Jumat, 28 November 2008

BLAKANIS: Kejujuran Itu ‘Ngga' Naif


Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan aku percaya Tuhan, beriman kepada Tuhan kalau aku tidak mulai dengan jujur? Ini yang dikatakan lelaki tua dengan daun telinga kecil dan lubang hidung gede yang menyebut dirinya Ki Blaka. Lelaki yang nyaris tanpa prestasi apa-apa, yang ingin jujur dalam segala hal. “Musuh utama kejujuran bukan kebohongan, melainkan kepura-puraan. Baik pura-pura jujur atau pura-pura bohong.”

Ketika para Blakanis, sebutan pengikut Ki Blaka, menyebar, mulai terjadi perubahan: anak-anak sekolah tak mau nyontek, koruptor menceritakan secara gamblang apa yang dijalaninya, sampai dengan pengalaman pribadi perempuan yang pernah diantre.

Ki Blaka yang tak bisa menahan pipis, dan suka pipis sembarangan, masih bisa bisa mengagumi payudara pengikutnya yang kaya, ayu, putih, jangkung ini terlihat berdoa dan berkata, “Saya tidak percaya doa, tapi saya melakukannya.”


Tiga Paragraf di atas saya kutip dari sampul belakang novel karya Arswendo Atmowiloto. Waktu saya membaca novel ini, awalnya biasa-biasa saja. Tapi saya terus tergelitik untuk menuntaskannya manakala kalimat di atas – bahwa musuh utama kejujuran bukan kebohongan, dst. – saya temukan kembali. Ya, menarik bahwa Ki Blaka – sang tokoh sentral dalam novel ini - mengucapkan kalimat yang demikian. Pura-pura jujur dan pura-pura bohong justru menjadi musuh utama dari kejujuran.
Memang tidak mudah bersikap jujur. Ada banyak alasan untuk tidak bersikap atau mengatakan yang jujur. Toh kita suka keliru membaca kejujuran. Kita malah merasa ogah dan gerah mendengar atau melihat kejujuran (atau ketelanjangan). Baik di sekitar kita maupun pada diri kita sendiri. Kejujuran kadang diartikan sebagai kedunguan atau kampungan atau ketidakcerdikan pada zaman ini. Kejujuran sering pula dianggap tidak ‘wise’, cenderung berdampak negatif bagi si pelaku kejujuran. Padahal, dalam novel Blakanis ini kita bisa melihat dengan telanjang, bahwa ternyata kita memang mungkin hanya enggan mengambil ‘risiko sementara’ dari sebuah kejujuran.
Kepura-puraan, adalah cikal-bakal sekaligus bom waktu dari ketidakjujuran. Dan jika kita mau menarik akar permasalahan di negeri ini pun salah satunya adalah banyaknya kepura-puraan. Kita semestinya bisa jujur tanpa menjadi naïf.

Salam,
DW

Tidak ada komentar:

Pengikut