disebut sebagai anakronisme.

Kosmopolitanisme Kontra Zionisme.

Tapi betulkah asimilasi Yahudi adalah ihtiar yang sia-sia dalam pandangan mereka sendiri? Betulkah diaspora merupakan kehidupan abnormal buat Yahudi? Amos Elon, sejarawan Israel yang melacak kiprah Yahudi di Jerman dari awal abad 18 sampai naiknya Hitler pada 1933 dalam The Pity of it All, dengan tegas membantah klaim Herzl tersebut. Menurut Elon, masyarakat Yahudi Jerman sam sekali tidak menganggap diri mereka sebagai imigran atau tamu di negeri asing. Bahkan, emansipasi politik yang mereka nikmati sebagai buah dari Pencerahan menghasilkan lonjakan prestasi yang mencengangkan dalam ranah budaya, sains, seni, dan jurnalisme. Kerekatan antara identitas Yahudi dan Jerman ini baru putus setelah Hitler berkuasa pada 1933.
Karena itu, sejumlah intelektual Yahudi melihat kehidupan diaspora lebih sebagai berkah ketimbang kutukan, karena situasi itu justru memungkinkan mereka memainkan peran sebagai kekuatan kritis di masyarakat. Dalam kerangka semacam inilah kita bisa memahami mengapa Hannah Arendt merayakan marjinalitas peran Yahudi sebagai kelomopk pariah, dan mengapa Isaac Deutscher menyuarakan pembelaannya terhadap apa yang ia sebut sebagai “the Non-Jewish Jew” ketika ia berbicara tentang sejumlah pemikir dan seniman Yahudi heretik semacam Spinoza, Heinrich Heine, Karl Marx, Sigmund Freud dan Leon Trotsky.
Menarik untuk dicatat, mereka yang menampik aksioma Zionisme yang menegasikan diaspora (Shelilat Hagalut) umumnya adalah kalangan Yahudi kosmopolit, dari kiri maupun kanan, sosialis maupun liberal. Mereka inilah yang juga menolak klaim zionisme bahwa Yahudi adalah bangsa yang tunggal. Pertentangan antara kaum zionis dan Yahudi kosmopolitan ini sekaligus menunjukkan perbedaan mereka dalam menyikapi persoalan Yahudi.
Kalangan Yahudi sosialis seperti Rosa Luxemburg dan Leon Trotsky, yang oleh Stalin dikecam sebagai rootless cosmopolitans, mengakui bahwa ancaman semitisme memang nyata-nyata ada. Akan tetapi mereka menolak solusi zionis untuk mengatasi antisemitisme, yaitu dengan mendirikan negara Yahudi di Eretz Yisrael. Alasannnya, hal ini justru membawa Yahudi kembali terjebak dalam nasionalisme etnis yang sempit, yang nyaris tidak ada bedanya dengan ghetto-ghetto yang mereka huni sebelum era Pencerahan.
Kalangan Yahudi sosialis menyerukan agar perjuangan melawan antisemitisme diintegrasikan dengan perjuangan kaum proletar melawan kapitalisme karena di mata mereka, persoalan Yahudi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan suatu gejala sosial yang terkait erat dengan kapitalisme. Begitu kapitalisme runtuh dan sosialisme berdiri, antisemitisme akan hilang dengan sendirinya.
Pada tingkat tertentu, argumen kaum sosialis ini bertolak dari esai Karl Marx tentang persoalan Yahudi, Zur Judenfrage yang ia tulis hampir setengah abad sebelum zionisme lahir, yakni pada 1843. Dalam esai tersebut, Marx sebenarnya menolak pandangan asimilasionis Bruno Bauer yang berpendapat, emansipasi kaum Yahudi baru bisa tercapai kalau mereka menanggalkan identitas keagamaannya yang partikular dan menerima prinsip-prinsip liberalisme: mejadi individu yang otonom dan mengakui legitimasi negara sekuler. Dalam pandangan Marx, emansipasi semacam ini adalah emansipasi semu, karena hanya terjadi pada ranah suprastruktur, hanya emansipasi legal dan politik, bukan emansipasi kemanusiaan secara utuh. Menurut Marx, kaum Yahudi baru mengalami emansipasi kalau mereka dibebaskan dari apa yang oleh Marx disebut sebagai “Judaisme praktis,” yakni kepentingan-diri, huckstering, dan uang. Dengan kata lain, kapitalisme. Tulis Marx, “emansipasi Yahudi adalah emansipasi seluruh masyarakat dari Judaisme.”
