Jumat, 28 November 2008

Kesetiaan atau Arogansi Seorang Pengikut?

Kalau kita pernah atau mungkin memperhatikan bagaimana peran seorang satpam, bodyguard, fans artis, bobotoh Persib (Viking club), massa pendukung tokoh Pilkada, massa pendukung parpol, dan kaum konservatif – fundamentalis agama di TV, maka ada kesamaan yang bisa kita tarik benang merahnya. Ya, tentu saja ‘kesetiaan’.

Mereka ‘bekerja’ melakukan berbagai hal demi atasannya, demi sang tokoh, demi sang artis idolanya dan bahkan demi agamanya. Entah itu dilakukan secara positif maupun negatif. Pokoknya, demi apa yang dipujanya, mereka hanya memikirkan bagaimana agar status mereka sebagai ‘pengikut yang setia’ benar-benar terlihat dan teraminkan. Baik oleh sang atasan/idola maupun orang lain di luar dirinya, teman ataupun lawan.

Seorang pengikut, biasanya akan dengan setia pula mengikuti pola-pola atau aturan main sebuah komunitas, entah itu klub fans sepak bola, klub fans artis, maupun komunitas umat beragama. Mungkin ada benarnya istilah bahwa “burung-burung cenderung berkumpul dengan warna bulu yang sama”. Entah motif apapun atau ideologi apapun yang mendasari para pengikut ini hingga mereka begitu setianya sampai-sampai yakin masuk sorga dengan cara membunuh dirinya dan orang lain dengan bom. Manusia punya sisi keganasan yang lebih dahsyat dari binatang, bahkan kadang mengalahkan kelicikan setan.

Saya tidak sedang menyudutkan setan. Kalaupun setan ada di balik perilaku negatif para pengikut buta ini, maka kita perlu waspada terhadap apa yang kita maksudkan dengan kesetiaan sebagai pengikut itu sendiri. Dengan demikian setan pun berhasil memanfaatkan kesetiaan kita hingga tumbuh benih arogansi dan kemendakuan akan kebenaran. Dan akibatnya, mereka yang ‘berbeda’ dengan dirinya, halal untuk dibunuh serta ditumpahkan darahnya, demi sebuah label yaitu kesetiaan.

Dalam Alkitab, banyak sekali kisah-kisah tentang kesetiaan yang membahayakan dan menghancurkan. Yang sangat kita kenal di antaranya adalah Petrus yang dengan sigap menebaskan pedangnya terhadap seorang prajurit Romawi hingga telinga prajurit itu putus. Para murid yang berusaha menghalau anak-anak datang pada Yesus. Para ahli Taurat yang berusaha menyingkirkan Yesus karena Hukum Taurat. Dan masih banyak lagi.

Saya sempat membaca sebuah perikop dalam Lukas 9. Judulnya “Yesus dan orang Samaria”. Di sana dikisahkan tentang rencana Yesus pergi ke Yerusalem. Dan Yesus mengutus beberapa orang mendahului Yesus. Mereka, para utusan ini singgah di sebuah desa orang Samaria. Tapi orang-orang Samaria itu tak mau menerima Yesus. Lalu, dua orang murid Yesus, Yakobus dan Yohanes melihat hal itu, dan mereka berkata: “Tuhan, apakah Engkau mau supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?” Tapi Yesus justru menegor mereka. Dan mereka pergi ke desa yang lain.

Kalau kita perhatikan pertanyaan dari kedua murid Yesus ini, maka ada kekeliruan mereka dalam memahami misi Yesus. Mungkin selama ini tradisi Yahudi dengan Hukum Tauratnya mengenal dan memperkenalkan (kalau tidak kita sebut mendoktrinkan) Allah sebagai Allah yang mudah marah, Allah yang 'doyan perang', tegas dan tak segan-segan mengumbar hukuman pada manusia yang tak setia (dalam Perjanjian Lama). Dalam sebuah karya Karen Armstrong (The Great Transformation) , kita akan menemukan bahwa kekerasan untuk memusnahkan mereka yang tak menyembah Yahweh dilakukan sedemikian rupa, seperti yang dilakukan Musa, Yosia, dan Yosua. Namun, Karen juga mencatat bahwa pada Zaman Aksial ini, para nabi & orang bijak sangat gigih menciptakan jalan damai, mengusahakan anti peperangan, dan menghasilkan sebuah kaidah emas yang juga digunakan Yesus dalam khotbah-Nya. Hal ini juga yang melatarbelakangi pola pikir dan tindakan Yakobus maupun Yohanes dalam menghadapi orang-orang Samaria. Mereka menunjukkan kesetiaan pada Yesus, namun keliru menangkap maksud Sang Guru, sekaligus Tuhannya. Meski mereka bertanya dan tak jadi bertindak, namun secara implisit, kita bisa melihat betapa kearoganan seorang pengikut/murid itu membayangi kesetiaan. Saya menyebutnya ‘membayangi’ karena bayangan itu tak jelas, gelap, tak proporsional, tak tetap, mengikuti dan menyesatkan. Bahkan para murid ini pun punya semacam keinginan untuk membinasakan orang-orang Samaria atas nama Tuhan. Mereka tak ingin menggunakan tangan mereka untuk membakar desa tersebut, mereka bersembunyi di balik tangan Tuhan. Dan itulah yang terjadi di era ini. Agama dijadikan legitimasi penindasan terhadap sesama. Keberbedaan dianggap setan dan sesat. Alih-alih merangkul perbedaan untuk sebuah kehidupan yang konstruktif, kita malah memandang mereka yang berbeda sebagai calon penghuni neraka dan layak dibinasakan. Kita sering menyaksikan tipisnya perbedaan antara kesetiaan yang benar dengan arogansi semata para pengikut Tuhan dalam pluralitas keagamaan. Dalam film "Jesus Camp", kita disuguhi sebuah kenyataan yang bahwa kebutaan menjadi pengikut (Tuhan) tak pandang tempat dan situasi. Baik di Afganistan maupun di Amerika, peluang menjadi pengikut yang arogan dan picik adalah niscaya. Semoga kita tetap waspada dengan kesetiaan kita pada apa pun, juga pada agama maupun Tuhan.

Salam,
DW

Tidak ada komentar:

Pengikut