Jumat, 28 November 2008

Selingan Pemikiran: Tentang Kasih dan Keberagamaan

Saat saya sedang asyik dengan ‘mainan baru’ berjudul “Perjumpaan Dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia” (mirip-mirip misi GKI MY ya?) karya William James. Membuka halaman-halaman awalnya membuat saya seperti disuguhi makanan baru yang tak afdol jika tak dilahap sampai habis. Banyak hal, meski baru seperempat buku tersebut saya kunyah, membuat jiwa saya tertantang untuk semakin banyak belajar mengenai bagaimana hidup dalam keberimanan saya pada Tuhan, sesama manusia dan alam semesta.

Tentang ‘kasih’, saya hanya memegang ‘rumusan hukum kasih’ versi Yesus Kristus (nama yang terus jadi pergunjingan/perdebatan sepanjang masa, mengalahkan para selebritis, ha…ha…ha), yaitu “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akal budimu, dan dengan segenap kekuatanmu. Dan…kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.
Kata ‘segenap’ dan ‘seperti’ sengaja saya miringkan. Dari apa yang saya pikirkan, saya melihat semacam perbandingan antara mengasihi Allah dengan mengasihi sesama manusia. Bagi saya kata ‘segenap’ menunjukkan sebuah daya upaya maksimal yang layak dilakukan/perlu diupayakan oleh manusia untuk memahami dan melakukan apa yang dikehendaki Allah. Sekaligus menunjukkan betapa kita memiliki keterbatasan, dan kita harus mengakuinya. Saya jadi ingat apa yang diutarakan oleh Karen Armstrong dalam The Great Transformation dalam hal ini, bahwa kita harus melakukan semacam kenosis intelektual – menyadari bahwa kita tak tahu apa-apa dan pikiran kita ‘dikosongkan’ dari ide-ide yang sudah diterima yang sering menghambat kita untuk tercerahkan - dalam upaya mendengarkan (listening) dan melakukan (ortopraksi) kehendak Tuhan, termasuk dalam memahami umat beragama lainnya.
Dan kata ‘seperti’ menunjukkan ukuran: pemahaman, sikap, perlakuan, pemikiran, serta motif saat kita ‘mengasihi’ sesama, yang tak beda dengan bagaimana kita memperlakukan (baca: mengasihi) diri kita sendiri. Dalam kata ‘seperti’ itu pun mengandung makna kesetaraan. Bahwa kita berperilaku dan memperlakukan sesama kita dengan cara-cara layaknya kita disebut sebagai manusia. Dahsyatnya rumus kasih di atas juga mengandung makna memiliki nilai yang sama antara yang pertama dan yang kedua. Artinya, ketika kita hanya menganggap Tuhan ‘segala-galanya’ - hingga di dalam gereja/persekutuan pun kita seperti penumpang angkot yang tak saling kenal, saling sapa bahkan sekedar senyum, meski dalam kendaraan yang sama – lalu abai terhadap sesama, maka kasih itu timpang. Demikian juga sebaliknya. Hal ini juga dipertegas oleh Paulus dalam 1 Kor 13, bahwa meski kita memiliki bahasa malaikat sekalipun, tapi tanpa didasari kasih, maka semua itu percuma, nol besar. Namun memang kecenderungan yang terjadi adalah jauh panggang dari api, kadang kata ‘kasih’ itu disalahgunakan karena keterbatasan pemahaman kita. Singkatnya, kasih itu sendiri –bahkan oleh kita sebagai umat Kristiani – digunakan atau diletakkan bukan pada peruntukannya. Pada waktu dan situasi yang tidak kena mengena, serampangan, asal kasih.