Selain dari sayap kiri, penolakan terhadap zionisme atas dasar kosmopolitanisme juga dating dari kaum Yahudi liberal, seperti Hermann Cohen dan Karl Popper. Hermann Cohen (1842-1918), misalnya, adalah seorang filosof Yahudi Jerman yang secara sistematis merumuskan agama Yahudi sebagai agama akal, sebagai monoteisme murni dalam bentuk hukum-hukum moral yang universal. Di sini pengaruh konsep kategori imperatif dan otonomi moral Immanuel Kant kuat terasa. Tapi Cohen menolak klaim Kant bahwa agama Yahudi tidak bisa menjadi dasar bagi moralitas universal hanya karena dia bersumber dari luar manusia (heteronom). Menurut Cohen, justru posisi agama Yahudi sebagai monoteisme murni sejalan dengan universalisme Kantian.
Cohen menafsirkan keterpilihan bangsa Yahudi sebagai tugas ketimbang privilese, sebagai bangsa par a nabi. Cohen melihat sejarah agama Yahudi sebagai proses “spiritualisasi” yang bergerak dari partikularisme ke universalisme. Hancurnya kedualatan politik Yahudi, kondisinya sebagai wandering Jews yang tak bernegara dan tak berumah menunjukkan bahwa identitas keyahudian bukanlah dimaksudkan sebagai identitas eksklusif untuk etnik tertentu saja, melainkan sebagai etika universal. Atas dasar itulah Cohen menolak zionisme apapun bentuknya.
Sementara itu,Karl Popper, filosof liberal berdarah Yahudi yang terkenal dengan bukunya The Open Societies and Its Enemies, menolak nasionalisme etnis yang menjadi dasar zionisme, yang menurutnya bertentangan dengan prinsip-prinsip masyarakat terbuka yang kosmopolitan. Popper mengakui kegagalan asimilasi Yahudi di Eropa yang berpuncak pada tragedi Holocaust. Akan tetapi baginya, kegagalan itu mestinya membawa kaum Yahudi untuk melampaui identitas kebangsaan yang partikular dan bersandar pada identitas kosmopolitan.
Memang tidak semua kaum Yahudi liberal atau sosialis serta merta menganut kosmopolitanisme dan menolak zionisme. Harap diingat, sebagian founding fathers negara Israel adalah juga penganut sosialisme yang ingin merealisasikan prinsip-prinsip sosialisme dan mengkombinasikannya dengan mesianisme sekular seperti tercermin dalam kibbutzim. Sementara pemikir liberal semacam Isaiah Berlin mendukung zionisme bukan atas dasar menegasikan diaspora Yahudi atau menghentikan antisemitisme seperti dikemukakan Herzl, melainkan karena bagi Berlin, realisasi kebebasan mengandaikan adanya “rumah” sebagai tempat berpijak. (Menurut saya, argumen ini mestinya berlaku tidak hanya untuk bangsa Yahudi melainkan juga bangsa Palestina).

Politik versus Kultural

Skisma yang terjadi di kalangan Yahudi dalam kaiatannya dengan zionisme tidak hanya terjadi antara kaum zionis dan para penentangnya. Bahkan di kalangan zionise sendiri terjadi pertentangan yang tajam antara mereka yang mengedepankan pendekatan politik dan yang memilih jalur kultural. Yang pertama dan lebih dominan bisa kita lihat pada Theodor Herzl, dan versi ekstrimnya pada Vladimir Jabotinsky, ideololog partai Likud. Sedangkan yang kedua diwakili oleh Ahad Haam dan Martin Buber.
Seperti sudah disinggung di atas, persoalan Yahudi muncul karena bangsa Yahudi hidup secara abnormal. Zionisme bagi Herzl tidak lain adalah proyek menormalkan kehidupan mereka dengan cara mengumpulkannya dalam satu ikatan kebangsaan (ingathering of the exiles). Misi ini tidak akan tercapai kecuali dengan mendirikan negara Yahudi. Dengan cara itulah zionisme hendak menciptakan “Yahudi baru,” yakni Yahudi yang hidup normal seperti bangsa-bangsa lain. Tidak heran kalau kemudian kaum zionis mazhab ini begitu terobsesi dengan otot dan kejantanan, yang oleh karib Herzl bernama Max Nordau disebut sebagai muscular Jewry.
Tapi pada saat yang sama, Herzl juga melihat zionisme sebagai proyek pemberadaban. Ini terlukis dalam novel utopianya, Old-New Land (1902). Novel ini berkisah tentang Friedrich Loewenberg, Yahudi asal Wina yang melancong ke Macedonia dan mampir ke Yerusalem. Di sana ia menemukan betapa Yerusalem adalah tanah yang tandus tak terurus, dengan perkampungan Arab yang kumal. Namun betapa takjub Loewenberg ketika ia singgah sekian puluh tahun lagi, karena Yerusalem berhasil disulap oleh kaum zionis sebagai metropolitan yang bersih, dan makmur. Yang ada di benak Herzl, negara Israel akan menjadi seperti Swis. Israel, kata Herzl, akan menjadi “bagian dari benteng Eropa berhadapan dengan Asia, markas peradaban Barat untuk menangkal barbarisme Timur.
