Kamis, 20 November 2008

GEREJA DI TENGAH BUDAYA SUAP?

“Semakin banyak birokrasi dan formulir yang harus diisi, semakin besar peluang bagi pejabat untuk meminta suap”. Begitu sepenggal kalimat yang tertulis dalam ‘Asian Future Shock’ (Michael Backman) tentang Indonesia. Indonesia? Negara kita yang katanya sudah 63 tahun merdeka ini? Benar! Dan benar pula apa yang terjadi di lapangan. Para konglomerat jahat masih dibiarkan berkeliaran, datang pada resepsi-resepsi pejabat tinggi negara karena mereka sanggup menyogok dan menyuap. Dunia pendidikan yang kita andalkan pun tak luput dari praktik ‘suap-suapan’. Zaman ini kualitas pendidikan mandek karena urusan siapa yang paling besar ‘menyumbang’ fulus. Lalu bagaimana dengan wilayah agama? Apa tetap steril? Jawabnya: TIDAK! Lho, faktanya, departemen agama di negeri ini adalah departemen terkorup. Ini kondisi ironis buat negeri yang jumlah rumah ibadahnya cukup banyak dan padat. Sejarah banyak bicara bahwa agama tak pelak saling berkelindan dalam hegemoni kekuasaan. Dalam praktik-praktik yang absurd dan memperihatinkan. Ada banyak pelajaran berharga yang harus kita tarik agar peristiwa-peristiwa tak sedap dalam bungkus agama tak lagi meruak atau menebarkan aroma busuknya. Tentu saja ini bukan pekerjaan mudah. Karena dengan jubah agama, masyarakat diperalat untuk kepentingan-kepentingan individu atau kelompok tertentu.


Suap-menyuap: Sebuah Budaya?

Konon, praktik suap-menyuap ini diperparah oleh latar belakang kultur masyarakat kita. Misalnya di Jawa Barat ini. Praktik pemberian upeti di zaman raja-raja masih terus di tularkan dalam kehidupan sosial kita, terutama dalam urusan-urusan birokrasi. Kita senantiasa ‘bangga’ memberikan semacam upeti kepada pejabat pemerintah. Akhirnya ini menjadi semacam kebiasaan, dilegitimasi sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah dipraktikkan. Masyarakat pun latah, melazimkan praktik suap, seolah menjadi ritual yang harus dilakukan untuk kelancaran urusannya. Suap-menyuap tak ubahnya ‘sesaji modern’ yang disuguhkan agar yang bersangkutan tak disambangi oleh kesulitan-kesulitan birokrasi. Ya, inilah fakta yang tengah menjadi trend kehidupan bangsa kita. Inilah budaya bangsa kita yang muncul karena adanya ketidakjujuran. Budaya yang terus dipertahankan oleh para individu yang hidup dalam ketakutan. Ketakutan untuk mengakui keterbatasannya, kekurangannya.


Yang Sakral dan Yang Sekular?

Kecenderungan kita dalam kehidupan beragama adalah membuat dikotomi antara yang sakral (rohani) dan duniawi (sekular). Membedakan kita di gereja dengan di luar gereja. Jika di gereja kita seperti malaikat yang gagah nan lembut, namun di luar gereja kita justru bersikap laksana malaikat pencabut nyawa. Tak peduli apa dan bagaima sesama kita, main sikat, main sikut dan main sogok. Ada dualisme di sana. Ini jelas keliru! Pertama, kita harus menyadari bahwa kita masih hidup di dunia. Tuhan mengutus kita ke dalam dunia sebagai garam dan terang dunia. Bukan lagi dalam proses menjadi, melainkan sebagai.

Kedua, dalam hidup dan kehidupan kita: tubuh, jiwa dan roh kita tak bisa dipisah-pisah. Misalkan, kita tak mungkin membuat tubuh kita makan, sementara roh kita – dalam waktu yang bersamaan – pergi ke gereja. Karena makan adalah urusan tubuh jasmani dan ke gereja adalah urusan rohani. Tidak bisa demikian. Semuanya adalah satu kesatuan. Yang sakral tidak bisa berdiri sendiri tanpa yang sekular. Demikian juga sebaliknya. Dikotomi duniawi-rohani ini sering membuat kita menjadi naïf dalam beragama. Kita limbung oleh hal-hal rohani seakan kita telah di surga. Padahal, hal-hal rohani ini tak akan lengkap dan genap jika tak kita terapkan dalam ruang-ruang sosial yang sering kita beri label sekular (duniawi). Tentu saja bukan berarti pencampuradukan, melainkan kesadaran bahwa beragama saja tidak cukup, beriman saja tidak memadai untuk hidup di dunia. Dan sebaliknya, memiliki uang, materi atau apapun yang sifatnya kita pandang duniawi saja pun akan membuat kita timpang, cacat, buta, picik, dalam memandang sesama kita.



Gereja vs Budaya Suap?

Gereja memang idealnya tak turut larut dalam derasnya budaya suap. Juga tak boleh abai, merasa tenang dan “damai sejahtera” terhadap kebobrokan yang merambah ke hampir semua aspek kehidupan di negeri ini. Gereja yang tak acuh pada kondisi lingkungannya, apalagi bangsanya, adalah gereja yang layak di buang dan diinjak-injak orang. Tak berguna? Kalau begitu tutup saja. Mungkin kita (sebagai gereja) tak mempraktikkan ‘suap-suapan’ dengan uang. Namun , paraktik suap itu dilakukan dalam ibadah kita, dalam kerohanian kita. Misalkan, kita ‘menyuap’ Tuhan dengan persembahan kita. Kita berpikir bahwa dengan persembahan kita bisa ‘menghapus’ dosa-dosa kita, kejahatan kita di mata Tuhan maupun terhadap sesama kita. Ada saja orang Kristen yang mempraktikkan “money loundry” di gereja. Ini praktik suap yang lebih berbahaya dan merusak pertumbuhan iman kita. Jika kita berani menyuap Tuhan, bagaimana dengan terhadap sesamanya?

Tugas gereja adalah memperlengkapi jemaatnya untuk terjun di tengah-tengah hiruk-pikuk budaya yang korup. Tentu tidak untuk menjadi koruptor rohani atau penyuap rohani, melainkan mengikis budaya tersebut, mengganti dengan budaya kejujuran. Kita harus terus waspada terhadap budaya-budaya amoral yang lama namun berwajah baru. Gereja tak sekedar hanya berkata: TIDAK terhadap praktik suap. Sebagai gereja, kita harus menjalankan kehidupan ini dengan penuh kesadaran bahwa praktik suap dan korupsi tak berkenan ‘dipersembahkan’ kepada Tuhan, juga membunuh banyak orang – baik langsung maupun tak langsung. Apa yang akan kita perbuat jika Tuhan sudah berkata bahwa Dia tak berkenan dan benci pada persembahan-persembahan, perayaan-perayaan, dan ritual ibadat kita (Yes 1:14)? Kiranya Tuhan senantiasa membimbing dan menguatkan kita semua.


Tidak ada komentar:

Pengikut