Mengenai pandangan kita terhadap agama-agama pagan dan agama suku, saya jadi ingat apa yang diutarakan oleh Ompung Wilfred Cantwell Smith dalam “The Meaning and End of Religion”, bahwa bisa saja kita melihat orang atau umat tertentu ‘menyembah’ pohon atau bongkahan batu, lalu kita menganggap mereka menganut animisme dan dinamisme, padahal jangan-jangan kitalah yang tak memahami apa yang mereka hayati. Sebuah patung dari batu memang tak dapat melihat. Namun pembuatnya melihat sesuatu dengan sangat jelas; sesuatu yang melampau dunia ini. Dan kita, ketika memandang karya itu , jelas-jelas bebal jika sampai tak melihat apa-apa selain sekadar patungnya. Jadi saya ‘dicerahkan’ dari sisi ini. Sekaligus selubung ego keagamaan saya disingkapkan. Dulu, saya sempat berpikir begitu kerdil dan picik mengenai umat berbeda agama, bahkan mereka kita anggap non-theistik. Atas dasar ‘kasih’ atau ‘keselamatan’ atau ‘ memenangkan jiwa-jiwa’ atau ‘Amanat Agung’ - umumnya mengambil Mat 28: 19-20, saya pikir ‘konstitusi’-Nya justru pada hukum kasih pada Mar 12:30-31 – kita lantas terjebak dan tergiur untuk memberi label-label dan perlakuan terhadap sesama manusia yang justru bukan diinspirasikan oleh Roh Kudus atau Allah, namun oleh ego keagamaan (kalau bukan tradisi kumulatif keagamaan) kita dengan mindset: ‘saya / agama saya yang paling benar’.
Pengalaman hidup keberagamaan saya pribadi – setidaknya sampai saat ini - bersama saudara-saudara/keluarga yang berbeda agama, justru tidak membuat saya lantas menggebu-gebu untuk ‘memenangkan jiwa’ mereka, apalagi dengan cara-cara yang kekanak-kanakan. Keselamatan dalam pandangan saya bukan hanya tentang surga atau bersama-sama dengan Kristus nantinya. Keselamatan adalah tentang Tuhan dan ciptaan-Nya. Bukan tentang 'saya' tapi tentang 'kita'. Keselamatan justru layak kita wujudkan dalam keseharian kita, dalam bermasyarakat. Tidak dengan jargon Kristiani yang dilontarkan dan justru membuat sekat-sekat antar sesama manusia. Tidak juga dengan berondongan ayat-ayat kitab suci yang kita hafalkan untuk membelenggu serta menghakimi umat beragama lainnya. Bahkan dalam catatan sejarah, kekristenan sering muncul dalam wajah yang tak humanis, tanpa ampun, mengusung taurat-taurat baru, melakukan dehumanisasi. Mungkin inilah dampak jika agama mulai melembaga. Saya justru terus merasakan dan mengalami pembaharuan (termasuk koreksi) pemahaman keagamaan/keberimanan dalam momen-momen seperti Idul Fitri kemarin, atau dialog-dialog informal dengan teman yang berbeda agama. Dengan belajar memposisikan diri dan pemikiran kita terhadap mereka yang berbeda agama, semestinya pertumbuhan iman kita dibangun dan diperkaya, bahkan semakin diperteguh. Lagi-lagi ini adalah refleksi saya terhadap apa yang diucapkan Kristus mengenai: “Lakukanlah terlebih dahulu apa yang ingin orang lain lakukan terhadapmu”.


Saya punya pemikiran terbalik terhadap pertanyaan berikut:
“bagaimana kita memandang orang yang pindah agama dari kristen menjadi hindu misalnya?
sikap apa yang harus kita ambil?”

Bagaimana jika pertanyaan itu ‘dibalik’ menjadi begini:
“bagaimana mereka memandang orang yang pindah agama dari hindu (Islam, Buddha, dsb.) menjadi Kristen misalnya? sikap apa yang akan mereka ambil?”

Bagaimana reaksi dan pandangan kita sebaiknya? Mungkin masing-masing punya pendapat yang beragam. Sempat terpikir oleh saya bahwa kadang lebih elegan produsen dalam mengiklankan produknya, pilihan ada di tangan kita, yang satu rumah pun bisa dan bebas memilih (merek) apa yang cocok baginya, entah itu produk makanan, perawatan, dsb. Tak ada yang memaksa. Tinggal bagaimana kesediaan kita untuk belajar memahami produk yang kita konsumsi agar kita aman dan tanpa efek samping. Nah, mengapa keberagamaan kita justru sering memaksa? Dan celakanya, kita enggan untuk belajar bahkan mengenal mengenai pasang surutnya keberimanan kita sendiri. Maunya kita copy – paste.

Dalam pemikiran saya – silahkan dikoreksi – mengapa kita selalu merasa perlu mengkonversi orang lain dalam beragama/beriman? Tidakkah ada arti yang lebih luas dalam ‘konversi’ itu selain pindah agama? Tidakkah cukup kita menceritakan Kristus secara oral maupun behavioral? Belajar dari Mohandas Gandhi yang tetap setia pada ke-Hindu-annya, saya justru memaknai konversi itu dalam arti saling menguatkan, menumbuhkan dan bekerja sama dalam menghadapi tantangan-tantangan yang harus dijawab oleh agama-agama (tepatnya umat beragama), seperti kemiskinan, pengangguran, ketegangan sosial, ketidakadilan, dsb. Nah, jika Mohandas Gandhi saja mampu atau dimampukan untuk memahami bahkan mempraktekkan nilai-nilai ajaran Kristus, bagaimana dengan kita – yang kadang over acting karena sebutan anak-anak Raja?

Dan saya kembali mengutip Ompung Wilfred, bahwa menjadi religius ujung-ujungnya adalah tindakan personal.

Salam,
DW

Tidak ada komentar:

Pengikut