Di tanah yang baru ini, masih menurut Herzl, Yahudi tidak lagi menjadi target serangan antisemitisme seperti terjadi di Eropa, di mana Yahudi ditampilkan sebagai sosok yang “kotor, licik, parasit, lembek.” Karena “Yahudi baru” ini tampil sebagai sosok yang “rasional, kuat, beradab.” Dengan kata lain, di Eropa, Yahudi diperlakukan sebagai “yang lain.” Namun di tanah Israel, Yahudi bermetamorfosis menjadi Eropa yang memosisikan Arab sebagai sebagai “yang lain.” Untuk menghapus identitas ke-“yang lain” annya di Eropa, Yahudi eskit dari Eropa. Di luar Eropa is menjadi Eropa. Jika di “Barat” Yahudi adalah “Timur,” maka di Timur ia menjadi “Barat.”
Dua unsur utama zionisme politik ini (pemujaan terhadap supremasi kekuatan fisik dan persepsi diri sebagai pembawa peradaban Barat) pada akhirnya menyebabkan absennya bangsa Arab Palestina dalam narasi zionisme. Lihat saja semboyan mereka tentang Palestina, “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah.” Atau simak ungkapan Golda Meir, mantan perdana mentri Israel, “tidak ada yang namanya rakyat palestina.” Di sinilah letak ironi zionisme: ia lahir sebagai respon terhadap “persoalan Yahudi” di Eropa, tetapi ia memunculkan “persoalan Arab, ” atau meminjam istilah Edward Said, the question of Palestine.
Berbeda halnya dengan zionisme kultural yang dipelopori oleh Ahad Haam, tokoh zionis asal Rusia seangkatan Herzl, yang mengartikan kembali ke tanah zion lebih dalam kerangka spiritual ketimbang politik, yakni sebagai manifestasi dari renaisans kultural Yahudi. Di mata Haam, pertautan bangsa Yahudi dengan Zion sesungguhnya berada pada level moral dan spiritual, sebagai jalan untuk merealisasikan nilai utama keYahudian, yakni Tikkun Olam (memperbaiki dunia). Inilah yang menjelaskan kenapa sejak awal Haam bersebarangan dengan Herzl. Bahkan dalam Kongres Zionis pertama pada 1898 mereka berdua tidak saling menyapa.
Sejalan dengan Haam, Martin Buber juga menolak zionisme politik Herzl dan Nordau. Penolakan Buber bertolak dari penghargaannya terhadap eksistensi bangsa Arab di Palestina dan hasratnya menjalin relasi yang otentik dengan mereka, dalam kerangka relasi I-Thou. Bagi Buber, berdirinya negara Israel tidak akan menyelesaikan persoalan Yahudi manakala kaum Yahudi mengabaikan fakta bahwa tanah Israel pada dasarnya milik dua bangsa, masing-masing dengan klaimnya sendiri. Negara yang berdiri di atsa tanah tersebut mestilah berbentuk negara dwi-bangsa, bukan negara Yahudi, suatu gagasan yang dimunculkan kembali oleh Tony Judt dalam artikelnya di NYRB. Atas dasar itulah Buber menentang The Law of Return dan upaya pemerintah Israel untuk mendatangkan imigran Yahudi secara besar-besaran untuk mencapai status mayoritas.
Dengan paparan di atas, saya sebenarnya ingin menunjukkan betapa sejak kelahirannya, zionisme menjadi salah satu sumber masalah pertengkaran di kalangan Yahudi, juga di kalangan internal zionis sendiri. Bahkan setelah Perang Enam Hari atau Perang 1967, medan pertengkaran bergeser atau berkembang dengan masuknya “pemain baru”seperti kelompok zionis ultra-Orthodox yang tergabung dalam Gush Emunim yang mayoritasnya tinggal di wilayah Pendudukan dan menjadi tulang punggung gerakan zionisme relijius. Berbeda dengan Yahudi ultra-Orthodoz (Haredim) yang umumnya menentang zionisme lantaran, satu berwatak sekular, dan dua, dianggap bertentangan dengan doktrin Yahudi mengenai mesianisme di Eret Yisrael, Gush Emunim justru menganggap proyek sekuler zionisme sebagai sarana yang diperlukan untuk merealiskan munculnya sang Mesiah di Israel. Pada saat yang sama, pasca Perang 1967 juga menyaksikan kemunculan gerakan pascazionisme di kalangan akademisi dan seniman di Israel yang mendekonstruksi narasi resmi zionisme, mengapresiasi pandangan piahk Arab sebagai korban zionisme, dan menuntut agar negara Israel menanggalkan identitas keYahudiannya agar betul-betul demokratis.
Tapi mengingat komplesitas persoalan zionisme dan Israel pasca Perang 1967, saya kira kita perlu diskusi tersendiri di lain waktu. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Pengikut