Jumat, 28 Agustus 2009

cin(T)a : kala tuhan telah mati, dan kita membunuhnya

Berikut ini adalah sebuah notes dari facebook cin(T)a-the-movie yang ditulis oleh rekan Junanto Herdiawan.
Semoga bermanfaat.

salam,
Dommy Waas

---------------------------------------------------------------------------------

cin(T)a : kala tuhan telah mati, dan kita membunuhnya


Kenapa Allah menciptakan kita beda-beda kalau Allah cuma ingin disembah dengan satu cara?”

Cina dan Annisa mencintai Tuhan.
Tuhan juga mencintai mereka berdua.
Namun Cina dan Annisa tak bisa saling mencintai.
Karena mereka menyebut Tuhan dengan nama yang berbeda.



Cin(T)a adalah film yang sangat menarik untuk ditonton. Mungkin akhir pekan ini anda perlu meluangkan waktu untuk menontonnya. Ini adalah film indie yang berani membahas sebuah isu sensitif, yaitu isu tentang Tuhan. Di permukaan, film ini mengangkat kisah cinta antara Cina (diperankan oleh Sunny Soon) dengan Annisa (diperankan oleh Saira Jihan). Cina adalah pria etnis Batak Cina yang beragama Kristen. Sementara Annisa adalah wanita berdarah Jawa yang beragama Islam. Di balik kisah cinta mereka, tersembunyi pertanyaan filosofis yang dalam, siapakah Tuhan? Dan mengapa Tuhan menciptakan perbedaan?

Film ini berkisah seputar hubungan dua karakter yang berbeda ras dan agama. Cina yang taat dan rajin ke gereja, serta Annisa, seorang muslimah yang tak pernah meninggalkan sholat. Hubungan mereka bergulir dan diisi dengan berbagai diskusi tentang perbedaan antar mereka. Antara Islam dan Kristen. Berbagai hal yang terkesan tabu, secara berani diangkat dalam diskusi. Soal poligami, perayaan natal, surga, dan neraka, disajikan dengan santai dan tanpa memunculkan konflik. Ujung dari semua diskusi ini adalah mempertanyakan Tuhan. Apa yang ada dalam benak pikiran Tuhan saat menciptakan perbedaan? Mengapa banyak agama di dunia ini? Film yang mengambil setting pada tahun 2000, menggambarkan suasana konflik antar umat beragama di berbagai tempat. Agama telah menjadi alat propaganda yang paling murah untuk bunuh-bunuhan antar manusia sepanjang zaman.

Bagi Annisa, Tuhan adalah seorang Sutradara. Kehidupan diibaratkan putaran film. Manusia adalah pelakunya. Tapi bagi Cina, kalau Tuhan adalah sutradara, maka ia adalah sutradara yang basi. Kegelisahan Cina adalah kegelisahan Nietzsche saat mengatakan “tuhan telah mati, tuhan telah mati, dan kita semua membunuhnya.. (Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getötet!) ”. Nietzsche telah membunuh tuhan secara metafisik. Ia memang seorang atheis sejati. Tapi ini jugalah yang dikhawatirkan oleh Annisa saat mengatakan, “Dunia ini sudah kebanyakan agama, dunia ini sudah kebanyakan tuhan”.

Ketika nama Tuhan dibawa untuk berperang. Ketika nama Tuhan dibawa dalam setiap konflik. Dan ketika nama Tuhan memisahkan dua orang yang saling mencinta, Tuhan menjadi suatu yang asing. Cina dan Annisa mungkin mewakili satu dari sekian banyak kaum muda yang mempertanyakan Tuhan dan Agama. Di zaman ini, perbedaan nyaris bagai sebuah kutuk. Masing-masing kelompok berusaha memandang dan mendekati Tuhan dengan kebenarannya sendiri. Sementara pendekatan dan pandangan yang “liyan” tentang Tuhan, dianggap sesat atau salah. Yang terjadi kemudian adalah konflik. Fundamentalisme beragama, adalah cara pandang terhadap satu ajaran dan menganggap kebenaran adalah miliknya.

Lantas, apa itu kebenaran? Tuhan siapa yang benar? Annisa bertanya pada Cina, mungkinkah ia masuk surga dalam pandangan Tuhan-nya Cina? Film ini berusaha menampilkan caveat dalam memberi jawaban atas berbagai pertanyaan itu. Kebenaran, dibawa dalam perspektif historis, dalam konteks sosial maupun kultural. Manusia menggambarkan sesuatu dari perspektif yang ia tangkap. Kant menyebut hal ini dengan istilah Das Ding an Sich, bahwa kebenaran pada dirinya sendiri, kita tak pernah tahu. Manusia memiliki keterbatasan dalam melihat seluruh kenyataan.

Saat Monotheisme lahir, kita berharap monotheisme dapat mengatasi pertanyaan yang menggantung pada metafisika klasik, paganisme, maupun agama “primitif”. Levinas dengan taukhid Yudaismenya, telah menempatkan monotheisme agama Ibrahimi (Yahudi, Kristen, dan Islam) sebagai benchmark bagi paradigma keimanan. Levinas mengecam Heidegger yang mengingatkan kita tentang “Ada” dalam tradisi metafisika. “Ada” bukanlah Tuhan, tapi “Ada” mendahului aku yang berpikir. Ada adalah sebuah tafakur, yang menyiratkan kekuatan hati, anugerah, dan yang personal.

Ketika agama menjadi besar, ia tumbuh bagai struktur yang kaku, jauh melampaui makna “Ada”. Kemegahan masjid, gereja, kuil, maupun sinagog, dan kegemerlapan serta hiruk pikuk umat beragama, telah mengambil ruang-ruang sepi dalam relung tafakur. Makna “Ada” telah bergeser pada kerucut perbedaan. Saat itu, agama tak lebih dari sekedar tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Tak heran Karl Marx menyebut agama adalah candu. Agama dianggapnya sebagai candu bagi masyarakat yang mampu membuat lupa akan realitas kehidupan.

Film ini sungguh layak ditonton. Dari sisi sinematografi, penyajiannya sungguh apik. Adegan-adegannya enak dilihat. Musik pengiringnya begitu indah dan tepat dalam menggambarkan suasana hati. Setiap adegan ditampilkan penuh arti. Setiap detil, setiap sudut gambar, pada akhirnya memiliki arti dan perannya masing-masing. Bahkan gerak gerik seekor semut, buah apel, hingga gerak lembut seruas jari pun memegang peranan penting di film ini.

Dalam desah lirihnya, Cina berkata, “apabila tak ada tuhan, tak ada agama, mungkin tak ada perang”. Sebuah pertanyaan cerdas yang sangat berani diangkat di tengah masyarakat kita.

Pada ujungnya, film ini tidak berpretensi memberi jawaban. Namun apalah artinya jawaban. Karena yang dibutuhkan bukan itu. Yang dibutuhkan adalah keberanian mengajukan pertanyaan. Agama, dimanapun ia diturunkan, adalah tentang pertanyaan.

Esensi bulan Ramadhan ini adalah kekosongan. Ramadhan bukan tentang gegap gempita. Ramadhan adalah momen bertafakur. Di dalamnya, memuat pertanyaan-pertanyaan pada diri dan pada Tuhan. Mengapa saya ada, dan hendak ke mana saya menuju.

Film ini, mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu.

Selamat Menonton.

Tidak ada komentar:

Pengikut