Sabtu, 15 Agustus 2009

Sekolah Gratis, Kualitas dan BHP

“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
(UUD 1945, pasal 31, ayat 1)


“Mulai tahun 2009, sekolah gratis!”
, isi sebuah ‘kampanye’ yang sering tayang di televisi. Digambarkan dengan seorang anak yang putus harapan untuk bersekolah menjadi berbinar penuh harapan, bersama orang tuanya. Masyarakat menengah ke bawah, tentu saja akan menggantungkan harapan agar anaknya bisa mengenyam pendidikan. Namun, iklan memang cenderung penuh bumbu dan berbeda dengan realitas.
Ketidakjelasan sosialisasi sekolah gratis membuat masyarakat bingung dan memadamkan harapannya. Kenapa? Program sekolah gratis seolah muncul sebagai upaya politis mendongkrak citra pemerintah incumbent dalam masa-masa pemilu legislatif dan pilpres 2009. Diakui atau tidak, faktanya berbagai ketidakjelasan muncul ketika program ini digelontorkan.

Beberapa hal yang patut dicatat (atau dipertanyakan) oleh semua pihak terkait sekolah gratis: (1) Bagaimana mutu atau kualitas sekolah gratis tersebut? (2) Siapa sasaran program sekolah gratis? (3) Fasilitas minimal apa yang disediakan oleh sekolah gratis bagi para siswanya? (4) Bagaimana dengan biaya operasional sekolah? (5) Bagaimana dengan pembiayaan (gaji) para guru? (6) Bagaimana peran aktif pemerintah daerah maupun pusat dalam program ini? Dan mungkin masih banyak hal yang masih buram dalam benak para orang tua yang akan menyekolahkan anak-anaknya. Sebagian masyarakat justru berpendapat agar pemerintah bukan mengadakan pendidikan gratis, melainkan pendidikan murah dan terjangkau namun bermutu.

Berdasarkan Buku Pedoman Bantuan Operasional Sekolah 2009, dana BOS digunakan untuk biaya penerimaan siswa baru, buku referensi, buku teks pelajaran, pembelajaran (remedial, pengayaan, olahraga, kesenian), ujian, pembelian bahan-bahan habis pakai, pembiayaan langganan daya listrik/air, pembiayaan perbaikan sekolah, pembayaran honorarium, pengembangan profesi guru dan pelatihan, biaya transport siswa miskin, pembiayaan pengelolaan bantuan operasional sendiri, serta pembelian perangkat komputer. Apakah mungkin dalam kondisi perekonomian bangsa yang masih labil ini, program sekolah gratis itu diterapkan di seluruh Indonesia? Beberapa sekolah alternatif, murah dan berkualitas telah didirikan oleh mereka yang concern terhadap dunia pendidikan. Mereka memodifikasi – bahkan mengubah – kurikulum nasional, dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Berbasis Kebutuhan (KBK).

Dalam sebuah diskusi pendidikan di GKI Jl. Maulana Yusuf – Bandung bulan Juni 2009 lalu, Ahmad Bahruddin (pelopor sekaligus kepala SLTP alternatif Qaryah Thayyibah Kalibening, Salatiga) menekankan bahwa, “Sekolah bermutu tidak hanya menekankan peringkat tinggi, namun yang lebih penting adalah memberdayakan para peserta didik dalam menghadapi kehidupan sekitar” Dan yang lebih penting adalah “jangan menyamakan dunia pendidikan dengan dunia industri”.
Dunia pendidikan di Indonesia telah lari dari cita-cita bangsa yang tertuang dalam Preambule UUD 1945. Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, dunia pendidikan kita justru menjadi bagian subsistem neoliberalisme, dengan adanya liberalisasi pendidikan. Hadirnya UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) – yang merupakan turunan dari UU Sisdiknas (pasal 53 ayat 4) – tak pelak mengaburkan peran negara terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional serta secara teknis mempersulit masyarakat untuk mengakses pendidikan yang diselenggarakan negara. Jika ini menjadi tujuannya, maka negara telah melakukan pelanggaran konstitusi. Namun, jika UU BHP memang ditujukan agar badan pendidikan menjadi mandiri, lantas dimana tanggungjawab negara terhadap penyelenggaraan dunia pendidikan nasional kita?

Disisi lain, dunia pendidikan nasional kita dihadapkan dengan keberadaan dunia maya (cyberworld) yang merupakan dampak dari globalisasi. Dunia pendidikan pun tak luput dari teknologi yang satu ini. Cybereducation, istilah untuk menggambarkan penggunaan internet sebagai media pembelajaran atau edukasi. Cybereducation bisa menjadi alternatif bagi dunia pendidikan nasional kita, jika negara ‘belum kuat’ menyediakan anggaran pendidikan nasional yang harus dipenuhi.

Namun, perlu dikaji lebih jauh dampak psiko-sosial cybereducation terhadap siswa, guru, dosen, dan proses pembelajaran dalam realitas sosial. Mengapa? Seperti diungkap oleh Yasraf Amir Piliang (2004), pertama, terdapat potensi terjadinya alienasi antara pengguna internet yang sudah masuk dalam cyberworld dengan dengan realworld, dunia ini. Ketika seseorang menjadi pengguna internet (netter) dan mereka masuk dalam cyberworld, maka mereka pada hakikatnya telah lahir dan membentuk identitas lain di dunia maya, mereka membentuk komunitas, relasi sosial, dan tatanan sosial baru, yang lepas dari hukum fisika Newton, dan dengan demikian sama sekali berbeda dari bentuk komunitas, relasi sosial, tatanan sosial yang ada dalam alam fisik ini.

Lalu, apa yang mesti dilakukan? Apakah karena uang (anggaran pendidikan)? Singapura mengeluarkan uang lebih sedikit untuk pendidikan dasar dibandingkan negara maju lainnya. Apakah waktu belajar anak yang lebih panjang? Di Finlandia, anak tidak memulai sekolah sebelum berumur tujuh tahun. Mereka hanya menghabiskan empat sampai lima jam sehari di sekolah. Belajar dari negara-negara yang pendidikannya di peringkat atas: pilih kandidat guru dengan selektif dan sesuai kebutuhan. Setelah masuk seleksi, beri pelatihan agar bisa menjadi pengajar yang efektif. Namun hal ini perlu diiringi dengan perbaikan status. Guru harus menjadi profesi dengan status yang tinggi. Dan terakhir, memastikan setiap anak meraup manfaat dari pendidikan yang diselenggarakan negara (Indonesia Anonymus, 2009).

Realitas dunia pendidikan kita, tepat seperti diutarakan Michael W. Apple, bahwa ”Pengetahuan telah menjadi sejenis modal yang dikelola dan didistribusikan oleh institusi pendidikan kepada anak didik sebagaimana institusi ekonomi mengelola modal finansial” Quo Vadis pendidikan nasional kita?

Dommy Waas
(telah dimuat di http:\\fokal.info\ edisi III)

Tidak ada komentar:

Pengikut